BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara (Sagala, 2010: 3).
Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang didalamnya memuat materi yang
menyangkut aspek- aspek kehidupan manusia sehari- hari. Aspek tersebut mengkaji
seperangkat peristiwa, fakta, konsep dan generalisasi yang berkaitan dengan isu
sosial. Melalui mata pelajaran IPS, siswa
diarahkan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia yang demokratis,
bertanggung jawab, serta warga negara yang cinta damai. Untuk mewujudkan hal
tersebut perlu adanya penanaman dan penguasaan materi IPS dengan baik sejak
dini, yaitu dari Sekolah Dasar (SD). Hal ini bertujuan agar siswa mampu
mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan untuk menyelesaikan
masalah sosial yang terjadi dikehidupan siswa, sesuai dengan kemampuan
belajarnya.
|
Selama
ini pembelajaran IPS dianggap sebagai pelajaran yang sulit, kurang penting, dan
membosankan. Hal ini disebabkan karena mata pelajaran IPS sebagian besar materi
hanya menekankan pada aspek kognitif dan kurangnya penekanan pada
aspek afektif dan psikomotor. Untuk menyeimbangkan aspek-aspek tersebut guru
menerapkan beberapa cara yang sekiranya mampu untuk mengatasi kesulitan
penyampaian pembelajaran pada mata pelajaran IPS. Salah satu cara yaitu
penerapan pembelajaran berbasis kearifan lokal.
Puguh dalam http://staff.undip.ac.id/sastra/dhanang/ menyatakan bahwa kearifan
lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi
kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam
menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Istilah ini dalam
bahasa Inggris dikonsepsikan sebagai local wisdom/local knowledge /local genious yang artinya kebijakan
setempat/pengetahuan
setempat/kecerdasan setempat.
Sistem pemenuhan kebutuhan mereka meliputi seluruh unsur kehidupan agama, ilmu
pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi,
serta kesenian.
Kearifan
lingkungan atau kearifan lokal masyarakat sudah ada di dalam kehidupan masyarakat
semenjak zaman dahulu mulai dari zaman prasejarah hingga saat ini, kearifan
lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan
lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat
istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat Wietoler dalam Akbar
(2006) yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas
masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya, perilaku ini
berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara
turun-temurun. Secara umum, budaya lokal atau
budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang
unsur-unsurnya adalah budaya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah itu. Dalam
pelaksanaan pembangunanan
berkelanjutan oleh adanya kemajuan teknologi membuat orang lupa akan pentingnya
tradisi atau kebudayaan masyarakat dalam mengelola lingkungan, seringkali
budaya lokal dianggap sesuatu yang sudah ketinggalan di abad sekarang ini,
sehingga perencanaan pembangunan seringkali tidak melibatkan masyarakat.
Pembelajaran
akan lebih bermakna
adalah pembelajaran yang
menempatkan siswa sebagai pusat pembelajaran student centered daripada teacher
centered. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Suparno (dalam Darlia 2010: 2) bahwa belajar bukan sekedar kegiatan
pasif menerima materi dari guru, melainkan proses aktif menggali pengalaman
lama, mencari dan menemukan pengalaman baru serta mengasimilasi dan
menghubungkan antara keduanya sehingga membentuk makna. Makna tercipta dari apa
yang siswa lihat, dengar, rasakan, dan alami. Untuk guru, mengajar adalah
kegiatan memfasilitasi siswa dalam mengkonstruksi
sendiri pengetahuannya lewat keterlibatannya dalam kegiatan pembelajaran.
Dengan kata lain, sebagian besar waktu proses pembelajaran berlangsung dengan
berbasis pada aktivitas siswa.
Guru
selalu berusaha agar kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan dapat dilakukan dengan cara yang efektif dan efisien. Guru juga
berperan penting dalam perancang strategi pembelajaran. Guru yang professional
hendaknya merancang pembelajaran yang aktif, kreatif, afektif, dan menarik.
Indikator guru yang professional sebagai perancang pembelajaran, yaitu: (1)
menguasai kurikulum dan perangkat pembelajaran, maksudnya guru harus tanggap dalam
penguasaan kurikulum dan perangat pembelajarannya, (2) menguasai materi, (3)
menguasai berbagai macam metode, dan (4) mampu mengelola pembelajaran.
Kemampuan
tersebut kurang dipahami oleh guru, sehingga mata pelajaran IPS yang
kelihatannya mudah tetapi nilai hasil belajarnya kurang memuaskan. Hal ini
menuntut guru untuk kreatif dalam menentukan strategi pengelolaan pembelajaran
dengan menetapkan model pembelajaran yang efektif dalam mencapai tujuan
pembelajaran.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah
sebagai berikut.
1.
Apa
pengertian pembelajaran berbasis kearifan lokal?
2.
Apa landasan
dari pembelajaran berbasis kearifan lokal?
3.
Bagaimana penerapan
pendidikan karakter melalui pembelajaran berbasis kearifan lokal?
C.
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan
pada rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan dalam makalah ini adalah
sebagai berikut.
1.
Untuk
mengetahui pengertian pembelajaran berbasis kearifan lokal?
2.
Untuk
mengetahui landasan dari pembelajaran berbasis kearifan lokal?
3.
Untuk
mengetahui penerapan pendidikan karakter melalui pembelajaran berbasis kearifan
lokal?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pembelajaran
Berbasis Kearifan Lokal
Kearifan
lokal berasal dari dua kata yaitu kearifan (wisdom),
dan lokal (local). Secara umum maka local wisdom (kearifan
setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang
bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti
oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya
masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal
merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan
pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di
dalamnya dianggap sangat universal. (http://filsafat.ugm.ac.id).
Kearifan
lingkungan atau kearifan lokal masyarakat sudah ada di dalam kehidupan
masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman prasejarah hingga saat ini,
kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan
alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama,
adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat Wietoler dalam Akbar
(2006) yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas
masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya,
|
Pemaknaan
terhadap kearifan lokal dalam dunia pendidikan masih sangat kurang. Ada istilah
muatan lokal dalam struktur kurikulum pendidikan, tetapi pemaknaannya sangat
formal karena muatan lokal kurang mengeksporasi kearifan lokal. Muatan lokal
hanya sebatas bahasa daerah dan tari daerah yang diajarkan kepada siswa. Tantangan
dunia pendidikan sangatlah kompleks. Apalagi jika dikaitkan dengan kemajuan
global di bidang sains
dan teknologi, nilai-nilai lokal mulai memudar dan ditinggalkan. Karena itu
eksplorasi terhadap kekayaan luhur budaya bangsa sangat perlu untuk dilakukan.
Kearifan
lokal sesungguhnya mengandung
banyak sekali keteladanan dan kebijaksanaan hidup. Pentingnya kearifan lokal
dalam pendidikan kita secara luas
adalah bagian dari upaya meningkatkan ketahanan nasional kita sebagai sebuah
bangsa. Budaya nusantara yang plural dan dinamis merupakan sumber kearifan
lokal yang tidak
akan mati, karena semuanya merupakan kenyataan hidup
(living reality) yang tidak dapat dihindari.
B.
Pendidikan
Karakter
Pendidikan
karakter disebutkan sebagai pendidikan nilai,
pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang
bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan
baik-buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam
kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Atas dasar itu, pendidikan karakter
bukan sekedar mengajarkan sesuatu yang benar dan yang salah tetapi pendidikan
karakter juga menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik
sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan
salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor).
Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan bukan saja aspek
“pengetahuan yang baik (moral knowing), akan tetapi juga “merasakan
dengan baik atau loving good (moral feeling), dan perilaku yang
baik (moral action).
Pendidikan
karakter menekankan pada habit atau kebiasaan yang terus-menerus
dipraktikkan dan dilakukan. Pendidikan karakter pada intinya bertujuan
membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral,
bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis,
berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan
takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila. Pendidikan karakter
berfungsi (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik,
dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur;
(3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia. Pendidikan
karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan
pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan
media massa.
Satuan
pendidikan sebenarnya selama ini sudah mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai
pembentuk karakter melalui program operasional satuan pendidikan masing-masing.
Hal ini merupakan prakondisi pendidikan karakter pada satuan pendidikan yang
untuk selanjutnya pada saat ini diperkuat dengan 18 nilai hasil kajian empirik
Pusat Kurikulum. Nilai prakondisi (the existing values) yang dimaksud
antara lain takwa, bersih, rapi, nyaman, dan santun. Dalam rangka lebih
memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah teridentifikasi 18 nilai yang
bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu:
(1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6)
Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat
Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13)
Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli
Lingkungan, (17) Peduli Sosial, & (18) Tanggung Jawab. Kemendiknas (2011:3).
Meskipun
telah terdapat 18 nilai pembentuk karakter bangsa, namun satuan pendidikan
dapat menentukan prioritas pengembangannya dengan cara melanjutkan nilai prakondisi
yang diperkuat dengan beberapa nilai yang diprioritaskan dari 18 nilai di atas.
Dalam implementasinya jumlah dan jenis karakter yang dipilih tentu akan dapat
berbeda antara satu daerah atau sekolah yang satu dengan yang lain. Hal itu
tergantung pada kepentingan dan kondisi satuan pendidikan masing-masing. Di
antara berbagai nilai yang dikembangkan, dalam pelaksanaannya dapat dimulai
dari nilai yang esensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan sesuai dengan
kondisi masing-masing sekolah/wilayah, yakni bersih, rapi, nyaman, disiplin, sopan dan santun.
Proses
pendidikan karakter didasarkan pada totalitas psikologis yang mencakup seluruh
potensi individu manusia (kognitif, afektif dan psikomotorik) dan fungsi
totalitas sosiokultural dalam konteks interaksi dalam keluarga, satuan
pendidikan, dan masyarakat.
Pengkategorian
nilai didasarkan pada pertimbangan bahwa pada hakekatnya perilaku seseorang
yang berkarakter merupakan perwujudan fungsi totalitas psikologis yang mencakup
seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif dan psikomotorik) dan
fungsi totalitas sosialkultural dalam konteks interaksi (dalam keluarga, satuan
pendidikan, dan masyrakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi
karakter dalam kontek totalitas proses psikologis dan sosialkultural dapat dikelompokkan
dalam: (1) olah ati/hati (spiritual & emotional development); (2)
olah pikir (intellectual development); (3) olah raga dan kinestetik (physical
& kinesthetic development); dan (4) olah rasa dan karsa (affective
and creativity development). Proses itu secara holistik dan koheren
memiliki saling keterkaitan dan saling melengkapi.
C.
Landasan
Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal
- Landasan Historis
Kearifan
lokal dapat bersumber dari kebudayaan masyarakat dalam suatu lokalitas
tertentu. Dalam perspektif historis, kearifan lokal dapat membentuk suatu
sejarah lokal. Sebab kajian sejarah lokal yaitu studi tentang kehidupan
masyarakat atau khususnya komunitas dari suatu lingkungan sekitar tertentu
dalam dinamika perkembangannya dalam berbagai aspek kehidupan. Wijda dalam (Koentjaraningrat, 1986). Awal pembentukan
kearifan lokal dalam suatu masyarakat umumnya tidak diketahui secara pasti
kapan kearifan lokal tersebut muncul. Pada umumnya terbentuk mulai sejak
masyarakat belum mengenal tulisan (praaksara). Tradisi praaksara ini yang kemudian
melahirkan tradisi lisan.
Secara
historis tradisi lisan banyak menjelaskan tentang masa lalu suatu masyarakat
atau asal-usul suatu komunitas. Perkembangan tradisi lisan ini dapat menjadi
kepercayaan atau keyakinan masyarakat. Dalam masyarakat yang belum mengenal
tulisan terdapat upaya untuk mengabadikan pengalaman masa lalunya melalui
cerita yang disampaikan secara lisan dan terus menerus diwariskan dari generasi
ke genarasi. Pewarisan ini dilakukan dengan tujuan masyarakat yang menjadi
generasi berikutnya memiliki rasa kepemilikan atau mencintai cerita masa
lalunya. Tradisi lisan merupakan cara mewariskan sejarah pada masyarakat yang
belum mengenal tulisan, dalam bentuk pesan verbal yang berupa pernyataan yang
pernah dibuat di masa lampau oleh generasi yang hidup sebelum generasi yang
sekarang ini.
- Landasan Psikologis
Secara
psikologis pembelajaran berbasis kearifan lokal memberikan sebuah pengalaman
psikologis kepada siswa selaku pengamat dan pelaksana kegiatan. Dampak
psikologis bisa terlihat dari keberanian siswa dalam bertanya tentang ketidaktahuannya,
mengajukan pendapat, persentasi di depan kelas, dan berkomunikasi dengan
masyarakat. Dengan pemanfaatan lingkungan maka kebutuhan siswa tentang
perkembangan psikologisnya akan diperoleh. Karena lingkungan merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan perilaku individu,
baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis, termasuk didalamnya
adalah belajar. Terhadap faktor lingkungan ini ada pula yang menyebutnya
sebagai empirik yang berarti pengalaman.
- Landasan Politik dan Ekonomi
Secara
politik dan ekonomi pembelajaran berbasis kearifan lokal ini memberikan
sumbangan kompetensi untuk mengenal persaingan dunia kerja. Dari segi ekonomi
pembelajaran ini memberikan contoh nyata kehidupan sebenarnya kepada siswa
untuk mengetahui kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena pada akhirnya
siswa dididik dan disiapkan untuk menghadapi persaingan global yang menuntut
memiliki ketrampilan dan kompetensi yang tinggi di lingkungan sosial.
- Landasan Yuridis
Secara
yuridis pembelajaran berbasis kearifan lokal mengarahkan peserta didik untuk
lebih menghargai warisan budaya Indonesia. Sekolah Dasar tidak hanya memiliki
peran membentuk peserta didik menjadi generasi yang berkualitas dari sisi
kognitif, tetapi juga harus membentuk sikap dan perilaku peserta didik sesuai dengan
tuntutan yang berlaku. Apa jadinya jika di sekolah peserta didik hanya
dikembangkan ranah kognitifnya, tetapi diabaikan afektifnya. Tentunya akan
banyak generasi penerus bangsa yang pandai secara akademik, tapi lemah pada
tataran sikap dan perilaku. Hal demikian tidak boleh terjadi, karena akan
membahayakan peran generasi muda dalam menjaaga keutuhan bangsa dan Negara
Indonesia. Nilai-nilai kearifan lokal yang ada di sekitar sekolah dapat
dimanfaatkan untuk pembelajaran di Sekolah Dasar. Tak terkecuali dalam
pembelajaran untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme. Dengan
diintegrasikannya nilai-nilai kearifan lokal dalam pembelajaran di Sekolah
Dasar diharapkan siswa akan memiliki pemahaman tentang kerifan lokalnya
sendiri, sehingga menimbulkan kecintaan terhadap budayanya sendiri.
D.
Penerapan
Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal
Pembelajaran berbasis kearifan lokal
dipadu dengan pembelajaran IPS sangatlah cocok. Hal ini sesuai dengan tujuan
IPS yaitu agar siswa mampu mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan
keterampilan untuk menyelesaikan masalah sosial yang terjadi dikehidupan siswa,
sesuai dengan kemampuan belajarnya. Pembelajaran berbasis kearifan lokal untuk
menanamkan pendidikan karakter dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara mengintegrasi
ke mata pelajaran, melalui mata pelajaran muatan lokal dan melalui pengembangan
diri.
1.
Mengintegrasikan
ke Mata Pelajaran IPS
Mengintegrasikan
ke mata pelajaran IPS bertujuan untuk memperkenalkan nilai-nilai pendidikan
karakter di mata pelajaran sehingga menyadari akan pentingnya nilai-nilai tersebut
dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik
sehari-hari melalui proses pembelajaran, baik yang berlangsung di dalam maupun
di luar kelas. Pada dasarnya kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan
peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang
untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/peduli, dan
menginternalisasi nilai-nilai dan menjadikannya perilaku.
Pada
setiap mata pelajaran di SD sebenarnya telah memuat materi-materi yang berkaitan
dengan pendidikan karakter. Pengembangan nilai-nilai pendidikan karakter di
setiap mata pelajaran dapat dilakukan dengan mengintegrasikan nilai-nilai
pendidikan karakter ke dalam kompetensi dasar (KD) yang sesuai yang terdapat
dalam Standar Isi (Permendiknas No. 22 tahun 2006). Jumlah KD di setiap mata
pelajaran yang dapat diintegrasikan nilai-nilai pendidikan karakter tentu
berbeda, ada yang banyak dan ada yang sedikit. Selanjutnya kompetensi dasar
yang dapat diintegrasikan nilai-nilai pendidikan karakter tersebut dikembangkan
pada silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
Sebagai
contoh berdasarkan materi kelas IV standar kompetensi (Mengenal sumber daya alam, kegiatan ekonomi, dan kemajuan
teknologi di lingkungan kabupaten/kota dan provinsi)
dan kompetensi dasar (Mengenal aktivitas ekonomi yang berkaitan dengan sumber
daya alam dan potensi lain di daerahnya). Nilai karakter yang dapat dimunculkan
yaitu jujur, disiplin, kerja keras, kreatif,
mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, cinta tanah air, menghargai prestasi,
bersahabat/komunikatif, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.
2.
Mengintegrasikan
ke dalam Mata Pelajaran Muatan Lokal
Muatan
lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan
dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah atau disebut
dengan kearifan lokal. Materi dipilih ditetapkan berdasarkan ciri khas, potensi
dan keunggulan daerah, serta ketersediaan lahan, sarana prasarana, dan tenaga pendidik.
Sasaran pembelajaran kearifan lokal adalah pengembangan jiwa kewirausahaan dan
penanaman nilai-nilai budaya sesuai dengan lingkungan. Nilai-nilai
kewirausahaan yang dikembangkan antara lain inovasi, kreatif, berpikir kritis,
eksplorasi, komunikasi, kemandirian, dan memiliki etos kerja. Nilai-nilai
budaya yang dimaksud antara lain kejujuran, tanggung jawab, disiplin, kepekaan
terhadap lingkungan, dan kerja sama.
Penanaman
nilai-nilai kewirausahaan dan budaya tersebut diintegrasikan di dalam proses
pembelajaran yang dikondisikan supaya nilai-nilai tersebut dapat menjadi sikap
dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu pembelajaran berbasis
kearifan lokal dapat dilakukan dengan cara guru memberikan tugas secara berkelompok
mengobservasi dan mengidentifikasi budaya atau sumber daya yang ada di
lingkungan tempat tinggal. Melalui observasi langsung ke lingkungan guru
memiliki beberapa tujuan untuk dimiliki siswa setelah kegiatan berlangsung.
Nilai karakter dan kemampuan yang diharapkan yaitu jujur, disiplin, kerja keras, kreatif,
mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, cinta tanah air, menghargai prestasi,
bersahabat/komunikatif, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.
3.
Melalui
Kegiatan Pengembangan Diri
Kegiatan
pengembangan diri meliputi beragam kegiatan ekstrakurikuler sesuai
dengan minat dan bakat siswa, seperti Kegiatan ekstra kurikuler (kewiraan
melalui pramuka dan Paskibraka, olahraga, seni, kegiatan ilmiah melalui olimpiade
dan lomba mata pelajaran. Kegiatan pembiasaan (kegiatan rutin melalui upacara
bendera dan ibadah bersama). Kegiatan terprogram melalui pesantren Ramadhan,
buka puasa bersama, pelaksanaan Idul Qurban, keteladanan melalui pembinaan
ketertiban pakaian seragam anak sekolah (PAS), pembinaan kedisiplinan,
penanaman nilai akhlak mulia, penanaman budaya minat baca, penanaman budaya
bersih di kelas dan lingkungan sekolah, penanaman budaya hijau. Kegiatan
nasionalisme melalui perayaan hari kemerdekaan RI, peringatan hari pahlawan,
peringatan hari pendidikan nasional. Kegiatan outdoor learning dan training
melalui kunjungan belajar dan studi banding.
Pembelajaran berbasis kearifan lokal
merupakan pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai pusat pembelajaran student centered daripada teacher centered. Hal ini sejalan dengan pernyataan Suparno
(dalam Darlia 2010: 2) bahwa belajar bukan sekedar kegiatan pasif menerima
materi dari guru, melainkan proses aktif menggali pengalaman lama, mencari dan
menemukan pengalaman baru serta mengasimilasi dan menghubungkan antara keduanya
sehingga membentuk makna. Makna tercipta dari apa yang siswa lihat, dengar,
rasakan, dan alami. Untuk guru, mengajar adalah kegiatan memfasilitasi siswa
dalam mengkonstruksi sendiri pengetahuannya lewat keterlibatannya dalam
Terkait dengan pembelajaran nilai-nilai
kearifan lokal di Sekolah Dasar Menurut Sutarno (2008: 7-6) ada empat macam
pembelajaran berbasis budaya, yaitu:
1.
Belajar tentang budaya, yaitu menempatkan budaya
sebagai bidang ilmu. Budaya dipelajari dalam program studi khusus, tentang
budaya dan untuk budaya. Dalam hal ini, budaya tidak terintegrasi dengan bidang
ilmu.
2.
Belajar dengan budaya, terjadi pada saat budaya
diperkenalkan kepada siswa sebagai cara atau metode untuk mempelajari pokok
bahasan tertentu. Belajar dengan budaya meliputi pemanfaatan beragam untuk
perwujudan budaya. Dalam belajar dengan budaya, budaya dan perwujudannya
menjadi media pembelajaran dalam proses belajar, menjadi konteks dari
contoh-contoh tentang konsep atau prinsip dalam suatu mata pelajaran, serta
menjadi konteks penerapan prinsip atau prosedur dalam suatu mata pelajaran.
3.
Belajar melalui budaya, merupakan strategi yang
memberikan kesempatan siswa untuk menunjukkan pencapaian pemahaman atau makna
yang diciptakannya dalam suatu mata pelajaran melalui ragam perwujudan budaya.
4.
Belajar berbudaya, merupakan bentuk
mengejawantahkan budaya itu dalam perilaku nyata sehari-hari siswa. Misalnya,
anak dibudayakan untuk selalu menggunakan bahasa krama inggil pada hari sabtu
melalui Program Sabtu Budaya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kearifan lokal sesungguhnya mengandung
banyak sekali keteladanan dan kebijaksanaan hidup. Pentingnya kearifan lokal
dalam pendidikan kita secara luas adalah bagian dari upaya meningkatkan
ketahanan nasional kita sebagai sebuah bangsa. Pendidikan karakter bukan
sekedar mengajarkan sesuatu yang benar dan yang salah tetapi pendidikan
karakter juga menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik
sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan
salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor).
Pendidikan karakter telah teridentifikasi
18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan
nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5)
Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu,
(10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13)
Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli
Lingkungan, (17) Peduli Sosial, & (18) Tanggung Jawab.
|
DAFTAR
RUJUKAN
Akbar, Sa’dun.
2006. Pengembangan Kurikulum IPS.
Malang: Pascasarjana Universitas Kanjuruhan
Http://Staff.Undip.Ac.Id/Sastra/Dhanang/ (Diakses 03
Desember 2011)
Http://filsafat.ugm.ac.id
(Diakses tanggal 30 April 2010)
Kemendiknas. 2011. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta
Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Cetakan ke-11. Jakarta:
Gramedia.
Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Cetakan ke-6. Jakarta: Aksara Baru.
Sagala, Syaiful. 2010. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: CV alfabeta
Sanjaya, Wina. 2007. Strategi
Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses pendidikan. Jakarta: Kencana.
Sutarno. 2008. Pendidikan Multikultural.
Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan
postingannya sangat membantu
BalasHapusterima kasih..
HapusWhen someone writes an post he/she keeps the image of a user in his/her
BalasHapusbrain that how a user can be aware of it. Therefore that's why this post
is outstdanding. Thanks!
Here is my website lasertest