Selasa, 14 April 2015

Sejarah Perkembangan Kesenian Wayang



Sejarah Perkembangan Kesenian Wayang

            Wayang berasal dari kata wayangan, yaitu sumber ilham dalam menggambar wujud tokoh dan cerita sehingga dapat tergambar jelas dalam batin si penggambar karena sumber aslinya telah hilang. Awalnya wayang adalah bagian dari kegiatan religi animisme menyembah “Hyang”. Tahun 898 – 910 M wayang sudah menjadi wayang purwa namun tetap masih ditujukan untuk menyembah para sanghyang seperti yang tertulis dalam prasasti Balitung. Pada masa Raja Darmawangsa 996 – 1042 M Mahabarata yang berbahasa sansekerta delapan belas parwa dirakit menjadi sembilan parawa bahasa Jawa kuno. Lalu Arjuna Wiwaha berhasil disusun oleh Mpu Kanwa di masa Raja Erlangga. Sampai di zaman Kerajaan Kediri dan Raja Jayabaya, Mpu Sedah mulai menyusun serat Bharatayuda yang lalu diselesaikan oleh Mpu Panuluh tak puas dengan itu saja, Mpu Panuluh lalu meyusun serat hariwangsa dan kemudian serat gatutkacasraya.
            Masa- masa abad sepuluh, bisa disebut sebagai globalisasi tahap satu ke tanah jawa kepercayaan animisme mulai digeser oleh pengaruh agama Hindu. Abad dua belas sampai abad lima belas adalah masa “sekularisasi” wayang tahap satu dengan mulai disusunnya berbagai mitos yang mengagungkan raja sebagai keturunan para Dewa. Abad lima belas adalah dimulainya globalisasi Jawa tahap dua kini pengaruh budaya Islam yang meresap tanpa terasa dan pada awal abad keenam belas Kerajaan Demak ( 1500 – 1550 M).
Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu Jawa.
Pertunjukan Kesenian wayang adalah merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dynamisme. Tentang asal-usul kesenian wayang hingga dewasa ini masih merupakan suatu masalah yang belum terpecahkan secara tuntas. Namun demikian banyak para ahli mulai mencoba menelusuri sejarah perkembangan wayang dan masalah ini ternyata sangat menarik sebagai sumber atau obyek penelitian. Menurut Kitab Centini, tentang asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang, mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Pamenang / Kediri. Sekitar abad ke 10 Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Cerita Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.
Pada jaman Majapahit usaha melukiskan gambaran wayang di atas kertas disempurnakan dengan ditambah bagian-bagian kecil yang digulung menjadi satu. Wayang berbentuk gulungan tersebut, bilamana akan dimainkan maka gulungan harus dibeber. Oleh karena itu wayang jenis ini biasa disebut wayang Beber. Pewarnaan dari wayang tersebut disesuaikan dengan wujud serta martabat dari tokoh itu, yaitu misalnya Raja, Kesatria, Pendeta, Dewa, Punakawan dan lain sebagainya. Dengan demikian pada masa akhir Kerajaan Majapahit, keadaan wayang Beber semakin semarak.
Pada masa itu sementara pengikut agama Islam ada yang beranggapan bahwa gamelan dan wayang adalah kesenian yang haram karena berbau Hindu. Timbulnya perbedaan pandangan antara sikap menyenangi dan mengharamkan tersebut mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap perkembangan kesenian wayang itu sendiri. Untuk menghilangkan kesan yang serba berbau Hindu dan kesan pemujaan kepada arca, maka timbul gagasan baru untuk menciptakan wayang dalam wujud baru dengan menghilangkan wujud gambaran manusia. Berkat keuletan dan ketrampilan para pengikut Islam yang menggemari kesenian wayang, terutama para Wali, berhasil menciptakan bentuk baru dari Wayang Purwa dengan bahan kulit kerbau yang agak ditipiskan dengan wajah digambarkan miring, ukuran tangan dibuat lebih panjang dari ukuran tangan manusia, sehingga sampai dikaki. Wayang dari kulit kerbau ini diberi warna dasar putih yang dibuat dari campuran bahan perekat dan tepung tulang, sedangkan pakaiannya di cat dengan tinta.
Sunan Bonang menyususn struktur dramatikanya, Sunan Kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang, dan gunungan. Sunan Kalijaga tidak ketinggalan juga, untuk menyemarakkan perkembangan seni pedalangan pada masa itu dengan menciptakan Topeng yang dibuat dari kayu. Pokok ceriteranya diambil dari pakem wayang Gedog yang akhirnya disebut dengan topeng Panji. Bentuk mata dari topeng tersebut dibuat mirip dengan wayang Purwa. Pada masa Kerajaan Mataram diperintah oleh Panembahan Senapati atau Sutawijaya, diadakan perbaikan bentuk wayang Purwa dan wayang Gedog. Wayang ditatah halus dan wayang Gedog dilengkapi dengan keris. Sunan Kudus kebagian tugas mendalang. Untuk melengkapi jenis wayang yang sudah ada, Sunan Kudus menciptakan wayang Golek dari kayu. Lakon pakemnya diambil dari wayang Purwa dan diiringi dengan gamelan Slendro, tetapi hanya terdiri dari gong, kenong, ketuk, kendang, kecer dan rebab.  ‘Suluk’ masih tetap dipertahankan, dan ditambah dengan greget saut dan adha-adha.
Disamping itu baik wayang Purwa maupun wayang Gedog diberi bahu dan tangan yang terpisah dan diberi tangkai. Pada masa pemerintahan Sultan Agung Anyakrawati, wayang Beber yang semula dipergunakan untuk sarana upacara ruwatan diganti dengan wayang Purwa dan ternyata berlaku hingga sekarang. Pada masa itu pula diciptakan beberapa tokoh raksasa yang sebelumnya tidak ada, antara lain Buto Cakil. Wajah mirip raksasa, biasa tampil dalam adegan Perang Kembang atau Perang Bambangan.
Dalam pagelaran mempergunakan pakem yang berpangkal dari Serat Ramayana dan Serat Mahabarata. Perbedaan wayang Wong dengan wayang Topeng adalah : pada waktu main, pelaku dari wayang Wong aktif berdialog; sedangkan wayang Topeng dialog para pelakunya dilakukan oleh dalang. Pada jaman pemerintahan Sri Hamangkurat IV; beliau dapat warisan Kitab Serat Pustakaraja Madya dan Serat Witaraja dari Raden Ngabehi Ranggawarsito. Isi buku tersebut menceriterakan riwayat Prabu Aji Pamasa atau Prabu Kusumawicitra yang bertahta di negara Pamenang / Kediri.
Kemudian pindah Kraton di Pengging. Isi kitab ini mengilhami beliau untuk menciptakan wayang baru yang disebut wayang Madya. Ceritera dari Wayang Madya dimulai dari Prabu Parikesit, yaitu tokoh terakhir dari ceritera Mahabarata hingga Kerajaan Jenggala yang dikisahkan dalam ceritera Panji.
Bentuk wayang Madya, bagian atas mirip dengan wayang Purwa, sedang bagian bawah mirip bentuk wayang gedog. Semasa jaman Revolusi fisik antara tahun 1945 - 1949, usaha untuk mengumandangkan tekad pejuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dilakukan dengan berbagai cara.
Salah satu usaha ialah melalui seni pedalangan. Khusus untuk mempergelarkan ceritera- ceritera perjuangan tersebut, maka diciptakanlah wayang Suluh. Wayang Suluh berarti wayang Penerangan, karena kata Suluh berarti pula obor sebagai alat yang biasa dipergunakan untuk menerangi tempat yang gelap. Bentuk wayang Suluh, baik potongannya maupun pakaiannya mirip dengan pakaian orang sehari-hari. Bahan dipergunakan untuk membuat wayang Suluh ada yang berasal dari kulit ada pula yang berasal dari kayu pipih. Ada sementara orang berpendapat bahwa wayang suluh pada mulanya lahir di daerah Madiun yang di ciptakan oleh salah seorang pegawai penerangan dan sekaligus sebagai dalangnya. Tidak ada bentuk baku dari wayang Suluh, karena selalu mengikuti perkembangan jaman. Hal ini disebabkan khususnya cara berpakaian masyarakat selalu berubah, terutama para pejabatnya .





1. BIMA
Bima sebagai tokoh wayang JawaBima atau Bimasena adalah seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Mahābhārata. Ia dianggap sebagai seorang tokoh heroik. Ia adalah putra Dewi Kunti dan dikenal sebagai tokoh Pandawa yang kuat, bersifat selalu kasar dan menakutkan bagi musuh, walaupun sebenarnya hatinya lembut. Ia merupakan keluarga Pandawa di urutan yang kedua, dari lima bersaudara. Saudara se'ayah'-nya ialah wanara yang terkenal dalam epos Ramayana dan sering dipanggil dengan nama Hanoman. Akhir dari riwayat Bima diceritakan bahwa dia mati sempurna (moksa) bersama ke empat saudaranya setelah akhir perang Bharatayuddha. Cerita ini dikisahkan dalam episode atau lakon Prasthanikaparwa. Bima setia pada satu sikap, yaitu tidak suka berbasa basi dan tak pernah bersikap mendua serta tidak pernah menjilat ludahnya sendiri.

Bima dalam pewayangan Jawa

Bima adalah seorang tokoh yang populer dalam khazanah pewayangan Jawa. Suatu saat mantan presiden Indonesia, Ir. Soekarno pernah menyatakan bahwa ia sangat senang dan mengidentifikasikan dirinya mirip dengan karakter Bima. Bima memiliki beberapa sifat dan perwatakan: gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur serta menganggap semua orang sama derajadnya, sehingga dia digambarkan tidak pernah menggunakan bahasa halus (krama inggil) atau pun duduk di depan lawan bicaranya. Bima melakukan kedua hal ini (bicara dengan krama inggil dan duduk) hanya ketika menjadi seorang resi dalam lakon Bima Suci, dan ketika dia bertemu dengan Dewa Ruci. Ia memiliki keistimewaan dan ahli bermain gada (semacam senjata godam) serta memiliki berbagai macam senjata antara lain: Kuku Pancanaka, Gada Rujakpala, Alugara, Bargawa (kapak besar) dan Bargawasta. Sedangkan jenis ajian yang dimilikinya adalah: Aji Bandungbandawasa, Aji Ketuklindu, Aji Bayubraja dan Aji Blabak pangantol-antol.
Bima juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu: Gelung Pudaksategal, Pupuk Jarot Asem, Sumping Surengpati, Kelatbahu Candrakirana, ikat pinggang Nagabanda dan Celana Cinde Udaraga. Sedangkan beberapa anugerah Dewata yang diterimanya antara lain: Kampuh atau kain Poleng Bintuluaji, Gelang Candrakirana, Kalung Nagasasra, Sumping Surengpati dan Pupuk Pudak Jarot Asem.
Bima tinggal di kadipaten Jodipati, wilayah negara Amarta. Ia mempunyai tiga orang isteri dan 3 orang anak, yaitu:
  1. Dewi Nagagini, berputera (mempunyai putera bernama) Arya Anantareja,
  2. Dewi Arimbi, berputera Raden Gatotkaca dan
  3. Dewi Urangayu, berputera Arya Anantasena.
Menurut versi Banyumas, Bima mempunyai satu istri lagi, yaitu Dewi Retokotowati, berputera Srenggini (Gagrag Banyumasan)
2. DRONA
Drona
Bagawan Drona dalam pewayangan Jawa
Dalam wiracarita Mahabharata, Drona atau Dronacharya adalah guru para Korawa dan Pandawa. Ia merupakan ahli mengembangkan seni pertempuran, termasuk devastras. Arjuna adalah murid yang disukainya. Kasih sayang Drona terhadap Arjuna adalah yang kedua jika dibandingkan dengan rasa kasih sayang terhadap puteranya, Aswatama.

dalam pewayangan Jawa

Riwayat hidup Drona dalam pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan dengan kisah aslinya dari kitab Mahabharata yang berasal dari Tanah Hindu, yaitu India, dan berbahasa Sansekerta. Beberapa perbedaan tersebut meliputi nama tokoh, lokasi, dan kejadian. Namun perbedaan tersebut tidak terlalu besar sebab inti ceritanya sama. Perlu digarisbawahi juga, bahwa kepribadian Drona dalam Mahabharata berbeda dengan versi pewayangan.
Resi Drona berwatak tinggi hati, sombong, congkak, bengis, banyak bicaranya, tetapi kecakapan, kecerdikan, kepandaian dan kesaktiannnya luar baisa serta sangat mahir dalam siasat perang. Karena kesaktian dan kemahirannya dalam olah keprajuritan, Drona dipercaya menjadi guru anak-anak Pandawa dan Kurawa. Ia mempunyai pusaka sakti berwujud keris bernama Keris Cundamanik dan panah Sangkali (diberikan kepada Arjuna).
Bhagawan Drona atau Dorna (dibaca Durna) waktu mudanya bernama Bambang Kumbayana, putra Resi Baratmadya dari Hargajembangan dengan Dewi Kumbini. Ia mempunyai saudara seayah seibu bernama Arya Kumbayaka dan Dewi Kumbayani. Beliau adalah guru dari para Korawa dan Pandawa. Murid kesayangannya adalah Arjuna. Resi Drona menikah dengan Dewi Krepi, putri Prabu Purungaji, raja negara Tempuru, dan memperoleh seorang putra bernama Bambang Aswatama. Ia berhasil mendirikan padepokan Sokalima setelah berhasil merebut hampir setengah wilayah negara Pancala dari kekuasaan Prabu Drupada.
Dalam peran Bharatayuda Resi Drona diangkat menjadi Senapati Agung Kurawa, setelah gugurnya Bisma. Ia sangat mahir dalam siasat perang dan selalu tepat menentukan gelar perang. Resi Drona gugur di medan pertempuran oleh tebasan pedang Drestadyumena, putra Prabu Drupada, yang memenggal putus kepalanya. Konon kematian Resi Drona akibat dendam Prabu Ekalaya raja negara Parangggelung yang arwahnya menyatu dalam tubuh Drestadyumena. Akan tetapi sebenarnya adalah dikarenakan taktik perang yang dilancarkan oleh pihak Pandawa yang melancarkan tipu muslihat karena kerepotan menghadapi kesaktian dan kedigjayaan sang Resi.
Pelajaran yang dapat diambil dari sini adalah bagaimanapun saktinya sang resi, beliau sangat sayang terhadap keluarganya sehingga termakan siasat tipu dalam peperangan yang mengakibatkan kematiannya.
Dalam perjalanannya mencari Sucitra, ia tidak dapat menyeberang sungai dan ditolong oleh seekor kuda terbang jelmaan Dewi Wilutama, yang dikutuk oleh dewa. Kutukan itu akan berakhir bila ada seorang satria mencintainya dengan tulus. Karena pertolongannya, maka sang Kumbayana menepati janjinya untuk mencintai kuda betina itu. Namun karena terbawa nafsu, Kumbayana bersetubuh dengan kuda Wilutama hingga mengandung, dan kelak melahirkan seorang putra berwajah tampan tetapi mempunyai kaki seperti kuda (bersepatu kuda), yang kemudian diberi nama Bambang Aswatama.
Setelah bertemu Sucitra yang telah menjadi Raja bergelar Prabu Drupada, ia tidak diakui sebagai saudara seperguruannya. Kumbayana marah merasa dihina, kemudian balik menghina Raja Drupada. Namun sang Mahapatih Gandamana] (dulu adalah Patih Hastinapura di bawah pemerintahan Pandu) menjadi murka sehingga terjadi peperangan yang tidak seimbang. Meskipun Kumbayana sangat sakti ternyata kesaktiannya masih jauh di bawah Gandamana yang memiliki Aji Bandung Bondowoso (ajian ini diturunkan pada murid tercintanya, Raden Bratasena) yang memiliki kekuatan setara dengan 1000 gajah.
Kumbayana menjadi bulan-bulanan sehingga wajahnya rusak seperti yang ada sekarang ini. Namun dia tidak mati dan ditolong oleh Sakuni yang bernasib sama (Baca sempalan Mahabharata yang berjudul Gandamana Luweng). Hingga akhirnya ia diterima di Hastinapura dan dipercaya mendidik anak-anak Hastina (Pandawa dan Korawa).


3. GARENG
GarengNama lengkap dari Gareng sebenarnya adalah Nala Gareng , hanya saja masyrakat sekarang lebih akrab dengan sebutan “Gareng”. Gareng adalah purnakawan yang berkaki pincang. Hal ini merupakan sebuah sanepa dari sifat Gareng sebagai kawula yang selalu hati-hati dalam melangkahkan kaki. Selain itu, cacat fisik Gareng yang lain adalah tangan yang ciker atau patah. Ini adalah sanepa bahwa Gareng memiliki sifat tidak suka mengambil hak milik orang lain. Diceritakan bahwa tumit kanannya terkena semacam penyakit bubul.                       Gareng adalah anak sulung dari Semar. Dalam suatu carangan Gareng pernah menjadi raja di Paranggumiwayang dengan gelar Pandu Pragola. Saat itu dia berhasil mengalahkan prabu Welgeduwelbeh raja dari Borneo yang tidak lain adalah penjelmaan dari saudaranya sendiri yaitu Petruk.
Dulunya , Gareng berujud ksatria tampan bernama Bambang Sukodadi dari pedepokan Bluktiba. Suatu hari , saat baru saja menyelesaikan tapanya , ia berjumpa dengan ksatria lain bernama Bambang panyukilan. Karena suatu kesalah pahaman , mereka malah berkelahi. Dari hasil perkelahian itu, tidak ada yang menang dan kalah, bahkan wajah mereka berdua rusak. Kemudian datanglah Batara Ismaya (Semar) yang kemudian melerai mereka. Karena Batara Ismaya ini adalah pamong para ksatria Pandawa yang berjalan di atas kebenaran , maka dalam bentuk Jangganan Samara Anta , dia (Ismaya) memberi nasihat kepada kedua ksatria yang baru saja berkelahi itu.
Karena kagum oleh nasihat Batara Ismaya, kedua ksatria itu minta mengabdi dan minta diaku anak oleh Lurah Karang Dempel , titisan dewa (Batara Ismaya) itu. Akhirnya Jangganan Samara Anta bersedia menerima mereka , asal kedua kesatria itu mau menemani dia menjadi pamong para kesatria berbudi luhur (Pandawa), dan akhirnya mereka berdua setuju.
4. GATOTKACA
Gatotkaca
Gatotkaca sebagai tokoh wayang kulit Jawa
Gatotkaca atau Gatutkaca adalah seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata. Ia adalah putra Bima (Werkodara) dan Hidimbi. Karena menurun dari wujud ibunya, maka separuh badannya merupakan raksasa yang mana hal ini banyak memberi kesaktian dan membuat dirinya menjadi seorang ksatria penting di medan Kuru (medan perang) pada saat terjadinya Bharatayuddha.
Dalam bahasa Sansekerta, kata Ghatotkacha secara harfiah berarti "memiliki kepala seperti kendi". Nama Gatotkaca sebenarnya merupakan julukan (nama panggilan sehari-hari). Kata ini diambil dari bahasa Sansekerta ghaam yang berarti "buli-buli" atau "kendi", karena sewaktu lahir kepalanya dianggap mirip dengan benda ini.

Gatotkaca dalam budaya pewayangan Jawa

Dalam khazanah pewayangan Jawa Baru, tokoh Gatotkaca juga sangat populer. Gatotkaca dikatakan bahwa ia memiliki kesaktian yang sanggup terbang dan mempunyai "otot kawat baja dan tulang besi". Nama lain Gatotkaca yang juga populer dalam khazanah sastra Jawa Baru adalah Tutuka atau Tetuka.
Gatotkaca mempunyai pusaka berupa Keris Kalanadhah yang didapat dari pamannya, Arjuna. Selain itu, pakaiannya merupakan pemberian dari para Dewa, antara lain pakaian Caping Basunandho (tidak akan kehujanan ataupun kepanasan), pakaian Kotang Ontokusumo (bisa terbang), dan Trumpah (sandal) Probokacermo (tidak akan terganggu jika melalui jalan atau tempat yang angker).
Raden Gatotkaca lalu menjadi raja menggantikan ibunya Dewi Arimbi di negara Pringgondani. Negara ini kemudian menjadi bagian dari negara Amarta atau Indraprastha, dan Raden Krincing Wesi ini mengambil gelar "Prabu Anom Gathutkaca". Pada masa dewasanya Gatotkaca memperistri Dewi Pergiwa, dan terpilih menjadi senopati negara amarta pada perang Bharatayuddha, dan setelah menerima wahyu Jayaningrat serta Topeng Waja.
5. WIBISANA
Wibisana adalah tokoh protagonis dalam wiracarita Ramayana. Ia adalah adik kandung Rahwana. Wibisana merupakan putera bungsu dari Resi Wisrawa, putera Resi Pulatsya, dengan seorang puteri Detya bernama Kekasi. Wibisana memiliki tiga saudara kandung, bernama Rahwana, Kumbakarna, dan Surpanaka. Di antara saudaranya, Wibisana adalah anak yang paling baik. Sifatnya tidak seperti rakshasa pada umumnya meskipun ia merupakan keturunan rakshasa. Karakternya mirip dengan Prahlada yang dilahirkan sebagai keturunan asura, namun menjadi pemuja Wisnu yang setia.
Wibisana menghabiskan masa mudanya dengan bertapa dan memuja Wisnu. Ketika Rahwana dan Kumbakarna bertapa memuja Brahma, Wibisana juga berbuat demikian. Saat Dewa Brahma memberi kesempatan kepada Wibisana untuk memohon anugerah, Wibisana meminta agar ia selalu berada di jalan kebenaran atau dharma. Sikapnya tidak seperti kakaknya yang meminta kekuatan untuk menaklukkan para dewa.
Dalam kisah Ramayana, setelah gagal membujuk kakaknya untuk mengembalikan Sita kepada Rama, Wibisana memutuskan untuk berpihak pada Rama yang diyakininya sebagai pihak yang benar. Hal ini berarti dia harus melawan kakaknya sendiri (Rahwana) demi membela kebenaran. Menarik untuk dilihat bahwa Kumbakarna (yang juga masih saudara kandung dengan Wibisana dan Rawana) mengambil sikap yang berlawanan, dimana Kumbakarna tetap membela tanah air, walaupun menyadari bahwa dia berada di pihak yang salah. Wibisana merupakan tokoh yang menunjukkan bahwa kebenaran itu menembus batas-batas nasionalisme, bahkan ikatan persaudaraan.
6. HANOMAN
Hanoman sebagai tokoh wayang kulit dari Jawa.Hanoman atau Hanumat, juga disebut sebagai Anoman, adalah salah satu dewa dalam kepercayaan agama Hindu, sekaligus tokoh protagonis dalam wiracarita Ramayana yang paling terkenal. Ia adalah seekor kera putih dan merupakan putera Batara Bayu dan Anjani, saudara dari Subali dan Sugriwa. Menurut Kitab Serat Pedhalangan, tokoh Hanoman sebenarnya memang asli dari wiracarita Ramayana, namun dalam pengembangannya tokoh ini juga sering muncul dalam serial Mahabharata, sehingga menjadi tokoh antar zaman. Di India, hanoman dipuja sebagai dewa pelindung dan beberapa kuil didedikasikan untuk memuja dirinya.
Dalam misi membantu Rama mencari Sita, Sugriwa mengutus pasukan wanara-nya agar pergi ke seluruh pelosok bumi untuk mencari tanda-tanda keberadaan Sita, dan membawanya ke hadapan Rama kalau mampu. Pasukan wanara yang dikerahkan Sugriwa dipimpin oleh Hanoman, Anggada, Nila, Jembawan, dan lain-lain. Mereka menempuh perjalanan berhari-hari dan menelusuri sebuah gua, kemudian tersesat dan menemukan kota yang berdiri megah di dalamnya. Atas keterangan Swayampraba yang tinggal di sana, kota tersebut dibangun oleh arsitek Mayasura dan sekarang sepi karena Maya pergi ke alam para Dewa. Lalu Hanoman menceritakan maksud perjalanannya dengan panjang lebar kepada Swayampraba. Atas bantuan Swayampraba yang sakti, Hanoman dan wanara lainnya lenyap dari gua dan berada di sebuah pantai dalam sekejap.
Hanoman
Di pantai tersebut, Hanoman dan wanara lainnya bertemu dengan Sempati, burung raksasa yang tidak bersayap. Ia duduk sendirian di pantai tersebut sambil menunggu bangkai hewan untuk dimakan. Karena ia mendengar percakapan para wanara mengenai Sita dan kematian Jatayu, Sempati menjadi sedih dan meminta agar para wanara menceritakan kejadian yang sebenarnya terjadi. Anggada menceritakan dengan panjang lebar kemudian meminta bantuan Sempati. Atas keterangan Sempati, para wanara tahu bahwa Sita ditawan di sebuah istana yang teretak di Kerajaan Alengka. Kerajaan tersebut diperintah oleh raja raksasa bernama Rahwana. Para wanara berterima kasih setelah menerima keterangan Sempati, kemudian mereka memikirkan cara agar sampai di Alengka.
7. INDRAJIT
Dalam wiracarita Ramayana, Indrajit alias Megananda adalah salah satu putera Rahwana dan menjadi putera mahkota Kerajaan Alengka. Indrajit merupakan ksatria yang sakti mandraguna, dalam perang antara pihak Rama dan Rahwana, Indrajit sering merepotkan bala tentara Rama dengan kesaktiannya. Ia punya senjata sakti yang bernama Nagapasa, apabila senjata tersebut dilepaskan, maka akan keluar ribuan naga meyerang ke barisan musuh. Dalam perang besar tersebut akhirnya Indrajit tewas di tangan Laksmana, adik Rama.
Ayah Indrajit adalah Rahwana, sedangkan ibunya adalah Mandodari. Indrajit diberi nama "Meghanada" saat lahir sebab ketika ia menangis untuk yang pertama kalinya, bunyi petir dan guruh mengiringinya, menandakan kelahiran ksatria besar. Nama julukan 'Indrajit' ("penakluk Indra") dianugerahkan oleh Dewa Brahma ketika ia mengalahkan dan memenjarakan Indra, Raja para Dewa. Senjata Brahmastra diberikan kepada Indrajit pada kesempatan tersebut. Konon senjata tersebut memiliki kekuatan menakjubkan dan jika lepas dari busurnya, senjata itu bisa mematahkan busur lawan dan membunuh seseorang sesuai dengan keinginan.
8. KREPA
Krepa dalam versi pewayangan JawaKrepa atau Kripa (Kpa) atau Kripacharya (Guru Kripa), adalah seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan putera Resi Bharadwaja, dan menjadi guru para pangeran Kuru di Hastinapura.
Pada mulanya, ia hidup dihutan bersama dengan adiknya yang bernama Kripi. Suatu ketika Prabu Santanu dari Hastinapura berburu ke tengah hutan. Karena merasa kasihan dengan keadaan mereka, ia memungut Krepa dan Kripi, lalu diberi pendidikan. Karena kemahiran Krepa dalam ilmu menggunakan senjata, akhirnya ia diangkat menjadi pejabat di Hastinapura dan diberi kepercayaan untuk mendidik para pangeran Kuru (Pandawa dan Korawa). Ia berperang pada pihak Korawa pada perang Bharatayuddha. Ia salah seorang kawan Aswatama yang membalas dendam kekalahan Korawa.
9. KUMBAKARNA




Kumbakarna
Kumbakarna versi pewayangan Jawa
Dalam bahasa Sansekerta, secara harafiah nama Kumbhakarna berarti "bertelinga kendi".Dalam wiracarita Ramayana, Kumbakarna adalah saudara kandung Rahwana, raja rakshasa dari Alengka. Kumbakarna merupakan seorang rakshasa yang sangat tinggi dan berwajah mengerikan, tetapi bersifat perwira dan sering menyadarkan perbuatan kakaknya yang salah. Ayah Kumbakarna adalah seorang resi bernama Wisrawa, dan ibunya adalah Kekasi, puteri seorang Raja Detya bernama Sumali. Rahwana, Wibisana dan Surpanaka adalah saudara kandungnya, sementara Kubera, Kara, Dusana, Kumbini, adalah saudara tirinya. Marica adalah pamannya, putera Tataka, saudara Sumali. Kumbakarna memiliki putera bernama Kumba dan Nikumba. Kedua puteranya itu gugur dalam pertempuran di Alengka. Kumba menemui ajalnya di tangan Sugriwa, sedangkan Nikumba gugur di tangan Hanoman.
10. PANDU
Pandu
Prabu Pandu, Raja Hastinapura, dalam versi pewayangan Jawa
Pandu adalah nama salah satu tokoh dalam wiracarita Mahabharata, ayah dari para Pandawa. Pandu merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, yaitu Dretarasta yang sebenarnya merupakan pewaris dari Kerajaan Kuru dengan pusat pemerintahan di Hastinapura, tetapi karena buta maka tahta diserahkan kepada Pandu dan Widura, yang tidak memiliki ilmu kesaktian apapun tetapi memiliki ilmu kebijaksanaan yang luar biasa terutama bidang ketatanegaraan.
Pandu merupakan seorang pemanah yang mahir. Ia memimpin tentara Dretarastra dan juga memerintah kerajaan untuknya. Pandu menaklukkan wilayah Dasarna, Kashi, Anga, Wanga, Kalinga, Magadha, dan lain-lain.
Pandu menikahi Kunti, puteri Raja Kuntibhoja dari Wangsa Wresni, dan Madri, puteri Raja Madra. Saat berburu di hutan, tanpa sengaja Pandu memanah seorang resi yang sedang bersenggama dengan istrinya. Atas perbuatan tersebut, Sang Resi mengutuk Pandu agar kelak ia meninggal saat bersenggama dengan istrinya. Maka dari itu, Pandu tidak bisa memiliki anak dengan cara bersenggama dengan istrinya. Dengan kecewa, Pandu meninggalkan hutan bersama istrinya dan hidup seperti pertapa. Di dalam hutan, Kunti mengeluarkan mantra rahasianya dan memanggil tiga Dewa, Yaitu Yama, Bayu, dan Indra. Dari ketiga Dewa tersebut, ia meminta masing-masing seorang putera. Ketiga putera tersebut adalah Yudistira, Bima, dan Arjuna. Kunti juga memberi kesempatan kepada Madri untuk meminta seorang putera dari Dewa yang dipanggilnya, dan Madri memanggil Dewa Aswin. Dari Dewa tersebut, Madri menerima putera kembar, diberi nama Nakula dan Sadewa. Kelima putra pandu dikenal sebagai Pandawa
Pandu memiliki dua orang istri, yaitu Kunti dan Madri. Sebenarnya Pandu Dewanata tidak bisa mempunyai anak karena dikutuk oleh seorang resi, karena pada saat resi tersebut menyamar menjadi kijang untuk bercinta, Pandu memanah hingga resi itu tewas. Kedua istri Pandu Dewanata mengandung dengan cara meminta kepada Dewa. Pandu Dewanata akhirnya tewas karena kutukan yang ditimpa kepadanya, dan Madri menyusul suaminya dengan membakar dirinya.
Lima belas tahun setelah ia hidup membujang, ketika Kunti dan putera-puteranya berada jauh, Pandu mencoba untuk bersenggama dengan Madri. Atas tindakan tersebut, Pandu wafat sesuai dengan kutukan yang diucapkan oleh resi yang pernah dibunuhnya. Kemudian Madri menitipkan putera kembarnya, Nakula dan Sadewa, agar dirawat oleh Kunti sementara ia membakar dirinya sendiri untuk menyusul suaminya ke alam baka.
Parasara
Bagawan Parasara dalam versi pewayangan Jawa

11. PARASARA                                                                   
Parasara adalah seorang tokoh terkenal dalam agama Hindu yang menulis buku Jyotisha (Astronomi Hindu) dan Purana, khususnya Wisnu Purana. Ia merupakan putera dari bagawan Çakri (Shakri) alias Shaktya, dan merupakan cucu dari Maharsi Wasistha. Ia seorang Resi yang sangat sakti dan berasal dari keluarga Resi yang sakti dan terkenal pula. Riwayatnya muncul sekilas dalam Mahabharata. Dalam kitab tersebut, ia dikisahkan menikah dengan Satyawati dan menurunkan seorang putra bernama Byasa atau Resi Weda Wyasa (Rishi Veda Vyasa). Pada suatu hari, Bagawan Parasara berdiri di tepi Sungai Yamuna, minta diseberangkan dengan perahu. Satyawati (alias Durgandini atau Gandawati) menghampirinya lalu mengantarkannya ke seberang dengan perahu. Di tengah sungai, Sang Parasara terpikat oleh kecantikan Satyawati.
Satyawati kemudian bercakap-cakap dengan Resi Parasara, sambil menceritakan bahwa ia terkena penyakit yang menyebabkan badannya berbau busuk. Ayahnya Satyawati berpesan, bahwa siapa saja lelaki yang dapat menyembuhkan penyakitnya dijadikan suami. Mendengar hal itu, Resi Parasara mengatakan bahwa ia bersedia menyembuhkan penyakitnya, lalu ia meraba kulit Satyawati. Tak berapa lama kemudian, bau harum semerbak tersebar dan bahkan dapat tercium pada jarak seratus "Yojana". Karena Resi Parasara berhasil menyembuhkannya, maka ia berhak menjadikan Satyawati sebagai istri.
Setelah lamaran disetujui oleh orangtua Satyawati, Parasara dan Satyawati melangsungkan pernikahan. Kedua mempelai menikmati malam pertamanya di atas sebuah perahu yang terapung di tengah sungai Yamuna. Di sana Resi Parasara menciptakan kabut gelap nan tebal agar tidak perahunya tidak dapat dilihat orang. Perahu tersebut bagaikan sebuah pulau yang diselimuti kabut tebal. Dari hasil hubungannya, lahirlah Rsi Byasa yang sangat luar biasa. Beliau mampu mengucapkan ayat-ayat Veda bahkan ketika baru lahir.
12. PARIKESIT      
Parikesit atau Pariksita adalah seorang tokoh dari wiracarita Mahabharata. Ia adalah raja Hastina dan cucu Arjuna. Ayahnya adalah Abimanyu sedangkan putranya adalah Janamejaya.

Parikesit dalam pewayangan Jawa

Parikesit adalah putera Abimanyu alias Angkawijaya, kesatria Plangkawati dengan permaisuri Dewi Utari, puteri Prabu Matsyapati dengan Dewi Ni
Parikesit
Parikesit dalam versi pewayangan Jawa
Parikesit dalam versi pewayangan Jawa
Yustinawati dari Kerajaan Wirata. Ia seorang anak yatim, karena ketika ayahnya gugur di medan perang Bharatayuddha, ia masih dalam kandungan ibunya. Parikesit lahir di istana Hastinapura setelah keluarga Pandawa boyong dari Amarta ke Hastinapura.Parikesit naik tahta negara Hastinapura menggantikan kakeknya Prabu Karimataya, nama gelar Prabu Yudistira setelah menjadi raja negara Hastinapura. Ia berwatak bijaksana, jujur dan adil.

13. EKALAWYA
Ekalawya adalah seorang pangeran dari kaum Nisada. Kaum ini adalah kaum yang paling rendah yaitu kaum pemburu, namun memiliki kemampuan yang setara dengan Arjuna dalam ilmu memanah. Bertekad ingin menjadi pemanah terbaik di dunia, lalu ia pergi ke Hastina ingin berguru kepada Bagawan Drona. Tetapi ditolaknya.
Dalam bahasa Sansekerta, kata Ekalavya secara harfiah berarti "ia yang memusatkan pikirannya kepada suatu ilmu/mata pelajaran". Sesuai dengan arti namanya, Ekalawya adalah seorang kesatria yang memusatkan perhatiannya kepada ilmu memanah.

Ekalawya dalam versi pewayangan Jawa

Dalam pewayangan Jawa, Ekalawya atau Ekalaya atau Ekalya (dalam cerita pedalangan dikenal pula dengan nama "Palgunadi") adalah Raja negara Paranggelung. Ekalaya mempunyai isteri yang sangat cantik dan sangat setia bernama Dewi Anggraini, puteri hapsari (bidadari) Warsiki.
Ekalaya seorang raja kesatria, yang selalu mendalami olah keprajuritan dan menekuni ilmu perang. Ia sangat sakti dan sangat mahir mampergunakan senjata panah. Ia juga mempunyai cincin pusaka bernama Mustika Ampal yang menyatu dengan ibu jari tangan kanannya. Ekalaya berwatak jujur, setia, tekun dan tabah, sangat mencintai istrinya.
Ekalaya adalah seseorang yang gigih dalam menuntut ilmu. Suatu ketika Prabu Ekalaya mendapatkan bisikan ghaib untuk mempelajari ilmu atau ajian Danurwenda yang kebetulan hanya dimiliki oleh Resi Drona. Sedangkan Sang Resi sudah berjanji tidak akan mengajarkan ilmu tersebut kepada orang lain melainkan kepada para Pandawa dan Korawa saja. Dengan kegigihannya Prabu Ekalaya belajar sendiri dengan cara membuat patung Sang Resi dan belajar dengan sungguh-sungguh sehingga berhasil menguasai ajian tersebut.
Istri Prabu Ekalaya sangat cantik jelita sehingga membuat Arjuna berhasrat padanya, Dewi Anggraini mengadukan hal tersebut kepada suaminya sehingga terjadi perselisihan dengan Arjuna. Prabu Ekalaya mempertahankan haknya sehingga bertarung dengan Arjuna yang menyebabkan Arjuna sempat mati yang kemudian dihidupkan kembali oleh Prabu Batara Sri Kresna
Dalam perselisihannya dengan Arjuna, Ekalaya ditipu untuk merelakan ibu jari tangan kanannya dipotong oleh 'patung' Resi Drona, yang mengakibatkan kematiaannya karena cincin Mustika Ampal lepas dari tubuhnya. Menjelang kematiaanya, Ekalaya berjanji akan membalas kematiannya pada Resi Drona.
Dalam perang Bharatayuddha, kutuk dendam Ekalaya menjadi kenyataan. Arwahnya menyatu dalam tubuh Arya Drestadyumena, kesatria Panchala, yang memenggal putus kepala Resi Drona hingga menemui ajalnya.


14. GARUDA JATAYU
Jatayu
Sayap Jatayu ditebas oleh Rawana
Jatayu adalah tokoh protagonis dari wiracarita Ramayana, putera dari Sang Aruna dan keponakan dari Sang Garuda. Ia merupakan saudara Sempati. Ia adalah seekor burung yang melihat bagaimana Dewi Sita diculik oleh Rawana. Ia berusaha melawan tetapi kalah bertarung dan akhirnya mati. Tetapi ketika belum mati dan masih sekarat masih bisa melaporkan kepada Sri Rama bahwa Dewi Sita istrinya, diculik.
Tempat dimana Sri Rama menemukan Jatayu yang sedang sekarat dinamakan JatayuMangalam, sekarang dikenal sebagai ChadayaMangalam, terletak di Distrik Kollam, Kerala. Batu besar di tempat tersebut dinamai JatayuPara, diambil dari nama Jatayu. Tempat itu dimanfaatkan sebagai obyek wisata.

Kisah Jatayu dalam Ramayana

Ketika Sita menjerit-jerit karena dibawa kabur oleh Rawana, Jatayu yang sedang berada di dahan sebuah pohon mendengarnya. Ia melihat ke atas, dan tampak Rahwana terbang membawa Sita, puteri Prabu Janaka. Jatayu yang bersahabat dengan Raja Dasarata, merasa bertanggung jawab terhadap Sita yang merupakan istri putera sahabatnya, Sri Rama. Dengan jiwa ksatria meluap-luap dan berada di pihak yang benar, Jatayu tidak gentar untuk melawan Rawana. Ia menyerang Rahwana dengan segenap tenaganya. Namun Jatayu sudah renta. Ketika ia sedang berusaha menyelamatkan Sita dari Rahwana, sayapnya ditebas dengan pedang. Jatayu bernasib naas. Tubuhnya terjatuh ke tanah dan darahnya bercucuran.


15. KARNA
Adipati Karna dalam versi pewayangan JawaKarna alias Radheya adalah salah satu tokoh dari wiracarita Mahabharata yang terkenal. Ia sebenarnya adalah masih saudara satu ibu dengan tiga Pandawa, yaitu Yudistira, Werkodara dan Arjuna (Nakula dan Sadewa bukan saudara langsung Karna, melainkan saudara sepupunya).
Dalam bahasa Sansekerta, nama Karna secara harfiah berarti telinga. Dalam makna yang tersirat, kata "Karna" dapat juga berarti "terampil" atau "pandai". Karna juga menyandang nama "Radheya" saat masih kecil. Nama itu diberikan oleh orangtua tirinya, yaitu Adirata dan Radha. Nama "Radheya" secara harfiah berarti "putera Radha".
Anggapan terkenal mengatakan bahwa kata "Karna" dipilih sebab ia dilahirkan melalui telinga, namun anggapan tersebut tidak selamanya benar sebab beberapa versi mengatakan bahwa Karna lahir normal, dan keperawanan ibunya (Kunti) kembali lagi setelah melahirkan. Setelah bayi tersebut dilahirkan, Kunti tidak memberinya nama dan menghanyutkannnya ke sungai Aswa, lalu dipungut oleh Adirata sebagai hadiah bagi Radha. Semenjak saat itu, bayi yang dipungut oleh Adirata diberi nama Radheya. Tidak ada yang mengetahui asal-usul Karna dan bagaimana Karna dilahirkan, sampai Kunti membeberkan rahasia yang sebenarnya.

Karna dalam pewayangan Jawa


            Karna dalam pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan dengan kisah aslinya dari kitab Mahabharata yang berasal dari Tanah Hindu, yaitu India, dan berbahasa Sansekerta. Beberapa perbedaan tersebut meliputi nama tokoh, lokasi, dan kejadian. Namun perbedaan tersebut tidak terlalu besar sebab inti ceritanya sama.

Ibu dari Karna dan Panca Pandawa yaitu Kunti, pernah mencoba sebuah aji pada masa kecilnya untuk memanggil seorang Dewa. Yang dipanggilnya adalah Dewa Matahari (Surya) dan beliau membuatnya hamil. Puteranya akan keluar dari telinga untuk menjaga keperawanan Kunti, maka dinamakannya Karna. Nama-nama Karna lainnya berhubungan dengan statusnya sebagai putera Dewa Matahari, yaitu Arkasuta, Suryatmaja dan lain sebagainya.

Oleh ibunya, Karna dihanyutkan di sungai sampai ia ditemukan oleh Prabu Radeya dan diangkat anak, sayangnya kerajaan Prabu Radeya tunduk kepada Hastinapura dan ia dibesarkan oleh seorang sais prabu Dretarastra, yang bernama Nandana atau Adirata. Oleh Adirata, Karna kemudian diberi nama Aradea. Nama itu digunakan Karna sampai dewasa, hingga ia mengetahui identitas diri yang sesungguhnya.
Meskipun Karna masih saudara seibu dengan Yudistira, Werkodara (Bima), dan Arjuna, tetapi para Pandawa tidak mengetahuinya sampai ia gugur di perang Bharatayuddha, sehingga mereka suka menghinanya. Karna sangat mahir menggunakan senjata panah. Kesaktiannya setara dengan Arjuna. Ia mempunyai panah andalan bernama Kunta. Suatu ketika, ketika terjadi uji tanding antara Korawa dengan Pandawa sebagi murid-murid Drona, Karna berhasil menandingi kesaktian Arjuna. Namun karena Karna bukan raja atau anak raja maka beliau diusir dari arena. Karena mengetahui kesaktiannya, maka Duryodana, ketua para Korawa mengangkatnya menjadi Raja Awangga. Sejak itu Karna bersumpah setia kepada Duryodana.
Senjata andalannya, yaitu panah Kunta adalah pemberian Batara Narada sebab beliau mengira bahwa Karna adalah Arjuna karena kemiripannya. Panah tersebut adalah senjata yang paling ampuh, bahkan melebihi Cakra milik Prabu Kresna dan panah Pasupati Arjuna, namun untungnya hanya sekali pakai. Sarung dari panah tersebut yang masih disimpan Batara Narada kemudian dititpkan ke Bima untuk diberikan ke Arjuna adalah saat para pandawa mengetahui bahwa Batara Narada salah alamat. Sarung dari Kunta tersebut kemudian dipakai untuk memutus tali pusar bayi Tetuka alias Gatotkaca.
16. DROPADI
Dewi Dropadi dalam wujud wayang Jawa.Dropadi atau Draupadi adalah salah satu tokoh dari Wiracarita Mahabharata. Ia adalah putri Prabu Drupada, Raja Kerajaan Panchala. Pada kitab Mahabharata versi aslinya, Dropadi adalah istri daripada para Pandawa lima semuanya. Tetapi dalam tradisi pewayangan Jawa di kemudian hari, ia hanyalah permaisuri prabu Yudistira saja.

Dropadi dalam pewayangan Jawa

Dalam budaya pewayangan Jawa, khususnya setelah mendapat pengaruh Islam, Dewi Dropadi diceritakan agak berbeda dengan kisah dalam kitab Mahabharata versi aslinya. Dalam cerita pewayangan, Dewi Dropadi dinikahi oleh Yudistira saja dan bukan milik kelima Pandawa. Cerita tersebut dapat disimak dalam lakon "Sayembara Gandamana". Dalam lakon tersebut dikisahkan, Yudistira mengikuti sayembara mengalahkan Gandamana yang diselenggarakan Raja Dropada. Siapa yang berhasil memenangkan sayembara, berhak memiliki Dropadi. Yudistira ikut serta namun ia tidak terjun ke arena sendirian melainkan diwakili oleh Bima. Bima berhasil mengalahkan Gandamana dan akhirnya Dropadi berhasil didapatkan. Karena Bima mewakili Yudistira, maka Yudistiralah yang menjadi istri Dropadi. Dalam tradisi pewayangan Jawa, putera Dropadi dengan Yudistira bernama Raden Pancawala. Pancawala sendiri merupakan sebutan untuk lima putera Pandawa.
17. DRUPADA
Drupada juga disebut Yajñasena (Yadnyaséna), adalah nama salah satu tokoh Mahabharata. Ia merupakan raja di Kerajaan Panchala. Pada masa mudanya merupakan teman Drona, guru para Pandawa dan Korawa di Hastinapura. Drupada memiliki seorang putera, seorang puteri, dan sorang anak waria. Masing-masing bernama Drestadyumna, Dropadi, dan Srikandi. Drupada dibunuh oleh Drona dalam pertempuran akbar di Kurukshetra.
Drupada merupakan ayah Amba, yang dalam reinkarnasi berikutnya menjelma sebagai seorang pria bernama Srikandi. Karena Srikandi mengingat kehidupan masa lalunya sebagai wanita, kadangkala ia disebut Srikandini.
Drupada dalam Mahabharata
Saat masih muda, Drupada belajar bersama Drona dan menjadi temannya. Drona membuatnya berjanji untuk membagi segala kekayaannya. Kemudian, saat Drupada menjadi raja di Panchaladesa, Drona mengingatkan janjinya dan meminta kekayaannya. Drupada mengejek Drona karena janji mereka yang tak dapat dipertanggungjawabkan saat di masa muda. Dengan sangat marah, Drona menjadi guru para pangeran Kuru di Hastinapura. Setelah mereka tamat, Drona menyuruh mereka untuk mengalahkan Drupada. Dalam penyerangan yang tiba-tiba, Arjuna, salah satu Pandawa, melucuti senjata Drupada dan memaksanya untuk menyerahkan separuh kerajaannya.

Drupada dalam pewayangan Jawa

Prabu Drupada yang waktu mudanya bernama Arya Sucitra, adalah putra Arya Dupara dari Hargajambangan, dan merupakan turunan ke tujuh dari Bathara Brahma. Arya Sucitra bersaudara sepupu dengan Bambang Kumbayana atau Resi Drona dan menjadi saudara seperguruan sama-sama berguru pada Resi Baratmadya.
Untuk mencari pengalaman hidup, Arya Sucitra pergi meninggalkan Hargajembangan, mengabdikan diri ke negara Astina kehadapan Prabu Pandudewanata (Pandu). Ia menekuni seluk beluk tata kenegaraan dan tata pemerintahan. Karena kepatuhan dan kebaktiannya kepada negara, oleh Prabu Pandu ia dijodohkan atau dikawinkan dengan Dewi Gandawati, putri sulung Prabu Gandabayu dengan Dewi Gandarini dari negara Pancala. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh tiga orang putra masing-masing bernama Dewi Drupadi, Dewi Srikandi dan Arya Drestadyumena.
Ketika Prabu Gandabayu mangkat, dan berputra mahkota Arya Gandamana menolak menjadi raja, Arya Sucitra dinobatkan menjadi raja Pancala dengan gelar Prabu Drupada. Dalam masa kekuasaanya, Prabu Drupada berselisih dengan Resi Drona, dan separuh dari wilayah negara Pancala direbut secara paksa melalui peperangan oleh Resi Drona dengan bantuan anak-anak Pandawa dan Korawa. Di dalam perang besar Bharatayudha, Prabu Drupada tampil sebagai senapati perang Pandawa. Ia gugur melawan Resi Drona karena terkena Panah Cundamanik.
18. DURYODANA
Prabu Suyodana (Duryodana) Sang Raja Hastina, dalam versi pewayangan Jawa.Duryodana atau Suyodana adalah tokoh antagonis yang utama dalam wiracarita Mahabharata, musuh utama para Pandawa. Secara harfiah, nama Duryodana dalam bahasa Sansekerta memiliki arti "sulit ditaklukkan" atau dapat pula berarti "tidak terkalahkan".Duryodana merupakan inkarnasi dari Iblis Kali. Ia lahir dari pasangan Dretarastra dan Gandari. Duryodana merupakan saudara yang tertua di antara seratus Korawa. Ia menjabat sebagai raja di Kerajaan Kuru dengan pusat pemerintahannya di Hastinapura.
Duryodana menikah dengan puteri Prabu Salya dan mempunyai putera bernama Laksmana (Laksmanakumara). Duryodana digambarkan sangat licik dan kejam, meski berwatak jujur, ia mudah terpengaruh hasutan karena tidak berpikir panjang dan terbiasa dimanja oleh kedua orangtuanya. Karena hasutan Sangkuni, yaitu pamannya yag licik dan berlidah tajam, ia dan saudara-saudaranya senang memulai pertengkaran dengan pihak Pandawa. Dalam perang Bharatayuddha, bendera keagungannya berlambang ular kobra. Ia dikalahkan oleh Bima pada pertempuran di hari kedelapan belas karena pahanya dipukul dengan gada.
19. JANAMEJAYA
Dalam wiracarita Mahabharata, Janamejaya adalah nama seorang raja, memerintah Kerajaan Kuru dengan pusat pemerintahannya yang bernama Hastinapura. Ia adalah anak dari Maharaja Parikesit, sekaligus buyut Arjuna. Ia diangkat menjadi raja pada usia yang masih muda karena ayahnya tewas digit Naga Taksaka. Cerita Mahabharata konon dikisahkan oleh Bagawan Wesampayana kepada beliau.
Janamejaya menikahi Wapushtama, dan memiliki dua putera bernama Satanika dan Sankukarna. Satanika diangkat sebagai raja menggantikan ayahnya dan menikahi puteri dari Kerajaan Wideha, kemudian memiliki seorang putra bernama Aswamedhadatta. Para keturunan Raja Janamejaya tersebut merupakan raja legendaris yang memimpin Kerajaan Kuru, namun riwayatnya tidak muncul dalam Mahabharata.
20. BATARA WISNU
Wisnu
Dalam ajaran agama Hindu, Wisnu disebut juga Sri Wisnu atau Nārāyana) adalah Dewa yang bergelar sebagai "shtiti" (pemelihara) yang bertugas memelihara dan melindungi segala ciptaan Brahman. Dalam filsafat Hindu Waisnawa, Ia dipandang sebagai roh suci dan Dewa yang tertinggi. Dalam filsafat Advaita Vedanta dan tradisi Hindu umumnya, Dewa Wisnu dipandang sebagai salah satu manifestasi Brahman dan enggan untuk dipuja sebagai Tuhan tersendiri yang menyaingi atau sederajat dengan Brahman.
Dewa Wisnu dilukiskan sebagai Dewa yang berkulit hitam-kebiruan atau biru gelap; berlengan enam, masing-masing memegang: gada, lotus, sangkala, dan chakra. Yang paling identik dengan Dewa Wisnu adalah senjata chakra dan kulitnya yang berwarna biru gelap. Dalam filsafat Waisnawa, Wisnu disebutkan memiliki wujud yang berbeda-beda atau memiliki aspek-aspek tertentu. Wisnu sering dilukiskan memegang empat benda yang selalu melekat dengannya, yakni:
  • Terompet kulit kerang atau “Shankhya”, bernama “Panchajanya”, dipegang oleh tangan kiri atas, simbol kreativitas. Panchajanya melambangkan lima elemen penyusun alam semesta dalam agama Hindu, yakni: air, tanah, api, udara, dan aether.
  • Chakram, senjata berputar dengan gerigi tajam, bernama “Sudarshana”, dipegang oleh tangan kanan atas, melambangkan pikiran. Sudarshana berarti pandangan yang baik.
  • Gada yang bernama Kaumodaki, dipegang oleh tangan kiri bawah, melambangkan keberadaan individual.
  • Bunga lotus atau Padma, simbol kebebasan. Padma melambangkan kekuatan yang memunculkan alam semesta.
21. BATARA GURU
Bathara GuruBatara Guru merupakan Dewa yang merajai kahyangan. Dia yang mengatur wahyu kepada para wayang, hadiah, dan ilmu-ilmu. Batara Guru mempunyai sakti (istri) Dewi Uma, dan mempunyai beberapa anak. Berikut adalah urutan anak-anak Batara Guru, dimulai dari yang paling sulung (menurut tradisi wayang Jawa):
  1. Batara Sambu              5. Batara Wisnu
  2. Batara Brahma            6. Batara Ganesha
  3. Batara Indra                7. Batara Kala
  4. Batara Bayu                8. Hanoman
Betara Guru (Manikmaya) diciptakan dari cahaya yang gemerlapan oleh Hyang Tunggal. Diciptakannya bersamaan dengan cahaya yang berwarna kehitam-hitaman yang merupakan asal jadinya Ismaya (Semar). Oleh Hyang Tunggal kemudian diputuskan kalau Manikmaya yang berkuasa di Suryalaya, sedangkan Ismaya turun ke bumi untuk mengasuh para Pandawa. Adapun saat Batara Guru diciptakan, ia merasa paling sempurna dan tiada cacatnya. Oleh Hyang Tunggal diketahuinya perasaan Manikmaya itu, lalu Hyang Tunggal bersabda kalau Manikmaya akan memiliki cacad berupa lemah di kaki, belang di leher, bercaling, dan berlengan empat. Batara Guru amat menyesal mendengar perkataan Hyang Tunggal itu, dan sabdanya itu betul-betul terjadi. Suatu ketika Manikmaya merasa sangat dahaga, dan ia menemukan telaga. Saat meminum air telaga itu, yang ternyata airnya beracun, lantas dimuntahkannya kembali, maka ia mendapat cacad belang di leher. Saat lahirnya Nabi Isa, Manikmaya juga datang untuk menyaksikan. Diperhatikannya kalau manusia ketika lahir amatlah lemah kakinya. Seketika, kakinya terkena tulah, dan menjadi lemahlah kaki kiri Manikmaya. Saat ia bertengkar dengan istrinya Dewi Uma, dikutuknya Manikmaya oleh Dewi Uma, agar ia bercaling seperti raksasa, maka bercalinglah Manikmaya. Sewaktu Manikmaya melihat manusia yang sedang sembahyang yang bajunya menutupi tubuhnya, maka tertawalah Manikmaya karena dikiranya orang itu berlengan empat. Maka seketika berlengan empatlah Manikmaya. Betara Guru merupakan satu-satunya wayang kulit yang digambarkan dalam posisi menghadap ke depan, ke arah manusia. Hal ini apat dilihat dari posisi kakinya. Hanya saja karena berbentuk wayang, maka ia menghadap ke samping. Wahana (hewan kendaraan) Batara Guru adalah sang lembu Nandini.
Batara Guru adalah nama lain Siwa. Selain dikenal dalam kisah wayang, nama Batara Guru juga dikenal dalam mitologi Batak sebagai dewa yang tinggal di Banua Ginjang.


22. BATARA KUBERA
Patung Kubera dari daerah Jawa Tengah. Dibuat sekitar abad ke-9.
Patung Kubera dari daerah Jawa Tengah. Dibuat sekitar abad ke-9.
Gelar sebagai Dewa Kekayaan
Dalam agama Hindu, Kubera  adalah dewa pemimpin golongan bangsa Yaksa atau Raksasa. Meskipun demikian, ia lebih istimewa dan yang utama di antara kaumnya. Ia bergelar "bendahara para Dewa", sehingga ia disebut juga Dewa Kekayaan. Kubera merupakan putera dari seorang resi sakti bernama Wisrawa. Ia satu ayah dengan Rahwana, namun lain ibu. Ia menjadi raja di Alengka, menggantikan Malyawan, namun di kemudian hari kekuasaannya direbut oleh Rahwana.
23. CITRAKSI
Citraksi dalam versi pewayangan JawaCitraksi adalah seorang tokoh dari wiracarita Mahabharata. Ia merupakan salah satu Korawa. Dalam versi pewayangan Jawa, ia sering terlihat bersama-sama dengan dua saudaranya yang lain, yaitu Citraksa dan Durmagati.


24. DRESTADYUMNA


Drestadyumna adalah seorang tokoh dari wiracarita Mahabharata. Dalam bahasa Sansekerta, nama Dhristadyumna secara harfiah berarti "diagungkan karena keberaniannya". Dia merupakan kakak bagi Dropadi dan Srikandi, keturunan Raja Drupada yang berasal dari Kerajaan Panchala. Ia berada di pihak Pandawa saat perang di Kurukshetra. Dialah yang membunuh Resi Drona. Saat Sang Resi tertunduk
Drestadyumna
Drestadyumna dalam versi wayang Jawa
lemas dan kehilangan seluruh daya kekuataanya, sebagai akibat dari kabar bohong tentang meninggalnya sang putera Aswatama, Drestadyumena maju dan memenggal leher Sang Resi.

Drestadyumna dalam pewayangan Jawa

Dalam pewayangan Jawa, Arya Drestadyumena atau Trustajumena adalah putra bungsu Prabu Drupada, raja negara Panchala dengan permaisuri Dewi Gandawati, putri Prabu Gandabayu dengan Dewi Gandini. Ia mempunyai kakak kandung dua orang masing-masing bernama Dewi Drupadi, istri Prabu Yudistira, Raja Amarta (Indraprastha), dan Dewi Srikandi, istri Arjuna.
Konon Arya Drestadyumna lahir dari tungku pedupaan hasil pemujaan Prabu Drupada kepada Dewata yang menginginkan seorang putera lelaki yang dapat membinasakan Resi Drona yang telah mengalahkan dan menghinanya. Drestadyumna berwajah tampan, memiliki sifat pemberani, cerdik, tangkas dan trenginas. Ia menikah dengan Dewi Suwarni, putri Prabu Hiranyawarma, raja negara Dasarna. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra lelaki bernama Drestaka dan Drestara.
Drestadyumna ikut terjun dalam kancah perang Bharatayuddha. Ia tampil sebagai senapati perang Pandawa, menghadapi senapati perang Korawa, yaitu Resi Drona. Pada saat itu roh Ekalaya, raja negara Parangggelung yang ingin menuntut balas pada Resi Drona menyusup dalam diri Drestadyumna. Setelah melalui pertempuran sengit, akhirnya Resi Drona dapat dibinasakan oleh Drestadyumna dengan dipenggal lehernya.
Drestadyumna mati setelah berakhirnya perang Bharatayudha. Ia tewas dibunuh Aswatama, putera Resi Drona, yang berhasil menyusup masuk istana Hastina dalam usahanya menuntut balas atas kematian ayahnya.
25. BYASA
Byasa dalam pewayanganByasa (dalam pewayangan disebut Resi Abyasa) adalah figur penting dalam agama Hindu. Beliau juga bergelar Weda Wyasa (orang yang mengumpulkan berbagai karya para resi dari masa sebelumnya, membukukannya, dan dikenal sebagai Weda. Beliau juga dikenal dengan nama Krishna Dwaipayana. Beliau adalah filsuf, sastrawan India yang menulis epos terbesar di dunia, yaitu Mahabharata. Sebagian riwayat hidupnya diceritakan dalam Mahabharata. Dalam Mahabharata, dapat diketahui bahwa
orangtua Resi Byasa adalah Bagawan Parasara dan Dewi Satyawati (alias Durgandini atau Gandhawati).
Selain dikenal sebagai tokoh yang membagi Weda menjadi empat bagian, Byasa juga dikenal sebagai penulis (pencatat) sejarah dalam Mahabharata, namun ia juga merupakan tokoh penting dalam riwayat yang disusunnya itu. Ibunya (Satyawati) menikah dengan Santanu, Raja Hastinapura. Dari perkawinannya lahirlah Citrānggada dan Wicitrawirya. Citrānggada gugur dalam suatu pertempuran, sedangkan Wicitrawirya wafat karena sakit. Karena kedua pangeran itu wafat tanpa memiliki keturunan, Satyawati menanggil Byasa agar melangsungkan suatu yajña (upacara suci) untuk memperoleh keturunan. Kedua janda Wicitrawirya yaitu Ambika dan Ambalika diminta menghadap Byasa sendirian untuk diupacarai.
Sesuai dengan aturan upacara, pertama Ambika menghadap Byasa. Karena ia takut melihat wajah Byasa yang sangat hebat, maka ia menutup mata. Karena Ambika menutup mata selama upacara berlangsung, Byasa berkata bahwa anak Ambika akan terlahir buta. Kemudian Ambalika menghadap Byasa. Sebelumnya Satyawati mengingatkan agar Ambalika tidak menutup mata supaya anaknya tidak terlahir buta seperti yang terjadi pada Ambika. Ketika Ambalika memandang wajah Byasa, ia menjadi takut namun tidak mau menutup mata sehingga wajahnya menjadi pucat. Byasa berkata bahwa anak Ambalika akan terlahir pucat. Anak Ambika yang buta bernama Dretarastra, sedangkan anak Ambalika yang pucat bernama Pandu. Karena kedua anak tersebut tidak sehat jasmani, maka Satyawati memohon agar Byasa melakukan upacara sekali lagi. Kali ini, Ambika dan Ambalika tidak mau menghadap Byasa, namun mereka menyuruh seorang dayang-dayang untuk mewakilinya. Dayang-dayang itu bersikap tenang selama upacara, maka anaknya terlahir sehat, dan diberi nama Widura.
Byasa tinggal di sebuah hutan di wilayah Kurukshetra, dan sangat dekat dengan lokasi Bharatayuddha, sehingga ia tahu dengan detail bagaimana keadaan di medan perang Bharatayuddha, karena terjadi di depan matanya sendiri. Setelah pertempuran berakhir, Aswatama lari dan berlindung di asrama Byasa. Tak lama kemudian Arjuna beserta para Pandawa menyusulnya. Di tempat tersebut mereka berkelahi. Baik Arjuna maupun Aswatama mengeluarkan senjata sakti. Karena dicegah oleh Byasa, maka pertarungan mereka terhenti.
26. SANGKUNI
Sangkuni atau Sakuni adalah seorang tokoh antagonis dari wiracarita Mahabharata dan merupakan paman para Korawa, sebab beliau adalah kakak lelaki daripada Dewi Gandari, ibu para Korawa. Ketika para Pandawa berjudi melawan para Korawa, ialah yang menjadi pemain pada pihak Korawa.

Sangkuni
Sangkuni dalam budaya pewayangan Jawa
Sangkuni dalam budaya pewayangan Jawa

Sangkuni dalam pewayangan Jawa

Arya Sakuni yang waktu mudanya bernama Trigantalpati adalah putra kedua Prabu Gandara, raja negara Gandaradesa dengan permaisuri Dewi Gandini. Ia mempunyai tiga orang saudara kandung masing-masing bernama Dewi Gandari, Arya Surabasata dan Arya Gajaksa.
Arya Sakuni menikah dengan Dewi Sukesti, putri Prabu Keswara raja negara Plasajenar. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh tiga orang putra bernama Arya Antisura alias Arya Surakesti, Arya Surabasa dan Dewi Antiwati yang kemudian diperistri Arya Udawa, patih negara Dwarawati.
Sakuni mempunyai sifat atau watak yang tangkas, pandai bicara, buruk hati, dengki dan licik. Ia bukan saja ahli dalam siasat dan tata pemerintahan serta ketatanegaraan, tetapi juga mahir dalam olah keprajuritan. Sakuni mempunyai pusaka berwujud "Cis" (Tombak pendek untuk memerintah gajah) yang mempunyai khasiat dapat menimbulkan air bila ditancapkan ke tanah.
Dalam perang Bharatayuddha, Sakuni diangkat menjadi Senapati Agung Kurawa setelah gugurnya Prabu Salya, raja negara Mandaraka. Ia mati dengan sangat menyedihkan di tangan Bima. Tubuhnya dikuliti dan kulitnya diberikan kepada Dewi Kunti untuk melunasi sumpahnya. Mayat Sakuni kemudian dihancurkan dengan Gada Rujakpala.
27. YUYUTSU
Yuyutsu adalah seorang tokoh protagonis dari wiracarita Mahabharata. Nama Yuyutsu dalam bahasa Sansekerta artinya ialah "yang memiliki kemauan untuk berperang/bertempur".Ia adalah saudara para Korawa, dari ibu yang lain, seorang dayang-dayang. Berbeda dengan para Korawa, ia memihak Pandawa saat perang di Kurukshetra. Hal itu membuatnya menjadi penerus garis keturunan Drestarastra, sementara saudaranya yang lain (Korawa) gugur semua di medan Kuru atau Kurukshetra. Setelah Yudistira mengundurkan diri dari dunia, Yuyutsu diangkat menjadi raja di Indraprasta.
28. SRIKANDI
Srikandi
Srikandi dalam pewayangan Jawa
Srikandi dalam pewayangan Jawa
Srikandi adalah salah satu putera Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama, namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata versi India.

Srikandi dalam Pewayangan Jawa

Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.
Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Resi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Resi Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, putri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang mati terbunuh oleh Resi Bisma. Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastina setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.
29. SITA
Sita adalah tokoh protagonis dari wiracarita Ramayana. Ia adalah puteri Raja Janaka dari Mithila, dan merupakan istri Rama yang didapat dari sebuah sayembara. Menurut pandangan Hindu, ia adalah inkarnasi dari Laksmi, Dewi keberuntungan, istri Dewa Wisnu. Dewi Sita diculik oleh Rahwana yang ingin mengawininya.
30. SUBADRA
Subadra atau Sembadra (dalam tradisi pewayangan Jawa) merupakan salah satu tokoh penting dalam Wiracarita Mahabharata, kisah epik Hindu. Ia merupakan puteri Prabu Basudewa (Raja di Kerajaan Surasena), dan juga merupakan saudara tiri Krishna atau Kresna. Subadra (Dewi Sumbadra menurut ucapan Jawa) ini yang merupakan penjelmaan dari Dewi Sri adalah istri pertama dari Arjuna (putra Pandu ketiga), dan ibu dari Abimanyu.
Ia juga terkenal dalam budaya pewayangan Jawa sebagai seorang putri anggun, lembut, tenang, setia dan patuh pada suaminya. Ia merupakan sosok ideal priyayi putri Jawa. Subadra yang sewaktu kecil bernama Rara Ireng mempunyai dua orang kakak yaitu Kakrasana yang kemudian menjadi raja Mandura bergelar Prabu Baladewa dan Narayana yang kemudian menjadi raja di Dwarawati dengan gelar Prabu Sri Batara Kresna. Subadra menikah dengan salah satu anggota Pandawa yakni Arjuna. Dari rahim Sumbadra inilah lahir Abimanyu yang kelak kemudian akan menurunkan Prabu Parikesit.
31. TOGOG
Togog adalah putra dewa yang lahir sebelum semar tapi karena tidak mampu mengayomi bumi maka togog kembali keasal lagi alias tidak jadi lahir dan waktu bersamaan lahirlah semar.
32. KUNTI
Kunti dalam versi pewayangan JawaKunti dalam kisah Mahabharata adalah puteri dari Prabu Kuntiboja. Ia adalah saudara dari Basudewa yang merupakan ayah dari Baladewa, Kresna dan Subadra. Ia juga adalah ibu daripada Yudistira, Werkodara, dan Arjuna dan juga adalah istri pertama Pandu Dewanata. Selain itu Kunti juga ibu dari Karna.
Ayah Kunti adalah Raja Surasena dari Wangsa Yadawa, dan saat bayi ia diberi nama Pritha. Ia merupakan adik Basudewa, ayah Kresna. Kemudian ia diadopsi oleh Raja Kuntiboja yang tidak memiliki anak, dan semenjak itu ia diberi nama Kunti. Setelah Kunti menjadi puterinya, Raja Kuntibhoja dianugerahi anak.
Sepeninggal Pandu Dewanata, ia mengasuh Nakula dan Sadewa, anak Pandu Dewanata dari Dewi Madri. Seusai Bharatayuddha, ia dan iparnya Dretarastra, Gandari, dan Widura pergi bertapa sampai akhir hayatnya.
33. SEMAR
Wayang Golek SemarSemar Badranaya adalah tokoh punakawan yang dalam wayang Jawa/Sunda memiliki peran yang lebih utama ketimbang wayang babon (wayang dengan tokoh asli India). Merupakan Jelmaan dari Bambang Ismaya anak tertua dari Sang Hyang Tunggal.
Semar Badranaya adalah tokoh punakawan yang dalam wayang Jawa/Sunda memiliki peran yang lebih utama ketimbang wayang babon (wayang dengan tokoh asli India). Merupakan Jelmaan dari Bambang Ismaya anak tertua dari Sang Hyang Tunggal.
Sang Hyang Wenang berputra satu yang bernama Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Tunggal kemudian beristri Dewi Rekatawati putri kepiting raksasa yang bernama Rekata. Pada suatu hari Dewi Rekatawati bertelur dan dengan kekuatan yang menetap dari Sang Hyang Tunggal. Telur tersebut terbang menghadap Sang Hyang Wenang, akhirnya telur tersebut menetas sendiri dengan berbagai keajaiban yang menyertainya, dimana kulit telurnya menjadi Tejamantri atau Togog, putih telurnya menjadi Bambang Ismaya atau Semar dan kuning telurnya menjadi Manikmaya yang kemudian menjadi Batara Guru. Dalam riwayat lain telur tersebut menetas menajadi langit, bumi dan cahaya atau teja. Sehingga dikatakan bahwa Semar adalah tokoh dominan sebagai pelindung bumi.
34. SUBALI
Subali atau Bali adalah seorang tokoh dalam wiracarita Ramayana. Ia adalah seekor wanara dan saudara Sugriwa. Ia merupakan putera Indra, dan lahir dari rambut (bala) ibunya, dan dari sanalah namanya didapat. Ia memerintah di sebuah kerajaan yang dihuni para wanara yang bernama Kerajaan Kiskenda. Ia memiliki seorang istri bernama Tara, dan seorang putera bernama Anggada.
35. SUGRIWA
Sugriwa adalah seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Ramayana. Ia adalah seorang raja kera dan merupakan seekor kera sendiri. Ia tinggal di Kerajaan Kiskenda bersama kakaknya yang bernama Subali. Ia adalah teman Sri Rama dan membantunya memerangi Rahwana untuk menyelamatkan dewi Sita. Nama Sugriwa dalam bahasa Sansekerta (Sugrīva) artinya adalah "leher yang tampan".
36. JAYADRATA
Jayadrata
Jayadrata dalam versi pewayangan Jawa
Jayadrata dalam versi pewayangan Jawa
Dalam wiracarita Mahabharata, Jayadrata adalah seorang raja di Kerajaan Sindhu. Dia menikahi Dursala, adik perempuan Korawa bersaudara. Jayadrata merupakan tokoh penting di balik pembunuhan Abimanyu. Ia menghadang para ksatria Pandawa saat mereka berusaha menyelamatkan Abimanyu. Atas kematian Abimanyu, Arjuna berusaha membunuh Jayadrata. Akhirnya pada Bharatayuddha hari keempat belas, Jayadrata gugur di tangan Arjuna.

Jayadrata dalam pewayangan Jawa

Antara kisah Jayadrata dalam kitab Mahabharata dan pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan, namun tidak terlalu besar karena inti ceritanya sama. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain disebabkan oleh proses Jawanisasi, yaitu membuat kisah wiracarita dari India bagaikan terjadi di pulau Jawa.
Jayadrata adalah seorang ksatria yang sangat sakti dari pihak Korawa. Misteri menyelubungi asal usulnya. Kisahnya bermula ketika Wrekudara lahir, ari-ari yang membungkusnya dibuang. Pertapa tua, yaitu Bagawan Sapwani, secara kebetulan memungutnya, mendoakannya, dan mengubahnya menjadi seorang bocah lelaki, yang tumbuh dewasa dengan nama Jayadrata. Dari pandangan sekilas saja tampak jelas kemiripan kekerabatan dengan Wrekudara dan putra Wrekudara, Raden Gatotkaca. Ketika Jayadrata beranjak dewasa, ia dibujuk untuk datang ke Hastina oleh Sangkuni yang cerdik, yang memandang perlu seorang sekutu yang seperti itu untuk melawan Pandawa. Di sana Jayadrata diberi suatu kedudukan yang tinggi dan dikawinkan dengan saudara perempuan Duryodana, Dewi Dursilawati. Hal ini mengikatnya dengan kuat pada pihak Kiri. Dalam Perang Bharatayuddha, dialah yang membunuh ksatria muda Abimanyu, dan setelah itu pada gilirannya ia dibunuh oleh Arjuna yang kehilangan anaknya. Karakter Jayadrata adalah jujur, setia, dan terus terang bagaikan Gatotkaca di antara Korawa. Ia mahir mempergunakan panah dan sangat ahli bermain gada. Oleh Resi Sapwani ia diberi pusaka gada bernama Kyai Glinggang.
Jayadrata gugur di tangan Arjuna di medan perang Bharatayuddha sebagai senapati perang Korawa. Kepalanya terpangkas lepas dari badannya oleh panah sakti Pasupati
37. DASARATA
Dasarata adalah tokoh dari wiracarita Ramayana, seorang raja putera Aja, keturunan Ikswaku dan berada dalam golongan Raghuwangsa atau Dinasti Surya. Ia adalah ayah Sri Rama dan memerintah di Kerajaan Kosala dengan pusat pemerintahannya di Ayodhya. Ramayana mendeskripsikannya sebagai seorang raja besar lagi pemurah. Angkatan perangnya ditakuti berbagai negara dan tak pernah kalah dalam pertempuran.
Dasarata memiliki tiga permaisuri, yaitu Kosalya, Sumitra, dan Kekayi. Lama setelah pernikahannya, Dasarata belum juga dikaruniai anak. Akhirnya ia mengadakan yadnya (ritual suci) yang dipimpin Resi Srengga. Dari upacara tersebut, Dasarata memperoleh payasam berisi air suci untuk diminum oleh para permaisurinya. Kosalya dan Kekayi minum seteguk, sedangkan Sumitra meminum dua kali sampai habis. Beberapa bulan kemudian, suara tangis bayi menyemarakkan istana. Yang pertama melahirkan putera adalah Kosalya, dan puteranya diberi nama Rama. Yang kedua adalah Kekayi, melahirkan putera mungil yang diberi nama Bharata. Yang ketiga adalah Sumitra, melahirkan putera kembar dan diberi nama Laksmana dan Satrugna.
38. DRETARASTRA
Dretarastra
Drestarastra dalam pewayangan Jawa
Drestarastra dalam pewayangan Jawa
Dretarastra dalam wiracarita Mahabharata, adalah putera Wicitrawirya dan Ambika. Ia buta semenjak lahir, karena ibunya menutup mata sewaktu mengikuti upacara Putrotpadana yang diselenggarakan oleh Resi Byasa untuk memperoleh keturunan. Ia merupakan saudara tiri Pandu, dan lebih tua darinya. Sebenarnya Dretarastra yang berhak menjadi Raja Hastinapura karena ia merupakan putera Wicitrawirya yang tertua. Akan tetapi beliau buta sehingga pemerintahan harus diserahkan adiknya. Setelah Pandu wafat, ia menggantikan jabatan adiknya tersebut. Dretarastra adalah bapak dari para Korawa dan suami Dewi Gandari.
Ayah Dretarastra adalah Wicitrawirya dan ibunya adalah Ambika. Setelah Wicitrawirya wafat tanpa memiliki keturunan, Satyawati mengirim kedua istri Wicitrawirya, yaitu Ambika dan Ambalika, untuk menemui Resi Byasa, sebab Sang Resi akan mengadakan suatu upacara bagi mereka agar memperoleh keturunan. Satyawati menyuruh Ambika agar menemui Resi Byasa di ruang upacara. Setelah Ambika memasuki ruangan upacara, ia melihat wajah Sang Resi sangat dahsyat dengan mata yang menyala-nyala. Hal itu membuatnya menutup mata. Karena Ambika menutup mata selama upacara berlangsung, maka anaknya terlahir buta. Anak tersebut adalah Dretarastra.
Karena Dretarastra terlahir buta, maka tahta kerajaan diserahkan kepada adiknya, yaitu Pandu. Setelah Pandu wafat, Dretarastra menggantikannya sebagai raja (kadangkala disebut sebagai pejabat pemerintahan untuk sementara waktu). Dalam memerintah, Dretarastra didampingi oleh keluarga dan kerabatnya, yaitu sesepuh Wangsa Kuru seperti misalnya Bisma, Widura, Drona, dan Krepa.
Saat putera pertamanya yaitu Duryodana lahir, Widura dan Bisma menasihati Dretarastra agar membuang putera tersebut karena tanda-tanda buruk menyelimuti saat-saat kelahirannya. Namun karena rasa cintanya terhadap putera pertamanya tersebut, ia tidak tega melakukannya dan tetap mengasuh Duryodana sebagai puteranya.
16. BATARA INDRA
Indra
Patung Sang Hyang Indra
Dalam ajaran agama Hindu, Dewa Indra adalah manifestasi Brahman yang bergelar sebagai Dewa cuaca dan raja kahyangan. Oleh orang-orang bijaksana, Dewa Indra diberi gelar Dewa petir, Dewa hujan, Dewa perang, raja surga, pemimpin para Dewa, dan banyak lagi sebutan untuk Dewa Indra sesuai dengan karakter yang dimilikinya. Beliau adalah Dewa yang memimpin delapan Wasu.
Dewa Indra juga terkenal dalam kitab-kitab Purana dan Itihasa. Dalam kitab-kitab tersebut posisinya lebih menonjol sebagai raja kahyangan dan pemimpin para Dewa. Dewa Indra juga disebut Dewa perang, karena Beliau dikenal sebagai Dewa yang menaklukkan tiga benteng musuh (Tri Puramtaka). Beliau memiliki senjata yang disebut Bajra. Kendaraan Beliau adalah seekor gajah yang bernama Airawata. Istri Beliau Dewi Sachi.
Dewa Indra muncul dalam kitab Mahabarata. Beliau menjemput Yudistira bersama seekor anjing, yang mencapai puncak gunung Mahameru untuk mencari Swargaloka. Kadangkala Dewa Indra disamakan dengan Zeus dalam Mitologi Yunani. Dalam agama Buddha, beliau disamakan dengan Sakra.
39. BATARA NARADA
Narada atau Narada Muni adalah seseorang yang bijaksana dalam tradisi Hindu, yang memegang peranan penting dalam kisah-kisah Purana, khususnya Bhagawatapurana. Narada digambarkan sebagai pendeta yang suka mengembara dan memiliki kemampuan untuk mengunjungi planet-planet dan dunia yang jauh. Ia selalu membawa alat musik yang dikenal sebagai vina, yang pada mulanya dipakai oleh Narada untuk mengantarkan lagu pujian, doa-doa, dan mantra-mantra sebagai rasa bakti terhadap Dewa Wisnu atau Kresna. Dalam tradisi Waisnawa ia memiliki rasa hormat yang istimewa dalam menyanyikan nama Hari dan Narayana dan proses pelayanan didasari rasa bakti yang diperlihatkannya, dikenal sebagai bhakti yoga seperti yang dijelaskan dalam kitab yang merujuk kepadanya, yang dikenal sebagai Narad Bhakti Sutra.
Menurut legenda, Narada dipandang sebagai Manasputra, merujuk kepada kelahirannya 'dari pikiran Dewa Brahma', atau makhluk hidup pertama seperti yang digambarkan dalam alam semesta menurut Purana. Ia dihormati sebagai Triloka sanchaari, atau pengembara sejati yang mengarungi tiga dunia yaitu Swargaloka (surga), Mrityuloka (bumi) dan Patalloka (alam bawah). Ia melakukannya untuk menemukan sesuatu mengenai kehidupan dan kemakmuran orang. Ia orang pertama yang melakukan Natya Yoga. Ia juga dikenal sebagai Kalahapriya.
Narada Muni memiliki posisi penting yang istimewa di antara tradisi Waisnawa. Dalam kitab-kitab Purana, ia termasuk salah satu dari dua belas Mahajana, atau 'pemuja besar' Dewa Wisnu. Karena ia adalah gandharva dalam kehidupan dahulu sebelum ia menjadi Resi, ia berada dalam kategori Dewaresi.

Narada dalam budaya Jawa

Batara Narada ialah batara pengadil dan penyampai berita ke Pandawa. Batara Narada tadinya bernama Kanekaputra. Saat ia itu ia masih berupa Dewa yang bagus rupanya. Untuk mengejar kesaktiannya, maka Kanekaputra bersemadi di tengah samudera dengan tidak bergerak-gerak. Oleh Batara Guru hal ini dianggapnya sebagai usaha Kanekaputra untuk menguasai Suryalaya. Maka diperintahkannya semua dewa untuk menyerang Kanekaputra dengan segala macam senjata agar gagallah semadinya. Namun Kanekaputra tetap pada semadinya, dan tetap tidak bergerak. Akhirnya Batara Guru sendiri pergi ke hadapan Kanekaputra, dan terjadilah bantah-membantah antara keduanya. Dalam hal ini, Batara Guru keluar sebagai pihak yang kalah-bantah. Maka untuk seterusnya Batara Guru memanggil Kanekaputra dengan kakang, kanda, karena merasa lebih muda.
Suatu ketika amat murkalah Batara Guru, hingga dikutuknya Kanekaputra sehingga berwuju seperti sekarang, kemudian ia dipanggil dengan Narada.
40. BATARA SURYA
Surya
Batara Surya versi lukisan India
Dewa Surya  adalah nama dewa dari agama Hindu yang diadaptasi ke dalam dunia pewayangan sebagai dewa yang menguasai atau mengatur surya atau matahari, sumber kehidupan.
Batara Surya ini adalah Dewa yang menjadi tumpuan mahluk hidup di alam dunia ini terutama tumbuhan dan hewan, Batara Surya terkenal sangat sakti mandraguna dan menjadi salah satu Dewa andalan di kahyangan. Batara Surya terkenal senang memberikan pusaka-pusaka atau ajian-ajian yang dimilikinya terhadap orang-orang yang dipilihnya. Dewa ini terkenal mempunyai banyak anak dari berbagai wanita (diantaranya dari Dewi Kunti yang melahirkan Adipati Karna dalam kisah Mahabharata). Batara Surya kena batunya ketika Anoman menyalahkan Batara Surya atas kejadian yang menimpa Ibunya Dewi Anjani dan neneknya yang dikutuk menjadi tugu oleh suaminya sendiri. Anoman merasa Batara Surya harus bertanggung jawab sehingga Anoman dengan ajiannya mengumpulkan awan dari seluruh dunia untuk menutupi alam dunia sehingga sinar sang surya tidak bisa mencapai bumi. Untungnya kejadian ini dapat diselesaikan secara baik-baik sehingga Anoman dengan sukarela menyingkirkan kembali awan-awannya sehingga alam dunia terkena sinar mentari kembali.
41. BATARA KALA
Dalam ajaran agama Hindu, Kala adalah putera Dewa Siwa yang bergelar sebagai dewa penguasa waktu (kata kala berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya waktu). Dewa Kala sering disimbolkan sebagai rakshasa yang berwajah menyeramkan, hampir tidak menyerupai seorang Dewa. Dalam filsafat Hindu, Kala merupakan simbol bahwa siapa pun tidak dapat melawan hukum karma. Apabila sudah waktunya seseorang meninggalkan dunia fana, maka pada saat itu pula Kala akan datang menjemputnya. Jika ada yang bersikeras ingin hidup lama dengan kemauan sendiri, maka ia akan dibinasakan oleh Kala. Maka dari itu, wajah Kala sangat menakutkan, bersifat memaksa semua orang agar tunduk pada batas usianya.

Menurut pewayangan Jawa

Ketika Batara Guru dan istrinya, Dewi Uma terbang menjelajah dunia dengan mengendarai Lembu Andini, dalam perjalanannya karena terlena maka Batara Guru bersenggama dengan istrinya di atas kendaraan suci Lembu Andini, sehingga Dewi Uma hamil. Ketika pulang dan sampai di kahyangan Batara Guru kaget dan tersadar atas tindakannya melanggar larangan itu. Seketika itu Batara Guru marah pada dirinya dan Dewi Uma, dia menyumpah-nyumpah bahwa tindakan yang dilakukannya seperti perbuatan "Buto" (bangsa rakshasa). Karena semua perkataannya mandi (bahasa indonesia: cepat menjadi kenyataan) maka seketika itu juga Dewi Uma yang sedang mengandung menjadi raksasa. Batara Guru kemudian mengusirnya dari kahyangan Jonggringsalaka dan menempati kawasan kahyangan baru yang disebut Gondomayit. Hingga pada akhirnya Dewi Uma yang berubah raksasa itu terkenal dengan sebutan Batari Durga. Setelah itu ia melahirkan anaknya, yang ternyata juga berwujud raksasa dan diberi nama Kala. Namun pada perkembangan selanjutnya Batara Kala justru menjadi suami Batari Durga, karena memang di dunia raksasa tidak mengenal norma-norma perkawinan. Batara Kala dan Batari Durga selalu membuat onar marcapada (bumi) karena ingin membalas dendam pada para dewa pimpinan Batara Guru.
Karena Hyang Guru kwatir kalau kayangan rusak maka Batara Guru mengakui kalau Kala adalah anaknya. Maka diberi nama Batara Kala dan Batara Kala minta makanan, maka Batara Guru memberi makanan tetapi ditentukan yaitu :
  1. Orang yang mempunyai anak satu yang disebut ontang-anting
  2. Pandawa lima anak lima laki-laki semua atau anak lima putri semua.
  3. Kedono kedini, anak dua laki-laki perempuan jadi makanan Betara Kala.
Untuk menghindari jadi mangsa Batara Kala harus diadakan upacara ruwatan. Maka untuk lakon-lakon seperti itu di dalam pedalangan disebut lakon Murwakala atau lakon ruwatan. Di dalam lakon pedalangan Batara Kala selalu memakan para pandawa karena dianggapnya Pandawa adalah orang ontang anting. Tetapi karena Pandawa selalu didekati titisan Wisnu yaitu Batara Kresna. Maka Batara Kala selalu tidak berhasil memakan Pandawa.
42. BURISRAWA
Burisrawa dalam versi pewayangan JawaBurisrawa adalah seorang antagonis dari wiracarita Mahabharata. Ia merupakan pangeran dari Kerajaan Bahlika yang berperang pada pihak Korawa saat perang Bharatayuddha. Ia tewas karena dipenggal oleh Arjuna saat ia hendak menyerang Satyaki.
43. CAKIL
Cakil, merupakan seorang raksasa dengan rahang bawah yang lebih panjang daripada rahang atas. Tokoh ini merupakan inovasi Jawa dan tidak dapat ditemui di India.
Dalam sebuah pertunjukan wayang, Cakil selalu berhadapan dengan Arjuna ataupun tokoh satria yang baru turun gunung dalam adegan Perang Kembang. Tokoh ini hanya merupakan tokoh humoristis saja yang tidak serius namun sebenarnya Cakil adalah melambangkan tokoh yang pantang menyerah dan selalu berjuang hingga titik darah penghabisan karena dalam perang kembang tersebut cakil selalu tewas karena kerisnya sendiri.
44. DURSASANA
Dursasana
Dursasana dalam versi pewayangan Jawa
Dursasana atau Duhsasana (ejaan Sansekerta: Duśśāsana) merupakan adik dari Duryodana, salah seorang Korawa yang cukup terkenal. Ia putra Prabu Dretarasta dengan Dewi Gandari. Badannya gagah, mulutnya lebar dan mempunyai sifat sombong, suka bertindak sewenang-wenang, menggoda wanita dan senang menghina orang lain. Ia mempunyai seorang istri bernama Dewi Saltani, dan berputra satu orang yakni Dursala.
Nama Dursasana terdiri dari dua kata Sansekerta, yaitu dur atau duh, dan śāsana. Secara harfiah, kata Dusśāsana memiliki arti "sulit untuk dikuasai" atau "sulit untuk diatasi".

Dursasana dalam pewayangan Jawa

Dursasana dikenal pula dalam khazanah pewayangan Jawa. Misalkan menurut cerita pedalangan Yogyakarta ia tewas dalam kisah Bratayuda babak 5 lakon Timpalan / Burisrawa Gugur atau lakon Jambakan / Dursasana Gugur. Menurut tradisi Jawa ia berkediaman di wilayah Banjarjungut, peninggalan mertuanya.
Dalam kisah "Pandawa Dadu" (Sabhaparwa), Yudistira kalah bermain dadu sehingga kekayaan, keraton, saudara-saudara, dan istrinya telah berada dalam kekuasaan Korawa sebagai pembayaran taruhan. Dursasanalah yang paling bernafsu untuk menelanjangi Dropadi (istri Yudistira), sehingga Drupadi bersumpah akan menggulung rambutnya yang panjang jika telah keramas dengan darah dari Dursasana, begitu pula Bima bersumpah akan meminum darah Dursasana sebelum mati. Dursasana tewas di tangan Bima dalam perang Bharatayuddha.
45. JEMBAWAN
Dalam mitologi Hindu, Jembawan alias Jambawanta atau Jamwanta, adalah seekor beruang yang dipercaya hidup dari zaman Kerta Yuga sampai Dwapara Yuga. Konon pada saat pengadukan "lautan susu", Jembawan turut serta dan pernah mengelilingi dunia selama tujuh kali.
Jembawan pernah membunuh seekor singa yang memiliki sebuah permata bernama Syamantaka. Permata itu berasal dari Prasena dan direbut oleh sang singa setelah membunuhnya. Kresna yang curiga dengan kematian Prasena, mengikuti jejak Prasena sampai ia tahu bahwa Prasena dibunuh oleh seekor singa dan singa tersebut dibunuh oleh seekor beruang, yaitu Jembawan. Kresna mengikuti jejak Jembawan sampai ke sebuah gua dan pertempuran pun terjadi. Setelah dua puluh satu hari, Jembawan tunduk dan menyerah sebab ia sadar siapa Kresna sebenarnya. Ia memberikan permata Syamantaka kepada Kresna, dan juga mempersembahkan puterinya yang beranam Jambawati, yang pada akhirnya menjadi salah satu istri Kresna.
Dalam wiracarita Ramayana, Jembawan bersama para wanara membantu Rama menemukan Sita. Ketika Jembawan dan para wanara berada di tepi pantai yang memisahkan pulau Alengka dengan daratan India, Jembawan membujuk Hanoman agar ia mau terbang ke Alengka dan bertemu dengan Sita. Sebelumnya Hanoman terkena kutukan bahwa ia akan melupakan semua kehebatannya, sampai seseorang mengingatkannya kembali. Jembawan adalah orang yang mengingatkan Hanoman, bahwa ia memiliki kekuatan untuk terbang dan melintasi lautan.
46. KOSALYA
Kosalya adalah seorang tokoh dalam wiracarita Ramayana. Ia adalah salah seorang istri prabu Dasarata dan merupakan ibu dari Sri Rama.
47. KRESNA
Wujud Kresna yang diadaptasi oleh seni pewayangan Jawa.Dalam pewayangan Jawa, Prabu Kresna merupakan Raja Dwarawati, kerajaan para Yadu dan merupakan titisan Dewa Wisnu. Kresna adalah anak Basudewa, Raja Mandura. Ia (dengan nama kecil Narayana) dilahirkan sebagai 3 bersaudara dengan kakaknya dikenal sebagai Baladewa (Kakrasana) dan adiknya dikenal sebagai Subadra, yang tak lain adalah isteri dari Arjuna. Ia memiliki tiga orang isteri dan tiga orang anak. Isteri isterinya adalah Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Satyabama. Anak anaknya adalah Raden Boma Narakasura, Raden Samba, dan Siti Sundari.
Pada perang Bharatayuddha, beliau adalah sais atau kusir Arjuna. Ia juga merupakan salah satu penasihat utama Pandawa. Sebelum perang melawan Karna, atau dalam babak yang dinamakan Karna Tanding sebagai sais Arjuna beliau memberikan wejangan panjang lebar kepada Arjuna. Wejangan beliau dikenal sebagai Bhagawad Gita.
Kresna dikenal sebagai seorang yang sangat sakti. Ia memiliki kemampuan untuk meramal, mengubah bentuk menjadi raksasa, dan memiliki bunga Wijaya Kusuma yang dapat menghidupkan kembali orang yang mati. Ia juga memiliki senjata yang dinamakan Cakrabaswara yang mampu digunakan untuk menghancurkan dunia, pusaka-pusaka sakti, antara lain Senjata Cakra, Kembang Wijayakusuma, Terompet kerang (Sangkala) Pancajahnya, Kaca paesan, Aji Pameling dan Aji Kawrastawan.
Setelah meninggalnya Prabu Baladewa (Resi Balarama), kakaknya, dan musnahnya seluruh Wangsa Wresni, Prabu Kresna menginginkan moksa. Ia wafat dalam keadaan bertapa dengan perantara panah seorang pemburu bernama Jara yang mengenai kakinya.
48. NAKULA
Nakula dalam versi pewayangan JawaNakula adalah seorang tokoh protagonis dari wiracarita Mahabharata. Ia merupakan putera Dewi Madri, kakak ipar Dewi Kunti. Ia adalah saudara kembar Sadewa dan dianggap putera Dewa Aswin, Dewa tabib kembar.
Menurut kitab Mahabharata, Nakula sangat tampan dan sangat elok parasnya. Menurut Dropadi, Nakula merupakan suami yang paling tampan di dunia. Namun, sifat buruk Nakula adalah membanggakan ketampanan yang dimilikinya. Hal itu diungkapkan oleh Yudistira dalam kitab Prasthanikaparwa.

Nakula dalam pewayangan Jawa

Nakula dalam pedalangan Jawa disebut pula dengan nama Pinten (nama tumbuh-tumbuhan yang daunnya dapat dipergunakan sebagai obat). Ia merupakan putera keempat Prabu Pandudewanata, raja negara Hastinapura dengan permaisuri Dewi Madri, puteri Prabu Mandrapati dengan Dewi Tejawati, dari negara Mandaraka. Ia lahir kembar bersama adiknya, Sahadewa atau Sadewa. Nakula juga menpunyai tiga saudara satu ayah, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti, dari negara Mandura bernama Puntadewa (Yudistira), Bima alias Werkudara dan Arjuna
Nakula mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia. Ia tinggal di kesatrian Sawojajar, wilayah negara Amarta. Nakula mempunyai dua orang isteri yaitu:
  • Dewi Sayati puteri Prabu Kridakirata, raja negara Awuawulangit, dan memperoleh dua orang putera masing-masing bernama Bambang Pramusinta dan Dewi Pramuwati.
  • Dewi Srengganawati, puteri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa yang tinggal di sungai Wailu (menurut Purwacarita, Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra alias Ekapratala) dan memperoleh seorang putri bernama Dewi Sritanjung. Dari perkawinan itu Nakula mendapat anugrah cupu pusaka berisi air kehidupan bernama Tirtamanik.
Setelah selesai perang Bharatayuddha, Nakula diangkat menjadi raja negara Mandaraka sesuai amanat Prabu Salya kakak ibunya, Dewi Madrim. Akhir riwayatnya diceritakan, Nakula mati moksa di gunung Himalaya bersama keempat saudaranya.


49. PETRUK
Petruk.Petruk adalah punakawan yang tinggi dan berhidung panjang. Dalam suatu kisah berjudul Petruk Menjadi Raja, dia memakai nama Prabu Kantong Bolong Bleh Geduweh. Menurut versi Sunda, Petruk ini bernama Dawala.
50. PRAHASTA

Dalam wiracarita Ramayana, Prahastha adalah seorang patih (perdana menteri) kerajaan Alengka, sekaligus paman dari raja Alengka, Rahwana. Meskipun wujud lahirnya seorang raksasa, namun Prahastha berbudi baik dan sering memberikan nasehat kebaikan kepada Rahwana yang bersifat angkara murka. Sewaktu Alengka diserang bala tentara kera, Prahastha ikut maju ke peperangan untuk membela negaranya, akhirnya ia tewas di tangan Anila.
51. SADEWA
Sadewa
Sadewa dalam versi pewayangan Jawa

Sadewa atau Sahadewa adalah seorang protagonis dari wiracarita Mahabharata. Ia adalah seorang Pandawa pula, tetapi berbeda dengan Yudistira, Bima, dan Arjuna ia adalah putra Dewi Madrim, adik Dewi Kunti. Ia adalah saudara kembar Nakula dan dianggap penitisan Aswino, Dewa Kembar.
Sadewa pandai dalam ilmu astronomi yang ia pelajari di bawah bimbingan resi Drona. Sementara itu juga mengerti banyak mengenai penggembalaan sapi. Oleh karena itu ia bisa menyamar menjadi seorang gembala pada saat di negeri Wirata yang dikisahkan pada Wirataparwa. Selama masa penyamarannya di Kerajaan Matsya yang dipimpin Raja Wirata, Sadewa bertanggung jawab merawat sapi dan bersumpah akan membunuh Raja Gandhara, Sangkuni, yang telah memperdaya mereka sepanjang hidup. Ia berhasil memenuhi sumpahnya untuk membunuh Sangkuni, pada saat hari kedua menjelang perang Bharatayuddha berakhir.
Dari kelima Pandawa, Sadewa yang termuda. Meski demikian ia dianggap sebagai yang terbijak di antara mereka. Yudistira bahkan berkata bahwa ia lebih bijak daripada Brihaspati, guru para dewa. Sadewa adalah seorang ahli perbintangan yang ulung dan dianggap mengetahui kejadian yang akan terjadi dalam Mahabharata namun ia dikutuk bahwa apabila ia membeberkan apa yang diketahuinya, kepalanya akan terbelah. Maka dari itu, selama dalam kisah ia cenderung diam saja dibandingkan dengan saudaranya yang lain. Seperti Nakula (kakaknya), Sadewa adalah ksatria berpedang yang ulung. Ia juga menikahi puteri Jarasanda, Raja di Magadha dan adik iparnya juga bernama Sadewa.
52. UTARA
Dalam wiracarita Mahabharata, Utara adalah nama putera dan puteri dari Raja Wirata atau Matsyapati dari Kerajaan Wirata, yang termasuk wlayah Kerajaan Matsya. Utara adalah nama salah satu putera Raja Wirata. Ia turut serta dalam pertempuran besar di Kurukshetra dan memihak Pandawa. Ia terbunuh pada hari pertama oleh Salya dari pihak Korawa. Saudaranya yang lain, yaitu Sweta dan Wretsangka, terbunuh di tangan Bisma. Utara memiliki adik perempuan bernama Utaraa.
Utaraa atau Utari, adalah nama puteri Raja Wirata. Ia menikah dengan Abimanyu, putra Arjuna. Dari perkawinannya ia memiliki seorang putera bernama Parikesit. Utara mempunyai tiga saudara bernama Sweta, Utara, dan Wratsangka. Mereka bertiga tewas di tangan Bisma Dewabrata dalam perang Bharatayuddha. Pada saat Utara mengandung Parikesit, senjata sakti yang dilepaskan oleh Aswatama mengarah ke janinnya. Namun atas perlindungan gaib dari Kresna, janin tersebut terlindungi. Dengan selamat, bayi tersebut lahir sebagai penerus Dinasti Kuru dan bernama Parikesit.
53. WIDURA
Widura adalah salah seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia adalah adik tiri bagi Pandu dan Dretarasta karena memiliki ayah yang sama, tetapi lain ibu. Ayah Widura adalah Resi Kresna Dwipayana Wyasa atau Resi Byasa (Abyasa), tetapi ibunya adalah seorang perempuan dari kasta sudra. Widura mempunyai seorang putera bernama Sanjaya. Baik ia maupun puteranya tidak turut terjun ke dalam medan pertempuran di Kurukshetra, yaitu perang antara Pandawa dan Korawa.
Widura merupakan orang yang tanggap ketika timbul niat jahat di hati Dretarastra dan Duryodana untuk menyingkirkan para Pandawa. Maka sebelum Pandawa berangkat ke Waranawata untuk berlibur, Widura memperingati Yudistira agar berhati-hati terhadap para Korawa dan ayah mereka, yaitu Dretarastra. Saat keselamatan para Pandawa dan ibunya terancam di Waranawata, berkali-kali Widura mengirimkan pesuruh untuk membantu para Pandawa meloloskan diri dari setiap bencana yang menimpanya.
Dalam pertikaian antara Korawa dan Pandawa mengenai masalah Hastinapura, Widura telah berusaha untuk mendamaikannya, mengingat bahwa kedua belah pihak adalah satu keluarga dan saudara. Dalam usahanya mencari perdamaian ia menghubungi sesepuh-sesepuh Pandawa dan Korawa, antara lain Resi Bisma, Resi Drona, Prabu Dretarasta, Sri Kresna, Prabu Yudistira dan Prabu Duryodana serta menyatakan bahwa ialah yang menulis piagam penyerahan Hastinapura dari Resi Byasa (Abiyasa) kepada Prabu Dretarasta sebagai pemangku kerajaan setelah Prabu Pandudewanata mangkat. Ketika perang di Kurukshetra berkecamuk, Widura tetap tinggal di Hastinapura meskipun ia tidak memihak para Korawa.
54. WILKATAKSINI
Wilkataksini adalah raksasa yang sangat besar yang menjaga pantai Alengka. Pada waktu Hanoman terbang diatas pantai Alengka untuk mencari Sinta, Wilkataksini menyedot Hanoman sampai kedalam perutnya, Hanoman berhasil menewaskannya dengan cara merobek perutnya.
55. BASUPATI
Dalam wiracarita Mahabharata, Prabu Basupati alias Prabu Basuparicara adalah putera Bathara Srinada atau Prabu Basurata, raja negara Wirata yang pertama dengan permaisuri Dewi Bramaniyuta, Putri Batara Brahma. Prabu Basupati mempunyai adik kandung bernama Bramananeki yang menikah dengan Bambang Parikenan, putra Bathara Bremani atau Brahmanaresi dengan Dewi Srihuna alias Srihunon.
Karena ketekunannya bertapa, Prabu Basupati menjadi sangat sakti, juga tahu segala bahasa binatang. Ia mendapat anugerah Batara Indra berwujud sebuah kereta sakti bernama "Amarajaya" lengkap dengan bendera perangnya yang membuatnya kebal terhadap segala macam senjata. Dengan kereta sakti Amarajaya, Prabu Basupati menaklukkan tujuh negara, masuk ke dalam wilayah kekuasaan negara Wirata. Prabu Basupati menikah dengan Dewi Angati atau Dewi Girika, putri Bagawan Kolagiri dengan Dewi Suktimati. Dari perkawinan tersebut, ia memperoleh tiga orang putra masing-masing bernama Arya Basunada, Arya Basukesti dan Arya Bamurti.
Prabu Basupati memerintah negara Wirata sampai berusia lanjut. Ia menyerahkan tahta Kerajaan Wirata kepada Arya Basunada, kemudian hidup sebagai brahmana sampai meninggal dalam keadaan bermudra.


56. BATARA BAYU
Bayu
Gelar sebagai Dewa Angin
Bayu dalam agama Hindu adalah Dewa utama, bergelar sebagai Dewa angin. Udara (Vāyu) atau angin (Pāvana) merupakan salah satu unsur dalam Panca Maha Bhuta, lima elemen dasar dalam ajaran agama Hindu.
Dewa dalam agama Hindu ini diadaptasi ke dalam dunia pewayangan sebagai dewa penguasa angin yang bertempat tinggal di Khayangan Panglawung. Batara bayu ditugaskan untuk mengatur dan menguasai angin. Pada zaman Treta Yuga, Batara Bayu menjadi guru Hanoman agar kera tersebut menjadi sakti. Pada zaman Dwapara Yuga, Batara Bayu menurunkan Werkudara (Bima). Ciri dari murid ataupun keturunan dewa ini adalah mempunyai "Kuku Pancanaka". Dalam dunia wayang Jawa, Dewa ini dikatakan memiliki Ajian. Hal tersebut merupakan adaptasi budaya dan tak terdapat dalam mitologi Hindu India. Ajian yang terkenal dari Batara Bayu adalah Sepiangin, Bayubraja dan lain-lain
57. BATARA BRAHMA
Dewa Brahma adalah salah satu di antara Trimurti (Brahma, Wisnu, Çiwa). Dewa Brahma juga bergelar sebagai Dewa pengetahuan dan kebijaksanaan. Beberapa orang bijaksana memberinya gelar sebagai Dewa api. Dewa Brahma saktinya Dewi Saraswati, yang menurunkan segala ilmu pengetahuan ke dunia.
Menurut mitologi Hindu, Dewa Brahma lahir dengan sendirinya (tanpa Ibu) dari dalam bunga teratai yang tumbuh di dalam Dewa Wisnu pada saat penciptaan alam semesta. Legenda lain mengatakan bahwa Dewa Brahma lahir dari air. Di sana Brahman menaburkan benih yang menjadi telur emas. Dari telur emas tersebut, lahirlah Dewa Brahma Sang pencipta. Material telur emas yang lainnya menjadi Brahmanda, atau telur alam semesta.
Brahma
Ukiran Brahma di Halebidu
Ukiran Brahma di Halebidu
Gelar sebagai Dewa pencipta
Menurut cerita kuno, pada saat penciptaan alam semesta, Brahma menciptakan sepuluh Prajapati, yang konon merupakan ayah-ayah (kakek moyang) manusia pertama. Menurut Manusmrti, sepuluh Prajapati tersebut adalah: Marichi, Atri, Angirasa, Pulastya, Pulaha, Kratu, Vasishtha, Prachetas atau Daksha, Bhrigu, dan Narada. Beliau juga konon menciptakan tujuh pujangga besar yang disebut Sapta Rsi untuk menolongnya menciptakan alam semesta. Menurut kisah di balik penulisan Ramayana, Dewa Brahma memberkati Rsi Walmiki untuk menulis kisah Ramayana yang menceritakan riwayat Ramachandra yang pada masa itu sedang memerintah di Ayodhya.


58. CANGIK
Cangik adalah seorang pelayan wanita pelawak kesayangan para penonton biasanya mengiringi kehadiran Sumbadra atau putri kelas atas lainnya. Meskipun perawakannya kurus, dadanya mengerut, dan penampilannya aneh, dia sangat mudah tersipu-sipu dan genit, dengan sisir yang selalu ia bawa sebagai buktinya. Suaranya tinggi, melengking dan seperti bersiul, karena dia tidak mempunyai gigi
.
59. CITRAKSA
Citraksa
Citraksa dalam versi pewayangan Jawa
Citraksa adalah seorang tokoh dari wiracarita Mahabharata yang berada di pihak Korawa. Citraksa adalah adik Duryodana dan mempunyai saudara kembar, yaitu Citraksi. Sering dikisahkan dalam cerita pedalangan, Citraksa dan Citraksi mempunyai sifat dan karakter yang sama, seperti gagap dalam berbicara, tindakannya grusa-grusu. Dalam peperangan di luar Bharatayuddha, Citraksa dan Citraksi sering menjadi bulan-bulanan anak-anak Pandawa seperti Antareja, Antasena, Gatotkaca, Abimanyu dan lain-lain.
60. KRETAWARMA
Kertawarma
Kretawarma dalam versi pewayangan Jawa
Kertawarma atau Kritawarman adalah seorang tokoh dari wiracarita Mahabharata. Ia merupakan golongan Wangsa Wresni-Yadawa yang tinggal di Dwaraka. Dalam perang di Kurukshetra, ia memihak Duryodana (Korawa).
Kertawarma merupakan salah satu kesatria Korawa yang berhasil bertahan hidup bersama Aswatama dan Krepa. Bersama-sama dengan mereka berdua, ia membunuh para kesatria pihak Pandawa yang sedang tidur, yaitu kelima putera Dropadi, Drestadyumna, dan Srikandi. Peristiwa tersebut dilakukan pada akhir Bharatayuddha (perang di Kurukshetra).
Tiga puluh enam tahun setelah perang besar terjadi, ia tewas dalam perang saudara yang terjadi antara Wangsa Wresni dan Yadawa. Kepalanya dipenggal oleh Satyaki dan dilakukan di hadapan Sri Kresna.

61. LAKSAMANA
Laksmana adalah tokoh protagonis dalam wiracarita Ramayana, putera Raja Dasarata dan merupakan adik tiri dari Rama, pangeran Ayodhya. Namanya kadangkala dieja Laksmana, Lakshman, atau Laxman.Menurut kitab Purana, Laksmana merupakan penitisan Shesha. Shesha adalah ular yang mengabdi kepada Dewa Wisnu dan menjadi ranjang ketika Wisnu beristirahat di lautan susu. Shesha menitis pada setiap awatara Wisnu dan menjadi pendamping setianya. Dalam Ramayana, ia menitis kepada Laksmana sedangkan dalam Mahābhārata, ia menitis kepada Baladewa. Laksmana merupakan putera ketiga Raja Dasarata yang bertahta di negeri Ayodhya. Kakak sulungnya bernama Rama, kakak keduanya bernama Bharata, dan adiknya sekaligus kembarannya bernama Satrughna. Di antara saudara-saudaranya, Laksmana memiliki hubungan yang sangat dekat terhadap Rama. Mereka bagaikan duet yang tak terpisahkan. Ketika Rama menikah dengan Dewi Sita, Lakshmana juga menikahi adik Dewi Sita yang bernama Urmila.
62. RAMA
Rama
Sri Ramacandra
Sri Ramacandra
Dalam ajaran agama Hindu, Rama atau Ramachandra adalah seorang raja legendaris yang terkenal dari India yang konon hidup pada zaman Treta Yuga, keturunan Dinasti Surya atau Suryawangsa. Ia berasal dari Kerajaan Kosala yang beribukota Ayodhya. Menurut pandangan Hindu, ia merupakan awatara Dewa Wisnu yang ketujuh yang turun ke bumi pada zaman Treta Yuga. Sosok dan kisah kepahlawanannya yang terkenal dituturkan dalam sebuah sastra Hindu Kuno yang disebut Ramayana, tersebar dari Asia Selatan sampai Asia Tenggara. Terlahir sebagai putera sulung dari pasangan Raja Dasarata dengan Kosalya, ia dipandang sebagai Maryada Purushottama, yang artinya "Manusia Sempurna". Setelah dewasa, Rama memenangkan sayembara dan beristerikan Dewi Sita, inkarnasi dari Dewi Laksmi. Rama memiliki anak kembar, yaitu Kusa dan Lawa.
63. RAHWANA
Dalam mitologi Hindu, Rahwana adalah tokoh utama yang bertentangan terhadap Rama dalam Sastra Hindu, Ramayana. Dalam kisah, ia merupakan Raja Alengka, sekaligus Rakshasa atau iblis, ribuan tahun yang lalu.
Rahwana dilukiskan dalam kesenian dengan sepuluh kepala, menunjukkan bahwa ia memiliki pengetahuan dalam Weda dan sastra. Karena punya sepuluh kepala ia diberi nama "Dasamuka”, "Dasagriva" dan "Dasakanta” . Ia juga memiliki dua puluh tangan, menunjukkan kesombongan dan kemauan yang tak terbatas. Ia juga dikatakan sebagai ksatria besar.
Rahwana memiliki banyak kerabat dan saudara yang disebutkan dalam Ramayana. Karena sulit menemukan data-data mengenai mereka selain Ramayana, tidak banyak yang diketahui tentang mereka. Menurut Ramayana, ibu Rahwana adalah puteri seorang Detya bernama Kekasi, menikahi seorang pertapa bernama Wisrawa. Rahwana memiliki kakek bernama Pulastya, putera Brahma. Dari pihak ibunya, Rahwana memiliki kakek bernama Sumali, dan ia memiliki paman bernama Marica, putera Tataka, saudara Malyawan. Rahwana memiliki tiga istri, dan tujuh putera.
64.ABIMANYU
Abimanyu terdiri dari dua kata Sansekerta, yaitu abhi (berani) dan man'yu (tabiat). Dalam bahasa Sansekerta, kata Abhiman'yu secara harfiah berarti "ia yang memiliki sifat tak kenal takut" atau "yang bersifat kepahlawanan".
Abimanyu  adalah seorang tokoh dari wiracarita Mahabharata. Ia adalah putera Arjuna dari salah satu istrinya yang bernama Subadra. Ditetapkan bahwa
Abimanyu
Pangeran Abimanyu (kiri) dan istrinya,Putri Utara (kanan)
Abimanyulah yang akan meneruskan Yudistira. Dalam wiracarita Mahabharata, ia dianggap seorang pahlawan yang tragis. Ia gugur dalam pertempuran besar di Kurukshetra sebagai ksatria termuda dari pihak Pandawa, karena baru berusia enam belas tahun. Abimanyu menikah dengan Utara, puteri Raja Wirata dan memiliki seorang putera bernama Parikesit, yang lahir setelah ia gugur.
Kresna yang sedang membahas hal tersebut dengan ibunya, Subadra. Kresna berbicara Saat belum lahir karena berada dalam rahim ibunya, Abimanyu mempelajari pengetahuan tentang memasuki formasi mematikan yang sulit ditembus bernama Chakrawyuha dari Arjuna. Mahabharata menjelaskan bahwa dari dalam rahim, ia menguping pembicaraan mengenai cara memasuki Chakrawyuha dan kemudian Subadra (ibu Abimanyu) tertidur maka sang bayi tidak memiliki kesempatan untuk tahu bagaimana cara meloloskan diri dari formasi itu.
Abimanyu menghabiskan masa kecilnya di Dwaraka, kota tempat tinggal ibunya. Ia dilatih oleh ayahnya yang bernama Arjuna yang merupakan seorang ksatria besar dan diasuh di bawah bimbingan Kresna. Ayahnya menikahkan Abimanyu dengan Uttara, puteri Raja Wirata, untuk mempererat hubungan antara Pandawa dengan keluarga Raja Wirata, saat pertempuran Bharatayuddha yang akan datang. Pandawa menyamar untuk menuntaskan masa pembuangannnya tanpa diketahui di kerajaan Raja Wirata, yaitu Matsya.
Sebagai cucu Dewa Indra, Dewa senjata ajaib sekaligus Dewa peperangan, Abimanyu merupakan ksatria yang gagah berani dan ganas. Karena dianggap setara dengan kemampuan ayahnya, Abimanyu mampu melawan ksatria-ksatria besar seperti Drona, Karna, Duryodana dan Dursasana. Ia dipuji karena keberaniannya dan memiliki rasa setia yang tinggi terhadap ayahnya, pamannya, dan segala keinginan mereka.

Kematian Abimanyu

Formasi Chakrawyuha.Abimanyu terbunuh di dalamnyaPada hari ketiga belas Bharatayuddha, pihak Korawa menantang Pandawa untuk mematahkan formasi perang melingkar yang dikenal sebagai Chakrawyuha. Para Pandawa menerima tantangan tersebut karena Kresna dan Arjuna tahu bagaimana cara mematahkan berbagai formasi.
Formasi Chakrawyuha.
Abimanyu terbunuh di dalamnya
Namun, pada hari itu, Kresna dan Arjuna sibuk bertarung dengan laskar Samsaptaka. Oleh karena Pandawa sudah menerima tantangan tersebut, mereka tidak memiliki pilihan namun mencoba untuk menggunakan Abimanyu yang masih muda, yang memiliki pengetahuan tentang bagaimana cara mematahkan formasi Chakrawyuha namun tidak tahu bagaimana cara keluar dari dalamnya. Untuk meyakinkan bahwa Abimanyu tidak akan terperangkap dalam formasi tersebut, Pandawa bersaudara memutuskan bahwa mereka dan sekutu mereka akan mematahkan formasi itu bersama Abimanyu dan membantu sang pemuda keluar dari formasi tersebut.
Pada hari penting itu, Abimanyu menggunakan kecerdikannya untuk menembus formasi tersebut. pandawa bersaudara dan sekutunya mencoba untuk mengikutinya di dalam formasi, namun mereka dihadang oleh Jayadrata, Raja Sindhu, yang memakai anugerah Siwa agar mampu menahan para Pandawa kecuali Arjuna, hanya untuk satu hari. Abimanyu ditinggal sendirian untuk menangkis serangan pasukan Korawa.
Abimanyu membunuh dengan bengis beberapa ksatria yang mendekatinya, termasuk putera Duryodana, yaitu Laksmana. Setelah menyaksikan putera kesayangannya terbunuh, Duryodana marah besar dan menyuruh segenap pasukan Korawa untuk menyerang Abimanyu. Karena gagal menghancurkan baju zirah Abimanyu, atas nasihat Drona, Karna menghancurkan busur Abimanyu dari belakang. Kemudian keretanya dihancurkan, kusir dan kudanya dibunuh, dan seluruh senjatanya terbuang. Putera Dursasana mencoba untuk bertarung dengan tangan kosong dengan Abimanyu. Namun tanpa menghiraukan aturan perang, pihak Korawa menyerang Abimanyu secara serentak. Abimanyu mampu bertahan sampai pedangnya patah dan roda kereta yang ia pakai sebagai perisai hancur berkeping-keping. Tak berapa lama kemudian, Abimanyu dibunuh oleh putera Dursasana dengan cara menghancurkan kepalanya dengan gada.

Abimanyu dalam pewayangan Jawa

Abimanyu dalam versi pewayangan JawaDalam khazanah pewayangan Jawa, Abimanyu, sebagai putra Arjuna, merupakan tokong penting. Di bawah ini dipaparkan ciri khas tokoh ini dalam budaya Jawa yang sudah berkembang lain daripada tokoh yang sama di India.

            Dikisahkan Abimanyu karena kuat tapanya mendapatkan Wahyu Makutha Raja, wahyu yang menyatakan bahwa keturunannyalah yang akan menjadi penerus tahta Para Raja Hastina.Abimanyu dikenal pula dengan nama Angkawijaya, Jaya Murcita, Jaka Pangalasan, Partasuta, Kirityatmaja, Sumbadraatmaja, Wanudara dan Wirabatana. Ia merupakan putra Arjuna, salah satu dari lima ksatria Pandawa dengan Dewi Subadra, putri Prabu Basudewa, Raja Mandura dengan Dewi Dewaki. Ia mempunyai 13 orang saudara lain ibu, yaitu: Sumitra, Bratalaras, Bambang Irawan, Kumaladewa, Kumalasakti, Wisanggeni, Wilungangga, Endang Pregiwa, Endang Pregiwati, Prabakusuma, Wijanarka, Anantadewa dan Bambang Sumbada.
Abimanyu merupakan makhluk kekasih Dewata. Sejak dalam kandungan ia telah mendapat "Wahyu Hidayat", yang mamp membuatnya mengerti dalam segala hal. Setelah dewasa ia mendapat "Wahyu Cakraningrat", suatu wahyu yang dapat menurunkan raja-raja besar.
Abimanyu mempunyai sifat dan watak yang halus, baik tingkah lakunya, ucapannya terang, hatinya keras, besar tanggung jawabnya dan pemberani. Dalam olah keprajuritan ia mendapat ajaran dari ayahnya, Arjuna. Sedang dalam olah ilmu kebathinan mendapat ajaran dari kakeknya, Bagawan Abiyasa.
Abimanyu tinggal di kesatrian Palangkawati, setelah dapat mengalahkan Prabu Jayamurcita. Ia mempunyai dua orang isteri, yaitu:
  1. Dewi Siti Sundari, putri Prabu Kresna, Raja Negara Dwarawati dengan Dewi Pratiwi,
  2. Dewi Uttari, putri Prabu Matswapati dengan Dewi Ni Yutisnawati, dari negara Wirata, dan berputra Parikesit.
Abimanyu gugur dalam perang Bharatayuddha setelah sebelumnya seluruh saudaranya mendahului gugur, pada saat itu ksatria dari Pihak Pandawa yang berada dimedan laga dan menguasai gelar strategi perang hanya tiga orang yakni Werkodara, Arjuna dan Abimanyu. Gatotkaca menyingkir karena Karna merentangkan senjata Kuntawijayandanu. Werkodara dan Arjuna dipancing oleh ksatria dari pihak Korawa untuk keluar dari medan pertempuran, maka tinggalah Abimanyu.
Ketika tahu semua saudaranya gugur Abimanyu menjadi lupa untuk mengatur gelar perang, dia maju sendiri ketengah barisan Kurawa dan terperangkap dalam formasi mematikan yang disiapkan pasukan Korawa. Tak menyiakan kesempatan untuk bersiap-siap, Korawa menghujani senjata ketubuh Abimanyu sampai Abimanyu terjerembab dan jatuh dari kudanya (dalam pewayangan digambarkan lukanya "arang kranjang" (banyak sekali) dan Abimanyu terlihat seperti landak karena berbagai senjata ditubuhnya) sebagai risiko pengucapan sumpah ketika melamar Dewi Uttari bahwa dia masih belum punya istri dan apabila telah beristri maka dia siap mati tertusuk berbagai senjata ketika perang Bharatayuddha, padahal ketika itu sudah beristrikan Dewi Siti Sundari.
Dengan senjata yang menancap diseluruh tubuhnya sehingga dia tidak bisa jalan lagi tidak membuat Abimanyu menyerah dia bahkan berhasil membunuh putra mahkota Hastina (Lesmana Mandrakumara) dengan melemparkan keris Pulanggeni setelah menembus tubuh empat prajurit lainnya, pada saat itu pihak Korawa tahu bahwa untuk membunuh Abimanyu harus memutus langsang yang ada didadanya, kemudian Abimanyupun gugur oleh gada Kyai Glinggang atau Galih Asem milik Jayadrata, ksatria Banakeling.

65. ANGGADA

            Anggada atau Hanggada adalah seorang tokoh dalam wiracarita Ramayana. Ia adalah wanara muda yang sangat tangkas dan gesit. Kekuatannya sangat dahsyat, sama seperti ayahnya, yakni Subali. Dalam kitab Ramayana disebutkan bahwa ia dapat melompat sejauh sembilan ratus mil. Anggada dilindungi oleh Rama dan akhirnya membantu Rama, berperang melawan Rahwana merebut kembali Dewi Sita, istri Rama. Ayah Anggada adalah Raja Wanara bernama Subali, ibunya adalah Tara. Anggada memiliki paman bernama Sugriwa, yaitu adik Subali. Subali dan Sugriwa memiliki adik perempuan bernama Anjani. Hanoman adalah putera Anjani, maka Anggada bersaudara sepupu dengan Hanoman. Saat masih muda, Subali tewas karena panah Rama. Setelah itu, Anggada dirawat oleh Sugriwa.

Perang di Alengka

Sebelum peperangan di Alengka meletus, Rama mengutus Anggada agar memberi kepada Rahwana untuk segera menyerahkan Dewi Sita. Setelah mendengar pesan Rama yang panjang lebar, Anggada mohon pamit lalu pergi ke tempat Rahwana. Di hadapan Rahwana, Anggada memperingati agar Sita segera dikembalikan jika tidak ingin peperangan meletus. Rahwana yang keras kepala, tidak menghiraukan peringatan Anggada namun mencoba mengerahkan pasukannya untuk menangkap wanara tersebut. dengan sigap, Anggada melompat ke udara sehingga ia lolos. Setelah itu, ia merobohkan menara istana. Dengan sekali lompatan, ia terbang kembali ke tempat Rama.Saat pertempuran pertama berlangsung, Anggada bertemu dengan Indrajit, putera Rahwana. Dua prajurit tersebut bertempur dengan jurus-jurus yang mengagumkan. Para wanara bersorak-sorak kegirangan karena kagum dengan ketangguhan Anggada, sebab panah-panah yang dilepaskan Indrajit tidak membuat Anggada gentar. Namun kemudian Indrajit mengalihkan serangannya kepada Rama. Pertempuran pada hari itu pun diakhiri sebab Rama tak berkutik. Setelah Rama pulih kembali, para wanara melanjutkan penyerangannya. Pada pertempuran kedua, Anggada bertemu dengan Bajradamstra. Setelah pertarungan sengit terjadi dalam waktu yang lama, Bajradamstra gugur di tangan Anggada. Ketika peperangan di Alengka usai, Anggada dan para wanara lainnya diundang ke Ayodhya untuk menerima penghargaan atas jasa-jasa mereka karena telah menolong Rama menyelamatkan Sita.

66. NILA ( RAMAYANA )

Nila
Lukisan Nila versi pewayangan Bali
Nila alias Anila  adalah seorang tokoh dalam wiracarita Ramayana. Namanya secara harafiah berarti "nila" atau "biru tua". Nila adalah seekor kera berwarna gelap yang berada di kubu Sri Rama dalam perang melawan Rahwana.
Selama masa petualangan mencari Sita, Nila berperan penting, terutama dalam pembangunan jembatan Situbanda karena struktur jembatan tersebut dirancang oleh Nila. Dalam pertempuran besar di Alengka, Nila bersama para wanara yang lain bertarung mengalahkan para rakshasa. Saat Nila berhadapan dengan Prahasta yang menggunakan senjata gada besi, pertarungan berlangsung dengan sengit karena keduanya sama-sama sakti. Akhirnya Nila mengangkat sebuah batu yang besar sekali. Batu tersebut kemudian dijatuhkan di atas kepala Prahasta sehingga rakshasa tersebut tewas seketika.

Nila dalam pewayangan Jawa

Tokoh Nila dalam versi pewayangan Jawa.Saat Hanoman menghadap Batara Guru untuk diakui sebagai putranya, Batara Narada tertawa sambil menyindir Batara Guru. Batara Guru yang merasa disindir kemudian mengambil daun nila (sawo kecik) dan dilempar ke punggung Batara Narada. Daun nila tersebut menjadi seekor kera berbadan pendek dan berbulu biru tua yang menempel di punggung Batara Narada. Saat itu Batara Narada yang sangat benci terhadap kera meminta ampun kepada Batara Guru agar kera tersebut lepas dari punggungnya. Kemudian Batara Guru memberi tahu cara melepaskan kera itu dari punggung Batara Narada, yaitu dengan mengakui kera tersebut menjadi anaknya. Akhirnya Batara Narada mau mengakui kera tersebut sebagai putranya.
Semua dewa yang hadir di dalam pertemuan tertawa melihat kejadian tersebut. Batara Narada menuntut kepada Batara Guru untuk memerintahkan semua dewa yang lainnya untuk memuja keranya masing-masing saperti yang telah dilakukan Batara Narada. Setelah tujuh hari kemudian akhirnya lahirlah kera-kera pujaan para dewa itu. Adapun kera-kera tersebut antara lain Kapi Sempati pujaan Batara Indra, Kapi Anggeni pujaan Batara Brahma, Kapi Menda, Kapi Baliwisata, dan Kapi Anala pujaan Batara Yamadipati dan sebagainya yang mencapai ratusan ekor. Kera-kera tersebut lalu dikirim ke raja kera di Gua Kiskenda di bawah pimpinan Anila. Di Kerajaan Gua Kiskenda, Anila diangkat menjadi patih sekaligus ahli seni bersama Kapi Nala dan Kapi Anala.
Kapi Anila menjadi pahlawan setelah berhasil membunuh Patih Prahasta (patihnya Dasamuka) dari Alengka dengan cara mengadu kepalanya dengan tugu batu yang ada di perbatasan negeri Alengka (tugu tersebut adalah pujaan Dewi Indrardi yang terkutuk pada peristiwa Cupu Manik). Selain itu, Anila membebaskan Dewi Indrardi dari kutukannya.
67. ASWATAMA
Aswatama
Aswatama dalam versi pewayangan Jawa
Aswatama dalam versi pewayangan Jawa
Dalam wiracarita Mahabharata, Aswatama atau Ashwatthaman adalah putera guru Dronacharya dengan Kripi. Sebagai putera tunggal, Dronacharya sangat menyayanginya. Ia juga merupakan salah satu dari tujuh Chiranjīwin, karena dikutuk untuk hidup selamanya tanpa memiliki rasa cinta. Saat perang di Kurukshetra berakhir, hanya ia bersama Kretawarma dan Krepa yang bertahan hidup. Oleh karena dipenuhi dendam atas kematian ayahnya, ia menyerbu kemah Pandawa saat tengah malam dan melakukan pembantaian membabi buta. Ketika ayahnya, Resi Drona menjadi guru Keluarga Pandawa dan Korawa di Hastinapura, Aswatama ikut serta dalam mengikuti pendidikan ilmu olah keprajuritan. Ia memiliki sifat pemberani, cerdik dan pandai mempergunakan segala macam senjata. Dari ayahnya, Aswatama mendapat pusaka yang sangat sakti berupa panah bernama Panah Cundamanik.
Sebagian kisah hidup Aswatama dimuat dalam kitab Mahabharata. Kisahnya yang terkenal adalah pembunuhan terhadap lima putera Pandawa dan janin yang dikandung oleh Utara, istri Abimanyu. Janin tersebut berhasil dihidupkan kembali oleh Kresna namun lima putera tidak terselamatkan nyawanya. Aswatama merupakan putera dari Bagawan Drona dengan Kripi, adik Krepa. Semasa kecil ia mengenyam ilmu militer bersama dengan para pangeran Kuru, yaitu Korawa dan Pandawa. Kekuatannya hampir setara dengan Arjuna, terutama dalam ilmu memanah. Saat perang di antara Pandawa dan Korawa meletus, ia memihak kepada Korawa, sama dengan ayahnya, dan berteman dengan Duryodana.
Riwayat hidup Aswatama dalam pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan dengan kisah aslinya dari kitab Mahabharata yang berasal dari Tanah Hindu, yaitu India, dan berbahasa Sansekerta. Beberapa perbedaan tersebut meliputi nama tokoh, lokasi, dan kejadian. Namun perbedaan tersebut tidak terlalu besar sebab inti ceritanya sama.
68. BAGONG
Bagong adalah nama salah satu tokoh punakawan dalam cerita wayang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam cerita wayang dari Jawa Barat ia bernama Cepot atau nama yang lebih lengkapnya yaitu Astrajingga.
Bagong adalah anak ketiga dari Semar dengan ibunya Sutiragen. Dengan bersenjatakan golok, Bagong, pekerjaannya adalah selalu membuat humor, tidak peduli kepada siapa pun, baik kesatria, raja maupun Para Dewa. Meskipun demikian lewat humor humornya dia memberikan nasehat, petuah dan kritik.
Lakonnya biasanya dikeluarkan oleh dalang di tengah kisah, selalu menemani para kesatria dan digunakan dalang untuk menyampaikan pesan pesan bebas bagi pemirsa dan penonton, baik itu nasihat, kritik maupun petuah dan sindiran yang tentu saja disampaikan secara humor.
Dalam perang, Bagong biasanya ikut perang dengan membawa golok. Lawan utamanya adalah para raksasa-raksasa yang selalu menjadi mangsa goloknya. Namun, Bagong sering merasa kewalahan kalau melawan para kesatria lawan tersebut.
69. SATYAWATI
            Satyawati juga disebut Durghandini dan Gandhawati adalah seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata. Ia adalah istri prabu Santanu dan ibu dari Citrānggada dan Wicitrawirya.Sewaktu kecil ia berbau amis, tetapi disembuhkan oleh Resi Parasara, dan kemudian menikahinya lalu melahirkan seorang putra dan diberi nama Wyasa. Dalam versi pewayangan, ia disembuhkan oleh Resi Wyasa.

Kelahiran

Ada seorang Raja bernama Basuparisara, bertahta di Kerajaan Chedi. Raja tersebut masih seorang keturunan Puru dan memiliki permaisuri bernama Girika. Pada suatu hari, Sang Raja pergi berburu. Di tengah hutan, ia melihat bunga-bunga bermekaran, kemudian ia teringat akan kecantikan wajah permaisurinya, Girika. Tanpa sadar air kama-nya menetes, kemudian ia tampung pada sehelai daun. Ia memanggil seekor elang yang sedang terbang di udara, bernama Çyena, untuk mengantarkan air tersebut kepada permaisurinya. Di tengah jalan air yang ditampung dalam daun tersebut jatuh di sungai Yamuna. Di sana hidup seekor ikan besar yang merupakan penjelmaan bidadari yang dikutuk. Air kama tersebut ditelan oleh Sang Ikan kemudian ikan tersebut hamil.
Di tepi sungai Yamuna, hiduplah keluarga nelayan. Kepala keluarga tersebut bernama Dasabala. Suatu hari Dasabala pergi menangkap ikan lalu ditangkapnya seekor ikan besar yang telah menelan air kama seorang raja. Karena sabda dewata, ikan tersebut tidak dimakan oleh Dasabala. Dari dalam perut ikan keluarlah dua bayi, lelaki dan perempuan. Sang ikan kemudian berubah wujudnya menjadi bidadari kembali lalu terbang ke surga. Kedua anak yang dilahirkan tersebut diserahkan kepada Raja Basuparisara. Anak yang laki-laki diberi nama Matsyapati dan diangkat menjadi Raja di Kerajaan Wirata, sedangkan anak yang perempuan dikembalikan oleh Sang Raja karena baunya amis. Anak tersebut kemudian diberi nama Durghandini karena baunya amis seperti ikan. Orangtuanya memberi Durghandini pekerjaan sebagai tukang menyeberangkan orang di Sungai Yamuna.

Pertemuan dengan Prabu Santanu

Pada suatu ketika Prabu Santanu dari Hastinapura mendengar desas-desus bahwa di sekitar sungai Yamuna tersebar bau yang sangat harum semerbak. Dengan rasa penasaran Prabu Santanu jalan-jalan ke sungai Yamuna. Ia menemukan sumber bau harum tersebut dari seorang gadis desa, bernama Durgandini. Prabu Santanu jatuh cinta dan hendak melamar Durghandini. Ketika Sang Raja melamar gadis tersebut, orangtuanya mengajukan syarat bahwa jika Durghandini (Gandhawati atau Satyawati) menjadi permaisuri Prabu Santanu, ia harus diperlakukan sesuai dengan Dharma dan keturunan Durghandini-lah yang haurs menjadi penerus tahta. Mendengar syarat tersebut, Sang Raja pulang dengan kecewa dan menahan sakit hati. Ia menjadi jatuh sakit karena terus memikirkan gadis pujaannya yang tak kunjung ia dapatkan.
Melihat ayahnya jatuh sakit, Dewabrata menyelidikinya. Ia bertanya kepada kusir yang mengantarkan ayahnya jalan-jalan. Dari sana ia memperoleh informasi bahwa ayahnya jatuh cinta kepada seorang gadis. Akhirnya, ia berangkat ke sungai Yamuna. Ia mewakili ayahnya untuk melamar puteri Dasabala yang sangat diinginkan ayahnya. Ia menuruti segala persyaratan yang diajukan Dasabala. Ia juga bersumpah tidak akan menikah seumur hidup dan tidak akan meneruskan tahta keturunan Raja Kuru agar kelak tidak terjadi perebutan kekuasan antara keturunannya dengan keturunan Durghandini. Sumpahnya disaksikan oleh para Dewa dan semenjak saat itu, namanya berubah menjadi Bisma. Akhirnya Prabu Santanu dan Dewi Durghandini menikah lalu memiliki dua orang putera bernama Chitrāngada dan Wicitrawirya.
70. JAYADRATA
Dalam wiracarita Mahabharata, Jayadrata adalah seorang raja di Kerajaan Sindhu. Dia menikahi Dursala, adik perempuan Korawa bersaudara. Jayadrata merupakan tokoh penting di balik pembunuhan Abimanyu. Ia menghadang para ksatria Pandawa saat mereka berusaha menyelamatkan Abimanyu. Atas kematian Abimanyu, Arjuna berusaha membunuh Jayadrata. Akhirnya pada Bharatayuddha hari keempat belas, Jayadrata gugur di tangan Arjuna.
Jayadrata
Jayadrata dalam versi pewayangan Jawa

Jayadrata dalam pewayangan Jawa

Antara kisah Jayadrata dalam kitab Mahabharata dan pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan, namun tidak terlalu besar karena inti ceritanya sama. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain disebabkan oleh proses Jawanisasi, yaitu membuat kisah wiracarita dari India bagaikan terjadi di pulau Jawa.
Jayadrata adalah seorang ksatria yang sangat sakti dari pihak Korawa. Misteri menyelubungi asal usulnya. Kisahnya bermula ketika Wrekudara lahir, ari-ari yang membungkusnya dibuang. Pertapa tua, yaitu Bagawan Sapwani, secara kebetulan memungutnya, mendoakannya, dan mengubahnya menjadi seorang bocah lelaki, yang tumbuh dewasa dengan nama Jayadrata. Dari pandangan sekilas saja tampak jelas kemiripan kekerabatan dengan Wrekudara dan putra Wrekudara, Raden Gatotkaca. Ketika Jayadrata beranjak dewasa, ia dibujuk untuk datang ke Hastina oleh Sangkuni yang cerdik, yang memandang perlu seorang sekutu yang seperti itu untuk melawan Pandawa. Di sana Jayadrata diberi suatu kedudukan yang tinggi dan dikawinkan dengan saudara perempuan Duryodana, Dewi Dursilawati. Hal ini mengikatnya dengan kuat pada pihak Kiri. Dalam Perang Bharatayuddha, dialah yang membunuh ksatria muda Abimanyu, dan setelah itu pada gilirannya ia dibunuh oleh Arjuna yang kehilangan anaknya. Karakter Jayadrata adalah jujur, setia, dan terus terang bagaikan Gatotkaca di antara Korawa. Ia mahir mempergunakan panah dan sangat ahli bermain gada. Oleh Resi Sapwani ia diberi pusaka gada bernama Kyai Glinggang.
            Jayadrata nama sesungguhnya adalah Arya Tirtanata atau Bambang Sagara. Arya Tirtanata kemudian dinobatkan sebagai raja negara Sindu, dan bergelar Prabu Sinduraja. Karena ingin memperdalam pengetahuannya dalam bidang tata pemerintahan dan tata kenegaraan, Prabu Sinduraja pergi ke negara Hastina untuk berguru pada Prabu Pandu Dewanata. Untuk menjaga kehormatan dan harga diri, ia menukar namanya dengan nama patihnya, Jayadrata. Di negara Hastina Jayadrata bertemu dengan Keluarga Korawa, dan akhirnya diambil menantu Prabu Dretarastra, dikawinkan dengan Dewi Dursilawati dan diangkat sebagai Adipati Buanakeling. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra bernama Arya Wirata dan Arya Surata. Jayadrata gugur di tangan Arjuna di medan perang Bharatayuddha sebagai senapati perang Korawa. Kepalanya terpangkas lepas dari badannya oleh panah sakti Pasupati
71. LIMBUK
Limbuk adalah anak perempuan Cangik, juga seorang abdi perempuan yang konyol. Meskipun penampilannya sangat berbeda dengan ibunya, dia mempunyai rasa keyakinan yang sama akan daya tariknya yang tinggi. Dia juga membawa sebuah sisir dengannya ke mana-mana. Suaranya keras, rendah, dan menyentuh secara janggal.
72. SANTANU
Santanu adalah tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Beliau adalah putera Raja Pratipa, Raja dari trah Candrawangsa, keturunan Maharaja Kuru, yang memiliki tegal bernama Kurukshetra, letaknya di India Utara. Prabu Santanu merupakan ayah Bisma dan secara legal, kakek daripada Pandu dan Dretarastra. Beliau memerintah di Hastinapura, ibukota sekaligus pusat pemerintahan para keturunan Kuru, di Kerajaan Kuru.

Santanu
Prabu Santanu dalam versi Wayang Jawa
Prabu Santanu merupakan putera dari pasangan Raja Pratipa dengan Ratu Sunanda, keturunan Raja Kuru, yang menurunkan keluarga para Pandawa dan Korawa. Santanu berasal dari kata çanta yang berarti tenang, sebab Prabu Pratipa dalam keadaan tenang pada saat puteranya lahir. Prabu Santanu sangat tampan, sangat cakap dalam memainkan senjata, dan senang berburu ke hutan. Ia menggantikan ayahnya, Raja Pratipa, sebagai Raja di Hastinapura.
73. SATYAKI
Satyaki
Satyaki dalam versi pewayangan Jawa
Satyaki dalam versi pewayangan Jawa
Satyaki alias Yuyudhana adalah seorang tokoh dari wiracarita Mahabharata. Ia adalah saudara ipar Kresna. Ia berperang pada pihak Pandawa dalam perang Bharatayuddha.
Kelahirannya di waktu ibu Satyaki mau dibawa oleh pencuri, tidak ada yang mampu mengalahkan pencuri itu bahkan para Pandawa. Setelah lahir Satyaki ia dido'akan agar cepat tumbuh, seketika ia menjadi ksatria yang gagah, suaranya mantap mirip Bima, tapi tubuhnya kecil, dialah yang mampu mengalahkan maling tersebut yang bernama Singomulanjoyo, kemudian nama itu dipakai oleh Satyaki. Nama lainnya adalah Yuyudana, Bimo Kunthing, Singomulanjoyo. Mempunyai senjata Gada Wesi Kuning pemberian Prabu Kresna.
74. WISANGGENI
Dalam wiracarita Mahabharata, Wisanggeni adalah anak Arjuna dari Dewi Dresanala. Ia lahir karena Dresanala bersikukuh tidak menggugurkan kandungannya seperti tujuh bidadari yang juga hamil karena sebagai anugerah Dewa kepada Arjuna yang telah membebaskan kahyangan dari raksasa Niwatakawaca karena menginginkan Dewi Supraba.
Pada saat lahirnya, Wisanggeni membuat ontran-ontran di Kahyangan karena hendak dibunuh oleh kakeknya Batara Brama atas perintah Sang Hyang Giri Nata atau Batara Guru karena lahirnya Wisanggeni dianggap menyalahi kodrat. Tapi karena Wisanggeni adalah titisan Sang Hyang Wenang, dia luput dari bala tersebut .
Wisanggeni tumbuh dibesarkan oleh Batara Baruna (Dewa Penguasa Lauatan) dan Hyang Antaboga (Rajanya Ular yang tinggal di dasar bumi), yang menjadikan Wisanggeni punya kemampuan yang luar biasa. Di jagat pewayangan, dia bisa terbang seperti Gatotkaca dan masuk ke bumi seperti Antareja dan hidup di laut seperti Antasena. Wisanggeni tinggal di Kahyangan Daksinapati bersama ibunya. Dan meninggal menjelang perang Bharatayuddha bersama Antasena atas permintaan Batara Kresna sebagai tumbal untuk kemenangan Pandawa atas perang tersebut.
Karakter Wisanggeni adalah mungkak kromo (tidak menggunakan bahasa kromo ketika bicara dengan siapapun) seperti halnya Bima. Dan dia punya kemampuan Weruh sadurungin winarah (mampu melihat hal yang belum terjadi).
75.  MADRI
Madri adalah salah satu tokoh dalam wiracarita Mahabharata. Dia putri dari Kerajaan Madra, adik dari Prabu Salya yang di berikan kepada Prabu Pandu, setelah Salya kalah tanding dengan Pandu.
Dalam kisah Mahabharata, Prabu Pandu berhasil memenangkan sayembara untuk mendapatkan Kunti putri dari Prabu Kuntiboja. Prabu Salya yang terlambat datang menantang Pandu untuk mendapatkan Dewi Kunti dengan taruhannya adalah Dewi Madri adiknya. Salya dan Pandu kemudian mendapatkan Madri dan menikahinya. Dari Madri, Pandu memiliki dua orang anak kembar, Nakula dan Sadewa.
Madri adalah istri kedua Pandu. Ia dinikahkan dengan Pandu untuk mempererat hubungan antara Hastinapura dengan Kerajaan Madra. Namun karena Pandu menanggung kutukan bahwa ia akan meninggal apabila bersenggama, maka ia tidak bisa memiliki keturunan. Akhirnya Pandu dan istrinya mengembara di hutan sebagai pertapa dan meninggalkan Hastinapura. Di sana, Kunti mengeluarkan mantra rahasianya untuk memangil para Dewa. Ia menggunakan mantra tersebut tiga kali untuk memanggil Dewa Yama, Bayu, dan Indra. Dari ketiga Dewa tersebut ia memperoleh tiga putera, yaitu Yudistira, Bima, dan Arjuna. Kunti juga memberikan kesempatan bagi Madri untuk memanggil Dewa. Madri memanggil Dewa Aswin, dan mendapatkan putera kembar bernama Nakula dan Sadewa.
76. YUDISTIRA
Yudistira
Prabu Yudistira, sebagai tokoh wayang Jawa

Yudistira adalah seorang tokoh protagonis dari wiracarita Mahabharata. Beliau adalah raja Indraprasta, kemudian memerintah Hastina setelah memenangkan pertempuran akbar di Kurukshetra. Yudistira merupakan putera sulung Pandu dengan Kunti. Beberapa sumber mengatakan bahwa ia memiliki kepandaian memakai senjata tombak.
Nama Yudistira dalam bahasa Sansekerta dieja Yudhiṣṭhira, yang artinya adalah "teguh atau kokoh dalam peperangan". Ia juga dikenal sebagai Dharmaraja yang artinya Raja Dharma, sebab konon Yudistira selalu menegakkan Dharma sepanjang hidupnya.

Yudistira dalam versi pewayangan Jawa

Dalam kisah versi Jawa, Yudistira beristrikan Dewi Dropadi, puteri Prabu Drupada dengan Dewi Gandawati dari negara Panchala, dan berputera Pancawala (Pancawala). (Menurut kisah India, Drupadi diperistri oleh kelima Pandawa bersama-sama).
Ia adalah putera sulung Prabu Pandu raja negara Hastina dengan dengan permaisuri Dewi Kunti, putri Prabu Basukunti dengan Dewi Dayita dari negara Mandura. Ia mempunyai dua orang adik kandung masing-masing bernama: Bima (Werkudara) dan Arjuna, dan dua orang adik kembar lain ibu, bernama Nakula (Pinten) dan Sadewa (atau Sahadewa alias Tansen), putra Prabu Pandu dengan Dewi Madri, puteri Prabu Mandrapati dari negara Mandaraka. Kelima orang bersaudara ini disebut sebagai Pandawa.
Yudistira dianggap sebagai keturunan (titisan) Dewa Keadilan, Batara Dharma oleh karena itu salah satu julukannya adalah Dharmasuta, Dharmaputra atau Dharmawangsa. Selain itu ia juga disebut Puntadewa atau Samiaji. Nama Yudistira sendiri diambil karena dalam tubuhnya menunggal arwah Prabu Yudistira, raja jin negara Mertani (menurut kisah pewayangan Jawa). Yudistira mempunyai pusaka kerajaan berwujud payung bernama "Kyai Tunggulnaga" dan sebuah tombak bernama "Kyai Karawelang".
Ia adalah tipe murni raja yang baik. Darah putih (Seta ludira. Seta berarti putih, ludira berarti darah) mengalir di nadinya. Tak pernah murka, tak pernah bertarung, tak pernah juga menolak permintaan siapa pun, betapapun rendahnya sang peminta. Waktunya dilewatkan untuk meditasi dan penghimpunan kebijakan. Tak seperti kesatria yang lain, yang pusaka saktinya berupa senjata, pusaka andalan Yudistira adalah Kalimasada yang misterius, naskah keramat yang memuat rahasia agama dan semesta. Dia, pada dasarnya, adalah cendikiawan tanpa pamrih, yang memerintah dengan keadilan sempurna dan kemurah hatinya yang luhur. Dengan kenampakan yang sama sekali tanpa perhiasan mencolok, dengan kepala merunduk yang mawas diri, dan raut muka keningratan yang halus, dia tampil sebagai gambaran ideal tentang "Pandita Ratu" (Raja Pendeta) yang telah menyingkirkan nafsu dunia.
Akan tetapi ada pula kelemahannya, yakni gemar berjudi. Oleh karena kegemarannya ini, Yudistira beberapa kali tertipu dan dikalahkan dalam adu judi dengan Duryodana, Raja Hastina dan pemuka Korawa. Dalam salah satu kekalahannya, terpaksa Yudistira (dan Pandawa keseluruhannya) menyerahkan negaranya dan membuang diri ke hutan selama 13 tahun.
77. ANTASENA
Antasena
Antasena dalam versi pewayangan Jawa
Dalam wiracarita Mahabharata, Antasena adalah putra Bima dan Dewi Urang Ayu. Tokoh ini paling sakti di antara tiga putera Bima. Jika Gatotkaca mampu terbang di udara dan Antareja mampu ambles bumi (hidup di bawah tanah), Antasena mampu terbang di udara, ambles bumi, dan menyelam. Sama seperti ayahnya, Antasena tidak bisa berbahasa santun (ngoko). Kendati demikian, Antasena berhati baik dan paling bijak di antara putera-putera Pandawa. Ia memiliki tubuh bersisik bagaikan udang dan tidak mempan ditusuk senjata.
Antasena beristrikan Dewi Jenakawati, puteri Arjuna. Ia tidak ikut berperang di Bharatayuddha. Bersama Wisanggeni, mereka menjadi tumbal agar Pandawa menang melawan Korawa. Syahdan, hal ini merupakan taktik yang diambil Kresna karena Antasena tidak terkalahkan. Hal ini akan membuat pertempuran tidak berimbang. Ada juga versi yang menyebutkan, Kresna takut karena dalam rencana dewa, Antasena akan bertanding dengan kakaknya, Baladewa.
Antasena berwatak jujur, terus terang, bersahaja, berani kerena membela kebenaran, tidak pernah berdusta. Setelah dewasa, Anantasena menjadi raja di negara Dasarsamodra, bekas negaranya Prabu Ganggatrimuka yang mati terbunuh dalam peperangan.
Antasena meninggal sebelum perang Bharatayuddha. Ia mati moksa (lenyap dengan seluruh raganya) atas kehendak dan kekuasaan Sang Hyang Wenang
78. ARJUNA
            Arjuna adalah nama seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia dikenal sebagai sang Pandawa yang menawan parasnya dan lemah lembut budinya. Ia adalah putera Prabu Pandudewanata, raja di Hastinapura dengan Dewi Kunti atau Dewi Prita, yaitu puteri Prabu Surasena, Raja Wangsa Yadawa di Mandura. Arjuna merupakan teman dekat Kresna, yaitu Awatara (penjelmaan) Bhatara Wisnu yang turun ke dunia demi menyelamatkan dunia dari kejahatan. Arjuna juga merupakan salah orang yang sempat menyaksikan "wujud semesta" Kresna menjelang Bharatayuddha berlangsung. Ia juga menerima "Bhagawad Gita" atau "Nyanyian Orang Suci", yaitu wejangan suci yang disampaikan oleh Kresna kepadanya sesaat sebelum Bharatayuddha berlangsung karena Arjuna masih segan untuk menunaikan kewajibannya.
Dalam bahasa Sanskerta, secara harfiah kata Arjuna berarti "bersinar terang", "putih" , "bersih". Dilihat dari maknanya, kata Arjuna bisa berarti " jujur di dalam wajah dan pikiran". Arjuna mendapat julukan "Kuruśreṣṭha" yang berarti "keturunan dinasti Kuru yang terbaik". Ia merupakan manusia pilihan yang mendapat kesempatan untuk mendapat wejangan suci yang sangat mulia dari Kresna, yang terkenal sebagai "Bhagawad Gita" (nyanyian Tuhan).
Arjuna memiliki karakter yang mulia, berjiwa kesatria, imannya kuat, tahan terhadap godaan duniawi, gagah berani, dan selalu berhasil merebut kejayaan sehingga diberi julukan "Dananjaya". Musuh seperti apapun pasti akan ditaklukkannya, sehingga ia juga diberi julukan "Parantapa", yang berarti penakluk musuh. Di antara semua keturunan Kuru di dalam silsilah Dinasti Kuru, ia dijuluki "Kurunandana", yang artinya putera kesayangan Kuru. Ia juga memiliki nama lain "Kuruprāwira", yang berarti "kesatria Dinasti Kuru yang terbaik", sedangkan arti harfiahnya adalah "Perwira Kuru".
Di antara para Pandawa, Arjuna merupakan kesatria pertapa yang paling teguh. Pertapaannya sangat kusuk. Ketika ia mengheningkan cipta, menyatukan dan memusatkan pikirannya kepada Tuhan, segala gangguan dan godaan duniawi tak akan bisa menggoyahkan hati dan pikirannya. Maka dari itu, Sri Kresna sangat kagum padanya, karena ia merupakan kawan yang sangat dicintai Kresna sekaligus pemuja Tuhan yang sangat tulus. Sri Kresna pernah berkata padanya, "Pusatkan pikiranmu pada-Ku, berbaktilah kepada-Ku, dan serahkanlah dirimu pada-Ku, maka kau akan datang kepada-Ku. Aku berkata demikian, karena kaulah kawan-Ku yang sangat Kucintai".
Masa muda dan pendidikan
Arjuna didik bersama dengan saudara-saudaranya yang lain (para Pandawa dan Korawa) oleh Bagawan Drona. Kemahirannya dalam ilmu memanah sudah tampak semenjak kecil. Pada usia muda ia sudah mendapat gelar "Maharathi" atau "kesatria terkemuka". Ketika Guru Drona meletakkan burung kayu pada pohon, ia menyuruh muridnya satu-persatu untuk membidik burung tersebut, kemudian ia menanyakan kepada muridnya apa saja yang sudah mereka lihat. Banyak muridnya yang menjawab bahwa mereka melihat pohon, cabang, ranting, dan segala sesuatu yang dekat dengan burung tersebut, termasuk burung itu sendiri. Ketika tiba giliran Arjuna untuk membidik, Guru Drona menanyakan apa yang ia lihat. Arjuna menjawab bahwa ia hanya melihat burung saja, tidak melihat benda yang lainnya. Hal itu membuat Guru Drona kagum bahwa Arjuna sudah pintar.
Pada suatu hari, ketika Drona sedang mandi di sungai Gangga, seekor buaya datang mengigitnya. Drona dapat membebaskan dirinya dengan mudah, namun karena ia ingin menguji keberanian murid-muridnya, maka ia berteriak meminta tolong. Di antara murid-muridnya, hanya Arjuna yang datang memberi pertolongan. Dengan panahnya, ia membunuh buaya yang menggigit gurunya. Atas pengabdian Arjuna, Drona memberikan sebuah astra yang bernama "Brahmasirsa". Drona juga mengajarkan kepada Arjuna tentang cara memanggil dan menarik astra tersebut. Menurut Mahabharata, Brahmasirsa hanya dapat ditujukan kepada dewa, raksasa, setan jahat, dan makhluk sakti yang berbuat jahat, agar dampaknya tidak berbahaya.
Arjuna memiliki senjata sakti yang merupakan anugerah para dewata, hasil pertapaannya. Ia memiliki panah Pasupati yang digunakannya untuk mengalahkan Karna dalam Bharatayuddha. Busurnya bernama Gandiwa, pemberian Dewa Baruna ketika ia hendak membakar hutan Kandawa. Ia juga memiliki sebuah terompet kerang (sangkala) bernama Dewadatta, yang berarti "anugerah Dewa".

Arjuna dalam dunia pewayangan Jawa

Arjuna juga merupakan seorang tokoh ternama dalam dunia pewayangan dalam budaya Jawa Baru. Di bawah ini disajikan beberapa ciri khas yang mungkin berbeda dengan ciri khas Arjuna dalam kitab Mahābhārata versi India dengan bahasa Sansekerta.

Sifat dan kepribadian

Arjuna seorang kesatria yang gemar berkelana, bertapa dan berguru menuntut ilmu. Selain menjadi murid Resi Drona di Padepokan Sukalima, ia juga menjadi murid Resi Padmanaba dari Pertapaan Untarayana. Arjuna pernah menjadi brahmana di Goa Mintaraga, bergelar Bagawan Ciptaning. Ia dijadikan kesatria unggulan para dewa untuk membinasakan Prabu Niwatakawaca, raja raksasa dari negara Manimantaka. Atas jasanya itu, Arjuna dinobatkan sebagai raja di Kahyangan Dewa Indra, bergelar Prabu Karitin. dan mendapat anugrah pusaka-pusaka sakti dari para dewa, antara lain: Gendewa (dari Batara Indra), Panah Ardadadali (dari Batara Kuwera), Panah Cundamanik (dari Batara Narada).
Arjuna memiliki sifat cerdik dan pandai, pendiam, teliti, sopan-santun, berani dan suka melindungi yang lemah. Ia memimpin Kadipaten Madukara, dalam wilayah negara Amarta. Setelah perang Bharatayuddha, Arjuna menjadi raja di Negara Banakeling, bekas kerajaan Jayadrata. Akhir riwayat Arjuna diceritakan, ia moksa (mati sempurna) bersama keempat saudaranya yang lain di gunung Himalaya.
Ia adalah petarung tanpa tanding di medan laga, meski bertubuh ramping berparas rupawan sebagaimana seorang dara, berhati lembut meski berkemauan baja, kesatria dengan segudang istri dan kekasih meski mampu melakukan tapa yang paling berat, seorang kesatria dengan kesetiaan terhadap keluarga yang mendalam tapi kemudian mampu memaksa dirinya sendiri untuk membunuh saudara tirinya. Bagi generasi tua Jawa, dia adalah perwujudan lelaki seutuhnya. Sangat berbeda dengan Yudistira, dia sangat menikmati hidup di dunia. Petualangan cintanya senantiasa memukau orang Jawa, tetapi secara aneh dia sepenuhnya berbeda dengan Don Juan yang selalu mengejar wanita. Konon Arjuna begitu halus dan tampan sosoknya sehingga para puteri begitu, juga para dayang, akan segera menawarkan diri mereka. Merekalah yang mendapat kehormatan, bukan Arjuna. Ia sangat berbeda dengan Wrekudara. Dia menampilkan keanggunan tubuh dan kelembutan hati yang begitu dihargai oleh orang Jawa berbagai generasi.

Pusaka

Arjuna juga memiliki pusaka-pusaka sakti lainnya, atara lain: Keris Kiai Kalanadah diberikan pada Gatotkaca saat mempersunting Dewi Pergiwa (putera Arjuna), Panah Sangkali (dari Resi Drona), Panah Candranila, Panah Sirsha, Panah Kiai Sarotama, Panah Pasupati, Panah Naracabala, Panah Ardhadhedhali, Keris Kiai Baruna, Keris Pulanggeni (diberikan pada Abimanyu), Terompet Dewanata, Cupu berisi minyak Jayengkaton (pemberian Bagawan Wilawuk dari pertapaan Pringcendani) dan Kuda Ciptawilaha dengan Cambuk Kiai Pamuk. Sedangkan ajian yang dimiliki Arjuna antara lain: Panglimunan, Tunggengmaya, Sepiangin, Mayabumi, Pengasih dan Asmaragama. Arjuna juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu Kampuh atau Kain Limarsawo, Ikat Pinggang Limarkatanggi, Gelung Minangkara, Kalung Candrakanta dan Cincin Mustika Ampal (dahulunya milik Prabu Ekalaya, raja negara Paranggelung).

Istri dan keturunan

Dalam Mahabharata versi pewayangan Jawa, Arjuna mempunyai 15 orang istri dan 14 orang anak. Adapun istri dan anak-anaknya adalah:
79. BATARA KAMAJAYA
Batara Kamajaya adalah Dewa Cinta dan istrinya bernama Dewi Kamaratih. Batara Kamajaya sendiri putra dari Semar dan Dewi Sanggani Putri. Batara Kamajaya dan istri dalam masyarakat Jawa di simbolkan sebagai lambang kerukunan suami istri.
Pada acara mitoni atau tujuh bulan (kandungan istri berusia 7 bulan), kelapa muda yg hendak dipecahkan ayah calon bayi sering dilukiskan atau dituliskan nama Kamajaya. Sebagai wujud dari buah cinta.
80. DURMAGATI
Durmagati
Durmagati dalam versi pewayangan Jawa
Dalam wiracarita Mahabharata, Durmagati adalah seorang tokoh Korawa yang barangkali merupakan yang paling kocak apabila sedang dimainkan/dibawakan sifatnya oleh dalang.
Durmagati mempunyai badan yang lebih pendek dan gemuk dari kebanyakan saudara-saudaranya. Dengan ciri khas lehernya yang sangat pendek dan kepala seperti tertekan ke bawah sehingga wajahnya menengadah ke atas.
Bicaranya bindeng (seperti orang pilek, tidak jelas) dan kata-katanya justru selalu menyudutkan Sangkuni yang selalu mempengaruhi korawa untuk memusnahkan Pandawa. Jadi sebenarnya ia tahu bahwa pihak Korawa bersalah karena hasutan-hasutan licik Sangkuni. Namun semua kata-katanya diucapkan dengan gayanya yang kocak sehingga tidak dianggap serius oleh Sangkuni.
81. SANG HYANG TUNGGAL
Sang Hyang Tunggal adalah ayah dari Batara Ismaya (Semar), Batara Antaga (Togog) dan Batara Manikmaya (Guru). Pada episode Dewa Ruci, dia muncul sebagai Dewa Ruci dan bertemu Bima di dasar Laut Selatan. Bentuk wayangnya (dalam wayang kulit) termasuk kecil, seukuran wayang kulit tokoh-tokoh perempuan. Tokoh ini jarang dimainkan dalam pertunjukkan wayang kulit, karena episode yang memunculkannya memang sangat sedikit. Konon tidak sembarang dalang berani memainkan tokoh ini. Sang Hyang Tunggal adalah anak dari Sang Hyang Wenang. Kisah mistis perjalanan batin yang dialami oleh Bima sehingga bertemu dengan Sang Hyang Tunggal dalam Dewa Ruci sangat baik untuk diambil pelajarannya.
82.  ANTAREJA
Dalam Mahabharata, Antareja adalah anak dari Werkodara atau Bima dari istri keduanya Nagagini seorang putri Dewa Antaboga. Dikisahkan dia adalah seorang ksatria yang tangguh, sakti mandraguna. Ia mempunyai dua orang saudara lelaki lain ibu, bernama Raden Gatotkaca, putra Bima dengan Dewi Arimbi, dan Arya Anantasena, putra Bima dengan Dewi Urangayu. Sejak kecil Anatareja tinggal bersama ibu dan kakeknya di Saptapatala (dasar bumi). Ia memiliki Ajian Upasanta pemberian Hyang Anantaboga. Lidahnya sangat sakti, mahluk apapun yang dijilat telapak kakinya akan menemui kematian. Anatareja berkulit napakawaca, sehingga kebal terhadap senjata. Ia juga memiliki cincin Mustikabumi, pemberian ibunya, yang mempunyai kesaktian, menjauhkan dari kematian selama masih menyentuh bumi maupun tanah, dan dapat digunakan untuk menghidupkan kembali kematian di luar takdir. Kesaktian lain Anantareja dapat hidup dan berjalan didalam bumi.
Anantareja memiliki sifat jujur, pendiam, sangat berbakti pada yang lebih tua dan sayang kepada yang muda, rela berkorban dan besar kepercayaanya kepada Sang Maha Pencipta. Ia menikah dengan Dewi Ganggi, putri Prabu Ganggapranawa, raja ular di Tawingnarmada, dan berputra Arya Danurwenda.Setelah dewasa Anantareja menjadi raja di negara Jangkarbumi bergelar Prabu Nagabaginda. Ia meninggal menjelang perang Bharatayuddha atas perintah Prabu Kresna dengan cara menjilat telapak kakinya sebagai tawur (korban untuk kemenangan) keluarga Pandawa dalam perang Bharatayuddha.
83. BILUNG
Bilung adalah seorang raksasa kecil yang berteman dengan para punakawan, dia adalah sahabat dari Togog dan kemana mana selalu berdua. Bilung digambarkan sebagai tokoh dari luar jawa yaitu melayu. Bilung sering kali menggunakan bahasa campuran jawa & melayu. Setiap bertemu dengan Petruk selalu menantang berkelahi & mengeluarkan suara kukuruyuk seperti ayam jago. Tapi sekali dipukul oleh petruk dia langsung kalah & menangis.dalam beberapa cerita wayang, bilung yang punya nama lain Tokun ini terkadang Bilung berperan menjadi Punakawan yang memihak musuh. biasanya Bilung akan memberi masukan yang baik kepada majikannya . tetapi bila masukannya tidak didengarkan oleh majikannya , dia akan berbalik memberi berbagai masukan yang buruk.
84. DURSALA
Dursala (alias Dushala, atau Dussala, dll) adalah nama adik perempuan Duryodana dalam kisah wiracarita India, Mahabharata. Ia satu-satunya Korawa yang berjenis kelamin wanita. Ia menikahi Jayadrata, Raja Kerajaan Sindhu dan Kerajaan Sauwira. Jayadrata dibunuh oleh Arjuna saat perang di Kurukshetra. Dursala memiliki seorang putera bernama Suratha. Cucunya bertarung dengan Arjuna, ketika ia mengunjungi Kerajaan Sindhu setelah perang di Kurukshetra, untuk mengumpulkan upeti demi mendukung upacara Aswameddha yang diselenggarakan Yudistira.

Dursala dalam pewayangan Jawa

Dalam budaya pewayangan Jawa, Dursala juga disebut Dursilawati. Ia satu-satunya Korawa yang berjenis kelamin wanita. Dalam pewayang Jawa, ia memiliki sifat buruk, yaitu sangat menyukai lelaki suami orang dan suka menggoda. Bahkan ia pernah menggoda Arjuna, Pandawa yang paling tampan.
85. RUKMI
Dalam dunia pewayangan di Jawa, Rukmi disebut Arya Prabu Rukma. Ia dianggap sebagai putera Prabu Basukunti, raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Dayita, puteri Prabu Kunti, raja negara Boja. Ia mempunyai tiga orang saudara kandung bernama Arya Basudewa, Dewi Kunti alias Dewi Prita, dan Arya Ugrasena.
Arya Prabu Rukma menikah dengan Dewi Rumbini, putera Prabu Rumbaka, raja negara Kumbina. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putera bernama Dewi Rukmini dan Arya Rukmana. Secara tidak resmi Arya Prabu Rukma juga mengawini Ken Sagupi, swaraswati di keraton Mandura, dan mempunyai seorang puteri bernama Ken Rarasati alias Dewi Larasati.
Arya Prabu Rukma mempunyai sifat berani, cerdik pandai, trengginas, mahir mempergunakan senjata panah dan ahli strategi perang. Ia menjadi raja negara Kumbina menggantikan mertuanya, Prabu Rumbaka, dan bergelar Prabu Bismaka, Prabu Wasukunti atau Prabu Hirayana. Dalam akhir riwayatnya diceritakan bahwa Prabu Bismaka (gelar Arya Prabu Rukma) gugur di medan perang melawan Prabu Bomanarakasura, raja negara Surateleng atau Trajutisna.
86. BALADEWA
Baladewa adalah saudara Prabu Kresna. Prabu Baladewa yang waktu mudanya bernama Kakrasana, adalah putra Prabu Basudewa, raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Mahendra atau Maekah. Ia lahir kembar bersama adiknya, Narayana dan mempunyai adik lain ibu bernama Dewi Sumbadra atau Dewi Lara Ireng, putri Prabu Basudewa dengan permaisuri Dewi Badrahini. Baladewa juga mempunyai saudara lain ibu bernama Arya Udawa, putra Prabu Basudewa dengan Ken Sagupi, seorang swarawati keraton Mandura. Prabu Baladewa yang mudanya pernah menjadi pendeta di pertapaan Argasonya bergelar Wasi Jaladara, menikah dengan Dewi Erawati, putri Prabu Salya dengan Dewi Setyawati atau Pujawati dari negara Mandaraka. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra bernama Wisata dan Wimuka.
Baladewa berwatak keras hati, mudah naik darah tapi pemaaf dan arif bijaksana. Ia sangat mahir dalam olah keterampilan mempergunakan gada, hingga Bima dan Duryodana berguru kepadanya. Baladewa mempunyai dua pusaka sakti, yaitu Nangggala dan Alugara, keduanya pemberian Bathara Brahma. Ia juga mempunyai kendaraan gajah bernama Kyai Puspadenta. Dalam banyak hal prabu Baladewa adalah lawan daripada prabu Kresna. Kresna berwarna hitam sedangkan Baladewa berkulit putih.
Pada perang Bharatayuddha sebenarnya prabu Baladewa memihak para Korawa, tetapi berkat siasat Kresna, beliau tidak ikut dan malahan bertapa di Grojogan Sewu (Grojogan = Air Terjun, Sewu = Seribu) dengan tujuan agar apabila terjadi perang Bharatayuda Baladewa tidak dapat mendengarnya karena tertutup suara gemuruh air terjun selain itu dijanjikan oleh Kresna akan dibangunkan ketika nanti Bharatayuda terjadi, padahal keesokan harinya setelah bertapa di Grojogan Sewu terjadilah perang Bharatayuda. Jika tidak pasti para Pandawa kalah, karena prabu Baladewa sangatlah sakti.
Baladewa ada yang mengatakan sebgai titisan daripada naga sementara yang lainya meyakini sebagai titisan Sanghyang Basuki , Dewa keselamatan. Ia berumur sangat panjang. Setelah selesai perang Bharatayudha, Prabu Baladewa menjadi pamong dan penasehat Prabu Parikesit, raja negara Astina setelah Prabu Kalimataya atau Prabu Puntadewa, dengan gelar Resi Balarama. Ia mati moksa setelah punahnya seluruh Wangsa Wresni.
87. BATARA DURGA
Durga atau Durgā (Dewanagari) adalah sakti (=istri) Siwa. Dalam agama Hindu, Dewi Durga (Betari Durga) adalah ibu dari Dewa Ganesa dan Dewa Kumara (Kartikeya). Saat Hanoman menghadap Batara Guru untuk diakui sebagai putranya, Batara Narada tertawa sambil menyindir Batara Guru. Batara Guru yang merasa disindir kemudian mengambil daun nila (sawo kecik) dan dilempar ke punggung Batara Narada. Daun nila tersebut menjadi seekor kera berbadan pendek dan berbulu biru tua yang menempel di punggung Batara Narada. Saat itu Batara Narada yang sangat benci terhadap kera meminta ampun kepada Batara Guru agar kera tersebut lepas dari punggungnya. Kemudian Batara Guru memberi tahu cara melepaskan kera itu dari punggung Batara Narada, yaitu dengan mengakui kera tersebut menjadi anaknya. Akhirnya Batara Narada mau mengakui kera tersebut sebagai putranya.
Beliau kadangkala disebut Uma atau Parwati. Dewi Durga biasanya digambarkan sebagai seorang wanita cantik berkulit kuning yang mengendarai seekor harimau. Beliau memiliki banyak tangan dan memegang banyak tangan dengan posisi mudra, gerak tangan yang sakral yang biasanya dilakukan oleh para pendeta Hindu.
Di Nusantara, Dewi ini cukup dikenal pula. Candi Prambanan di Jawa Tengah, misalkan juga dipersembahkan kepada Dewi ini.Dalam bahasa Sansekerta, durga berarti "yang tidak bisa dimasuki" atau "terpencil".

88. BISMA
Bisma terlahir sebagai Dewabrata adalah salah satu tokoh utama dalam Mahabharata. Ia merupakan putera dari pasangan Prabu Santanu dan Satyawati. Ia juga merupakan kakek dari Pandawa maupun Korawa. Semasa muda ia bernama Dewabrata, namun berganti menjadi Bisma semenjak ia bersumpah bahwa tidak akan menikah seumur hidup. Bisma ahli dalam segala modus peperangan dan sangat disegani oleh Pandawa dan Korawa. Ia gugur dalam sebuah pertempuran besar di Kurukshetra oleh panah dahsyat yang dilepaskan oleh Srikandi dengan bantuan Arjuna. namun ia tidak meninggal pada saat itu juga. Ia sempat hidup selama beberapa hari dan menyaksikan kehancuran para Korawa. Ia menghembuskan nafas terkahirnya saat garis balik matahari berada di utara (Uttarayana).

Bisma dalam pewayangan Jawa

Bisma dalam versi pewayangan JawaAntara Bisma dalam kitab Mahabharata dan pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan, namun tidak terlalu besar karena inti ceritanya sama. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain disebabkan oleh proses Jawanisasi, yaitu membuat kisah wiracarita dari India bagaikan terjadi di pulau Jawa.
Bisma adalah anak Prabu Santanu, Raja Astina dengan Dewi Gangga alias Dewi Jahnawi (dalam versi Jawa). Waktu kecil bernama Raden Dewabrata yang berarti keturunan Bharata yang luhur. Ia juga mempunyai nama lain Ganggadata. Dia adalah salah satu tokoh wayang yang tidak menikah yang disebut dengan istilah Brahmacarin. Berkediaman di pertapaan Talkanda. Bisma dalam tokoh perwayangan digambarkan seorang yang sakti, dimana sebenarnya ia berhak atas tahta Astina akan tetapi karena keinginan yang luhur dari dirinya demi menghindari perpecahan dalam negara Astina ia rela tidak menjadi raja.
Resi Bisma sangat sakti mandraguna dan banyak yang bertekuk lutut kepadanya. Ia mengikuti sayembara untuk mendapatkan putri bagi Raja Hastina dan memboyong 3 Dewi. Salah satu putri yang dimenangkannya adalah Dewi Amba dan Dewi Amba ternyata mencintai Bisma. Bisma tidak bisa menerima cinta Dewi Amba karena dia hanya wakil untuk mendapatkan Dewi Amba. Namun Dewi Amba tetap berkeras hanya mau menikah dengan Bisma. Bisma pun menakut-nakuti Dewi Amba dengan senjata saktinya yang justru tidak sengaja membunuh Dewi Amba. Dewi Amba yang sedang sekarat dipeluk oleh Bisma sambil menyatakan bahwa sesungguhnya dirinya juga mencintai Dewi Amba. Setelah roh Dewi Amba keluar dari jasadnya kemudian mengatakan bahwa dia akan menjemput Bisma suatu saat agar bisa bersama di alam lain dan Bisma pun menyangupinya. Diceritakan roh Dewi Amba menitis kepada Srikandi yang akan membunuh Bisma dalam perang Bharatayuddha.
Dikisahkan, saat ia lahir, ibunya moksa ke alam baka meninggalkan Dewabrata yang masih bayi. Ayahnya prabu Santanu kemudian mencari wanita yang bersedia menyusui Dewabrata hingga ke negara Wirata bertemu dengan Dewi Durgandini atau Dewi Satyawati, istri Parasara yang telah berputra Resi Wyasa. Setelah Durgandini bercerai, ia dijadikan permaisuri Prabu Santanu dan melahirkan Citrānggada dan Wicitrawirya, yang menjadi saudara Bisma seayah lain ibu.
Setelah menikahkan Citrānggada dan Wicitrawirya, Prabu Santanu turun tahta menjadi pertapa, dan digantikan anaknya. Sayang kedua anaknya kemudian meninggal secara berurutan, sehingga tahta kerajaan Astina dan janda Citrānggada dan Wicitrawirya diserahkan pada Wyasa, putra Durgandini dari suami pertama. Wyasa-lah yang kemudian menurunkan Pandu dan Dretarata, orangtua Pandawa dan Kurawa.
Demi janjinya membela Astina, Bisma berpihak pada Korawa dan mati terbunuh oleh Srikandi di perang Bharatayuddha. Bisma memiliki kesaktian tertentu, yaitu ia bisa menentukan waktu kematiannya sendiri. Maka ketika sudah sekarat terkena panah, ia minta sebuah tempat untuk berbaring. Korawa memberinya tempat pembaringan mewah namun ditolaknya, akhirnya Pandawa memberikan ujung panah sebagai alas tidurnya (kasur panah) (sarpatala). Tetapi ia belum ingin meninggal, ingin melihat akhir daripada perang Bharatayuddha.
89. BASUDEWA
Prabu Basudewa muncul dalam dunia pewayangan sebagai putra sulung Prabu Basukunti (dalam pewayangan Jawa) Raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Dayita, putri Prabu Kunti, raja Boja. Ia mempunyai tiga orang saudara kandung masing-masing bernama Dewi Prita alias Dewi Kunti, Arya Prabu Rukma dan Arya Ugrasena.. Prabu Basudewa mempunyai tiga orang isteri atau permaisuri dan empat orang putra. Dengan permaisuri Dewi Mahira alias Maerah (dalam pewayangan Jawa) ia berputra Kangsa. Kangsa sebenaranya putra Prabu Gorawangsa, raja raksasa negara Gowabarong yang dengan beralih rupa menjadi Prabu Basudewa palsu dan berhasil mengadakan hubungan asmara dengan Dewi Mahira.
Dengan permaisuri Dewi Mahindra alias Maerah (dalam pewayangan Jawa), Prabu Basudewa memperoleh dua orang putra bernama Kakrasana alias Baladewa dan Narayana alias Kresna. Sedangkan dengan permaisuri Dewi Badrahini ia berputra Dewi Wara Sumbadra alias Dewi Lara Ireng. Secara tidak resmi, Prabu Basudewa juga mengawini Ken Sagupi, swaraswati Keraton Mandura, dan memperoleh seorang putra bernama Arya Udawa.
Prabu Basudewa sangat sayang kepada keluarganya. Ia pandai olah keprajuritan dan mahir memainkan senjata panah dan lembing. Setelah usia lanjut, ia menyerahkan Kerajaan Mandura kepada putranya, Kakrasana, dan hidup sebagai pendeta di Pertapaan Randugumbala. Prabu Basudewa meninggal saat negara Mandura digempur Prabu Sitija alias Bomanarakasura, Raja Negara Surateleng

90. SALYA
Salya
Prabu Salya dalam pewayangan Jawa
Prabu Salya dalam pewayangan Jawa
Salya merupakan kakak Madri, yaitu ibu Nakula dan Sadewa, dalam wiracarita Mahabharata. Salya pemimpin Madra-desa atau Kerajaan Madra. Ia merupakan paman Nakula dan Sadewa dari keluarga ibunya dan dicintai serta disayangi oleh para Pandawa. Salya merupakan pemanah mahir serta ksatria yang sangat tangguh. Dalam pertempuran akbar di Kurukshetra, ia memihak Korawa. Ia terbunuh pada hari kedelapan belas oleh Yudistira, salah satu keponakannya.

Salya dalam pewayangan Jawa

Prabu Salya ketika mudanya bernama Narasoma, adalah putera Prabu Mandrapati, raja Negara Mandaraka dari permaisuri Dewi Tejawati. Prabu Salya adalah saudara kandung bernama Dewi Madrim yang kemudian menjadi isteri kedua Prabu Pandu, raja negara Astina.
Prabu Salya menikah dengan Dewi Pujawati alias Dewi Setyawati. Putri tunggal Bagawan Bagaspati, brahmana-raksasa di pertapan Argabelah, dengan Dewi Darmastuti, seorang hapsari atau bidadari. Dari perkawinan tersebut, ia dikaruniai lima orang putra, yaitu: Dewi Erawati, Dewi Surtikanti, Dewi Banowati, Arya Burisrawa dan Bambang Rukmarata.
Prabu Salya mempunyai sifat tinggi hati, sombong, congkak, banyak bicara, cerdik dan pandai. Ia sangat sakti, lebih-lebih setelah mendapat warisan Aji Candrabirawa dari mendiang mertuanya, Bagawan Bagaspati yang mati dibunuh olehnya.
Prabu Salya naik tahta kerajaan Mandaraka menggantikan ayahnya, Prabu Mandrapati yang meninggal bunuh diri. Pada perang Bharatayuddha, Salya memihak Korawa dan menjadi pemimpin pasukan setelah Karna. Akhir riwayatnya diceritakan, Prabu Salya gugur di medan pertempuran Bharatayudha oleh Prabu Yudhistira alias Prabu Puntadewa dengan pusaka Jamus Kalimasada.
91. TREMBOKO
Prabu Tremboko utawa Arimbaka iku ratu buta gedhe ing Pringgadani. Klebu ratu sing sugih. Saliyane sugih bala, sugih bandha, putrane uga akeh. Garwane aran Dewi Hadimbi. Putrane pitu, yaiku Arimba, Arimbi, Brajadenta, Brajamusthi, Brajawikalpa, Brajalamatan utawa Prabakesa, lan Kala Bendana. Arimbi iku ibune Gatotkaca, dadi Prabu Tremboko iku isih keprenah embahe satriya Pringgadani kuwi.
            Prabu Tremboko klebu buta sing becik. Mula, ingaku kadang lan dadi siswane Prabu Pandhu Dewanata ing Astina. Ing crita- crita padhalangan, disebutake yen siswane Prabu Pandhu iku telu, yaiku Prabu Tremboko, siswa sing tuwa; Raden Sucitra sing tembene dadi Prabu Drupada, ratu ing Pancala; lan Raden Gandamana, patihe Sang Prabu Pandhu piyambak. Kadidene siswa sing tuwa dhewe, Prabu Tremboko wis dilintiri aji- aji aran brajadenta- brajamusthi. Jenenge aji- aji iku uga didadekake jenenge anak- anake.

92. TRIGANTALPATI
Raden Trigantalpati iya Harya Suman iku nom- nomane Patih Sengkuni. Satriya mbranyak, putrane Prabu Keswara utawa Prabu suwala kang uga jejuluk Prabu Supala, ratu ing negara Gendara. Mula, uga sinebut Raden Suwalaputra. Putrane Prabu Suwala iku kacarita ana lima, yakuwi Dewi Gendari, Harya Gandarya, Trigantalpati, Sarabasanta, lan Harya Gajaksa.
            Bareng ana ing Astina Trigantalpati bisa cinaket ing ratu, amarga mbakyune, Dewi Gendari kagarwa Adipati Dhestharastra, kadang sepuhe Prabu Pandhudewanata. Nadyan ckrak- bagus, watake culika. Tembene kondhang dadi paraga sing mahajuling, drengki, srei, jail methakil. Murang kautaman lan dhemen laku cidra. Wicarane landhep, dhemen mitnah wong liya kanggo kamulyan pribadine dhewe.
93. BATARA DHARMA
Paraga wayang siji iki pancen arang kecrita ing pakeliran. Batara Dharma sejatine duwe jejibahan kang penting banget amarga dadi dewaning keadilan. Miturut Mahabarata, dewa iki putrane Batara Atri, isih wayahe Batara Brama. Garwane cacahe ana sepuluh, kabeh putrane Sang Hyang Daksa, ananging putrane saka garwa sepuluh mau ora tau kocap. Kejaba putra saka garwa sepuluh kuwi, Yudhistira, pambarepe Pandhawa sejatine uga “putrane” Bathara Dharma.
            Amarga Dewi Kunthi, nalika mateg aji Adityahredaya, Batara Darma tedhak ing ngarcapada lan sapatemon karo Dewi Kunthi kang banjuri nggarbini bayi Yudhistira. Mula praupane Yudhistira iku iya memper Bathara Darma. Malah ora mung praupane thok., sipat- sipat lan watege Batara Darma kang tansah njunjung keadilan uga tumurun marang Yudhistira.

95. DIRGABAHU
            Ditya Kala Dirgabahu kang uga sinebut Kala Yojanabahu iku sawijining raseksa kang mbaureksa alas reksamuka. Wujude buta gedhe, awake biru semu klawu. Mripate kaya srengenge kembar, irunge bunder, untune gedhe- gedhe, siyunge mingis- mingis. Rambute krembyah- krembyah tekan gigir, saperangan tumumpang pundhak kiwa lan tengen. Tangan (bahu)- ne kiwa tengen dawa- dawa, ujaring caritane yen di ulur kepara bisa nganti pirang- pirang atus dhepa dawane.
            Yen golek pangan, kacarita iya mung cukup kanthi ngulur tangane. Tangane kang bisa modot iku, bisa molor dhewe mburu mangsane, kaya- kaya tangan iku ana mripate. Mula, para buron alas kang adoh- adoh pisan, uga bisa disut tanpa ndadak nganggo marani.

96. BATARA PANYARIKAN
            Batara Panyarikan iku putrane Bathara Guru, nanging arang- arang kasebut ana ing sil- siliah. Sebutan liyane yaiku Bathara Srita. Kahyangane ana ing Pringsurat. Pakaryane dewa siji iki dadi jurutulis kadewatan, selaras karo kabisane sing kondhang becik tulisane, pinter ngrakit basa, lan cukat trengginas.
            Wayang Batara Panyarikan yen manut tradhisi wayang gaya Jogja awujud wayang bambangan, sikil jangkahan, kanthi rai mbranyak pasemone. Netrane liyepan (gabahan), granane mbangir. Kaya akeh-akehe wayang dewa, tutuping sirahe mawa kethu oncit, utawa kethu keyongan. Saliyane iku ngagem sampir.  

97. BAMBANG SRIGATI
            Bambang Srigati putra nata Medhangkamulan, Prabu Setmata, wiwit cilik malah mung melu biyunge, Dewi Srijati ing padhepokan Krendhayana, ing sangisore wit ringin jalar pitu, urup prasaja nganti ngancik diwasa. Lagi bisa kepethuk karo ramane nalika Prabu Setmata sing satemene pangejawantahe Bathara Wisnu iku lengser keprabon gara- gara kena sikudhendhane jawata, banjur madeg pandhita. Lelakone Bambang Srigati iki ana sambung- rakete karo paraga Prabu Watugunung nata ing Gilingwesi sing kondhang, sing critane werna- werna kae.

98. BUTA TERONG
Buta iku tegese raseksa, dene terong tegese ya who terong kae. Mula sinebut Buta Terong jalaran irunge bunder kaya terong. Sanajan ana Buta Terong, nanging ing pakeliran ora ana raseksa sing jenenge Buta Tomat, Buta Timun utawa buta who liyane. Embuh yen kapan- kapan kono ana kadang seniman sing gawe wayang buta saliyane Buta Terong kayata Buta Kluwih, Buta Nangka, Buta Waluh, lan sapiturute.
Buta Terong iku ana ing pagelaran wayang purwa metune lumrahe bebarengan karo buta- buta bala negara sabrangan liyane kayadene Buta Cakil, Rambutgeni, Pedhutsegara, Padhasgempal, Galiyuk. Buta- buta mau biasane barisane ketemu karo lakune satriya, sing banjur dadi perang kembang.

99. DEWABRATA
Dewabrata iku nom- nomane Resi Bisma, Putrane Prabu Sentanu, raja Astina karo Dewi Gangga. Sawise linairake, bayi Dewabrata nganti mangsa remaja diemong dening keng ibu Dewi Gangga. Ginulang ing sawernaning ulah kasantikan lan kanuragan nganti dadi sawijining satriya sing banget sekti mandraguna. Dewabrata tembene dadi Resi Bisma, paraga sing banget kondhang kaloka.

100. JAMBUMANGLI
            Nalika iku Alengka diperintah Ratu Yaksa Prabu sumali. Nadyan buta, Sang Prabu kuwi Ratu wicaksana, ditresnani kawulane. Semono uga putra- putrine Sang Prabu kang mbarep, Dewi sukesi, ora wujud buta, nanging Putri Silistya. Akeh satriya lan Ratu Mudha kang kapencut marang kasulistyane Sang Dewi.
            Alengka nduwe senopati sekti mandraguna aran Arya Jambumangli. Isih kapernah ponakane prabu Sumali. Jambumangli kuwi putrane Prabu Anom Maliawan, kadang timure Prabu Sumali. Kasektene wis kawentar ig endi- endi, ndadekake girise para Ratu lan Senopati.

101. RESI SUKRA
Wis suwe para sura karo golongan asura padha memungsuhan. Para Sura kuwi kalebu para Dewa, Widadari, lan Hapsara, dene Asura kayata Buta, Raseksa, lan Danawa.
Nanging nadyan Dewa iku linuwih dibandingake manungsa lumrah, yen perang lumawan para Asura sering kasuran. Sebabe para asura nduwe agul- agul, ya kuwi Resi Sukra.
            Resi Sukra putrane maha Resi Bhregu kang dadi paran- parane Prabu Wresaparwan, Ratune para asura. Sang Resi nduwe aji- aji sanjiwani, kang dayane bisa nguripake wong kang wis mati. Dadi nadyan pira wae Asura kang mati ing paprangan, bisa di uripake maneh, saengga prasasat wadya Asura ora tau ora kalong.
.

102. PRABU SENGKANTURUNAN
            Prabu Sengkanturunan kagungan garwa Pramiswari, uga sawijining widadari aran Dewi Reknawati, lan peputra Kenya kang sulistya peparab dewi Jathawati. Nanging nyatane Sang Nata panggah rumangsa during marem yen during bisa nggarwa Dewi Ngruna lan Ngruni. Nalika kekarepan iku diandharake marang para pini sepuh nagara, kabeh pada ora nyarujuki. Sebabe, Dewi Ngruna lan Ngruni wis diparengake dening Sang Hyang Girinata kagarwa Bathara Surya, Dewane rahina ing kahyangan Ekacakra

103. BUMILOKA
            Sasedane Prabu Niwatakawaca, negara Manimantaka nganti Sawatara lawase ora duwe ratu. Swargi Sang Prabu iku ninggal putra telu, yakuwi bumiloka, Bumisengara, lan kang ragil putrid, dewi Mustakaweni.
            Bumiloka lan Bumisengara awujud buta, nanging Mustakaweni pinaringan rupa elok, nurun ibune, dewi Prabasini, widadari garwane Prabu Niwatakawaca. Tetelune nurun Niwatakawaca, sekti mandraguna, linuwih ing babagan kaprajuritan.
            Saka tetimbangan tetuwa animataka, nuli disajuruki kang nglenggahi dhampar kedhaton Raden Bumiloka. Dene Bumisengsara jumeneng nata ing Paranggumiwang. Sawise Bumiloka jumeneng nata, nagara Manimataka bali tentrem ayem.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar