Sejarah Perkembangan Kesenian Wayang
Wayang
berasal dari kata wayangan, yaitu sumber ilham dalam menggambar wujud tokoh dan
cerita sehingga dapat tergambar jelas dalam batin si penggambar karena sumber
aslinya telah hilang. Awalnya wayang adalah bagian dari kegiatan religi
animisme menyembah “Hyang”. Tahun 898 – 910 M wayang sudah menjadi wayang purwa
namun tetap masih ditujukan untuk menyembah para sanghyang seperti yang
tertulis dalam prasasti Balitung. Pada masa Raja Darmawangsa 996 – 1042 M
Mahabarata yang berbahasa sansekerta delapan belas parwa dirakit menjadi
sembilan parawa bahasa Jawa kuno. Lalu Arjuna Wiwaha berhasil disusun oleh Mpu
Kanwa di masa Raja Erlangga. Sampai di zaman Kerajaan Kediri dan Raja Jayabaya,
Mpu Sedah mulai menyusun serat Bharatayuda yang lalu diselesaikan oleh Mpu
Panuluh tak puas dengan itu saja, Mpu Panuluh lalu meyusun serat hariwangsa dan
kemudian serat gatutkacasraya.
Masa-
masa abad sepuluh, bisa disebut sebagai globalisasi tahap satu ke tanah jawa
kepercayaan animisme mulai digeser oleh pengaruh agama Hindu. Abad dua belas
sampai abad lima belas adalah masa “sekularisasi” wayang tahap satu dengan
mulai disusunnya berbagai mitos yang mengagungkan raja sebagai keturunan para
Dewa. Abad lima belas adalah dimulainya globalisasi Jawa tahap dua kini
pengaruh budaya Islam yang meresap tanpa terasa dan pada awal abad keenam belas
Kerajaan Demak ( 1500 – 1550 M).
Kesenian wayang dalam bentuknya
yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu masuk di Indonesia dan mulai
berkembang pada jaman Hindu Jawa.
Pertunjukan Kesenian wayang adalah merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dynamisme. Tentang asal-usul kesenian wayang hingga dewasa ini masih merupakan suatu masalah yang belum terpecahkan secara tuntas. Namun demikian banyak para ahli mulai mencoba menelusuri sejarah perkembangan wayang dan masalah ini ternyata sangat menarik sebagai sumber atau obyek penelitian. Menurut Kitab Centini, tentang asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang, mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Pamenang / Kediri. Sekitar abad ke 10 Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Cerita Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.
Pertunjukan Kesenian wayang adalah merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dynamisme. Tentang asal-usul kesenian wayang hingga dewasa ini masih merupakan suatu masalah yang belum terpecahkan secara tuntas. Namun demikian banyak para ahli mulai mencoba menelusuri sejarah perkembangan wayang dan masalah ini ternyata sangat menarik sebagai sumber atau obyek penelitian. Menurut Kitab Centini, tentang asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang, mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Pamenang / Kediri. Sekitar abad ke 10 Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Cerita Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.
Pada jaman
Majapahit usaha melukiskan gambaran wayang di atas kertas disempurnakan dengan
ditambah bagian-bagian kecil yang digulung menjadi satu. Wayang berbentuk
gulungan tersebut, bilamana akan dimainkan maka gulungan harus dibeber. Oleh
karena itu wayang jenis ini biasa disebut wayang Beber. Pewarnaan dari wayang
tersebut disesuaikan dengan wujud serta martabat dari tokoh itu, yaitu misalnya
Raja, Kesatria, Pendeta, Dewa, Punakawan dan lain sebagainya. Dengan demikian
pada masa akhir Kerajaan Majapahit, keadaan wayang Beber semakin semarak.
Pada masa itu sementara pengikut
agama Islam ada yang beranggapan bahwa gamelan dan wayang adalah kesenian yang
haram karena berbau Hindu. Timbulnya perbedaan pandangan antara sikap
menyenangi dan mengharamkan tersebut mempunyai pengaruh yang sangat penting
terhadap perkembangan kesenian wayang itu sendiri. Untuk menghilangkan kesan
yang serba berbau Hindu dan kesan pemujaan kepada arca, maka timbul gagasan
baru untuk menciptakan wayang dalam wujud baru dengan menghilangkan wujud
gambaran manusia. Berkat keuletan dan ketrampilan para pengikut Islam yang
menggemari kesenian wayang, terutama para Wali, berhasil menciptakan bentuk
baru dari Wayang Purwa dengan bahan kulit kerbau yang agak ditipiskan dengan
wajah digambarkan miring, ukuran tangan dibuat lebih panjang dari ukuran tangan
manusia, sehingga sampai dikaki. Wayang dari kulit kerbau ini diberi warna
dasar putih yang dibuat dari campuran bahan perekat dan tepung tulang,
sedangkan pakaiannya di cat dengan tinta.
Sunan Bonang menyususn struktur
dramatikanya, Sunan Kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu
kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang, dan gunungan. Sunan
Kalijaga tidak ketinggalan juga, untuk menyemarakkan perkembangan seni
pedalangan pada masa itu dengan menciptakan Topeng yang dibuat dari kayu. Pokok
ceriteranya diambil dari pakem wayang Gedog yang akhirnya disebut dengan topeng
Panji. Bentuk mata dari topeng tersebut dibuat mirip dengan wayang Purwa. Pada
masa Kerajaan Mataram diperintah oleh Panembahan Senapati atau Sutawijaya,
diadakan perbaikan bentuk wayang Purwa dan wayang Gedog. Wayang ditatah halus
dan wayang Gedog dilengkapi dengan keris. Sunan Kudus kebagian tugas mendalang.
Untuk melengkapi jenis wayang yang sudah ada, Sunan Kudus menciptakan wayang
Golek dari kayu. Lakon pakemnya diambil dari wayang Purwa dan diiringi dengan
gamelan Slendro, tetapi hanya terdiri dari gong, kenong, ketuk, kendang, kecer
dan rebab. ‘Suluk’ masih tetap
dipertahankan, dan ditambah dengan greget saut dan adha-adha.
Disamping itu baik wayang Purwa
maupun wayang Gedog diberi bahu dan tangan yang terpisah dan diberi tangkai.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung Anyakrawati, wayang Beber yang semula
dipergunakan untuk sarana upacara ruwatan diganti dengan wayang Purwa dan
ternyata berlaku hingga sekarang. Pada masa itu pula diciptakan beberapa tokoh
raksasa yang sebelumnya tidak ada, antara lain Buto Cakil. Wajah mirip raksasa,
biasa tampil dalam adegan Perang Kembang atau Perang Bambangan.
Dalam pagelaran mempergunakan
pakem yang berpangkal dari Serat Ramayana dan Serat Mahabarata. Perbedaan
wayang Wong dengan wayang Topeng adalah : pada waktu main, pelaku dari wayang
Wong aktif berdialog; sedangkan wayang Topeng dialog para pelakunya dilakukan
oleh dalang. Pada jaman pemerintahan Sri Hamangkurat IV; beliau dapat warisan
Kitab Serat Pustakaraja Madya dan Serat Witaraja dari Raden Ngabehi
Ranggawarsito. Isi buku tersebut menceriterakan riwayat Prabu Aji Pamasa atau
Prabu Kusumawicitra yang bertahta di negara Pamenang / Kediri.
Kemudian pindah Kraton di Pengging. Isi kitab ini mengilhami beliau untuk menciptakan wayang baru yang disebut wayang Madya. Ceritera dari Wayang Madya dimulai dari Prabu Parikesit, yaitu tokoh terakhir dari ceritera Mahabarata hingga Kerajaan Jenggala yang dikisahkan dalam ceritera Panji.
Kemudian pindah Kraton di Pengging. Isi kitab ini mengilhami beliau untuk menciptakan wayang baru yang disebut wayang Madya. Ceritera dari Wayang Madya dimulai dari Prabu Parikesit, yaitu tokoh terakhir dari ceritera Mahabarata hingga Kerajaan Jenggala yang dikisahkan dalam ceritera Panji.
Bentuk wayang Madya, bagian atas
mirip dengan wayang Purwa, sedang bagian bawah mirip bentuk wayang gedog.
Semasa jaman Revolusi fisik antara tahun 1945 - 1949, usaha untuk
mengumandangkan tekad pejuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dilakukan
dengan berbagai cara.
Salah satu usaha ialah melalui
seni pedalangan. Khusus untuk mempergelarkan ceritera- ceritera perjuangan
tersebut, maka diciptakanlah wayang Suluh. Wayang Suluh berarti wayang
Penerangan, karena kata Suluh berarti pula obor sebagai alat yang biasa
dipergunakan untuk menerangi tempat yang gelap. Bentuk wayang Suluh, baik
potongannya maupun pakaiannya mirip dengan pakaian orang sehari-hari. Bahan
dipergunakan untuk membuat wayang Suluh ada yang berasal dari kulit ada pula
yang berasal dari kayu pipih. Ada sementara orang berpendapat bahwa wayang suluh
pada mulanya lahir di daerah Madiun yang di ciptakan oleh salah seorang pegawai
penerangan dan sekaligus sebagai dalangnya. Tidak ada bentuk baku dari wayang
Suluh, karena selalu mengikuti perkembangan jaman. Hal ini disebabkan khususnya
cara berpakaian masyarakat selalu berubah, terutama para pejabatnya .
1. BIMA
Bima
atau Bimasena adalah seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Mahābhārata.
Ia dianggap sebagai seorang tokoh heroik. Ia adalah putra Dewi Kunti dan dikenal
sebagai tokoh Pandawa
yang kuat, bersifat selalu kasar dan menakutkan bagi musuh, walaupun sebenarnya
hatinya lembut. Ia merupakan keluarga Pandawa di urutan yang kedua, dari lima
bersaudara. Saudara se'ayah'-nya ialah wanara yang
terkenal dalam epos Ramayana dan sering dipanggil dengan nama Hanoman. Akhir
dari riwayat Bima diceritakan bahwa dia mati sempurna (moksa) bersama ke
empat saudaranya setelah akhir perang Bharatayuddha.
Cerita ini dikisahkan dalam episode atau lakon Prasthanikaparwa.
Bima setia pada satu sikap, yaitu tidak suka berbasa basi dan tak pernah
bersikap mendua serta tidak pernah menjilat ludahnya sendiri.
Bima dalam pewayangan Jawa
Bima adalah seorang tokoh yang
populer dalam khazanah pewayangan Jawa. Suatu saat mantan presiden Indonesia, Ir. Soekarno
pernah menyatakan bahwa ia sangat senang dan mengidentifikasikan dirinya mirip
dengan karakter Bima. Bima memiliki beberapa sifat dan
perwatakan: gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur serta menganggap
semua orang sama derajadnya, sehingga dia digambarkan tidak pernah menggunakan
bahasa halus (krama inggil) atau pun duduk di depan lawan bicaranya.
Bima melakukan kedua hal ini (bicara dengan krama inggil dan duduk) hanya
ketika menjadi seorang resi dalam lakon Bima Suci, dan ketika dia bertemu
dengan Dewa Ruci. Ia memiliki keistimewaan dan ahli bermain gada (semacam
senjata godam) serta memiliki berbagai macam senjata antara lain: Kuku
Pancanaka, Gada Rujakpala, Alugara, Bargawa (kapak besar) dan Bargawasta.
Sedangkan jenis ajian yang dimilikinya adalah: Aji Bandungbandawasa, Aji Ketuklindu,
Aji Bayubraja dan Aji Blabak pangantol-antol.
Bima juga memiliki pakaian yang
melambangkan kebesaran, yaitu: Gelung Pudaksategal, Pupuk Jarot Asem, Sumping
Surengpati, Kelatbahu Candrakirana, ikat pinggang Nagabanda dan Celana Cinde
Udaraga. Sedangkan beberapa anugerah Dewata yang diterimanya antara lain:
Kampuh atau kain Poleng Bintuluaji, Gelang Candrakirana, Kalung Nagasasra,
Sumping Surengpati dan Pupuk Pudak Jarot Asem.
Bima tinggal di kadipaten
Jodipati, wilayah negara Amarta. Ia mempunyai tiga orang isteri dan 3 orang
anak, yaitu:
- Dewi Nagagini, berputera (mempunyai putera bernama) Arya Anantareja,
- Dewi Arimbi, berputera Raden Gatotkaca dan
- Dewi Urangayu, berputera Arya Anantasena.
Menurut versi Banyumas, Bima
mempunyai satu istri lagi, yaitu Dewi Retokotowati, berputera Srenggini (Gagrag
Banyumasan)
2. DRONA
Drona
|
Dalam wiracarita Mahabharata,
Drona atau Dronacharya adalah guru para Korawa dan Pandawa. Ia
merupakan ahli mengembangkan seni pertempuran, termasuk devastras. Arjuna adalah murid
yang disukainya. Kasih sayang Drona terhadap Arjuna adalah yang kedua jika
dibandingkan dengan rasa kasih sayang terhadap puteranya, Aswatama.
dalam pewayangan Jawa
Riwayat hidup Drona dalam pewayangan Jawa memiliki
beberapa perbedaan dengan kisah aslinya dari kitab Mahabharata
yang berasal dari Tanah
Hindu, yaitu India,
dan berbahasa Sansekerta. Beberapa perbedaan tersebut meliputi nama
tokoh, lokasi, dan kejadian. Namun perbedaan tersebut tidak terlalu besar sebab
inti ceritanya sama. Perlu digarisbawahi juga, bahwa kepribadian Drona dalam Mahabharata
berbeda dengan versi pewayangan.
Resi Drona berwatak tinggi hati,
sombong, congkak, bengis, banyak bicaranya, tetapi kecakapan, kecerdikan,
kepandaian dan kesaktiannnya luar baisa serta sangat mahir dalam siasat perang.
Karena kesaktian dan kemahirannya dalam olah keprajuritan, Drona dipercaya
menjadi guru anak-anak Pandawa dan Kurawa. Ia mempunyai pusaka sakti berwujud
keris bernama Keris Cundamanik dan panah Sangkali (diberikan kepada Arjuna).
Bhagawan Drona atau Dorna
(dibaca Durna) waktu mudanya bernama Bambang
Kumbayana, putra Resi Baratmadya dari Hargajembangan dengan Dewi
Kumbini. Ia mempunyai saudara seayah seibu bernama Arya Kumbayaka dan Dewi
Kumbayani. Beliau adalah guru dari para Korawa dan Pandawa. Murid
kesayangannya adalah Arjuna. Resi Drona menikah dengan Dewi Krepi, putri Prabu
Purungaji, raja negara Tempuru, dan memperoleh seorang putra bernama Bambang Aswatama. Ia berhasil
mendirikan padepokan Sokalima setelah berhasil merebut hampir setengah wilayah
negara Pancala dari kekuasaan Prabu Drupada.
Dalam peran Bharatayuda Resi
Drona diangkat menjadi Senapati Agung Kurawa, setelah gugurnya Bisma. Ia sangat
mahir dalam siasat perang dan selalu tepat menentukan gelar perang. Resi Drona
gugur di medan pertempuran oleh tebasan pedang Drestadyumena,
putra Prabu Drupada, yang memenggal putus kepalanya. Konon kematian Resi Drona
akibat dendam Prabu Ekalaya raja negara Parangggelung yang arwahnya menyatu
dalam tubuh Drestadyumena. Akan tetapi sebenarnya adalah dikarenakan taktik
perang yang dilancarkan oleh pihak Pandawa yang
melancarkan tipu muslihat karena kerepotan menghadapi kesaktian dan kedigjayaan
sang Resi.
Pelajaran yang dapat diambil
dari sini adalah bagaimanapun saktinya sang resi, beliau sangat sayang terhadap
keluarganya sehingga termakan siasat tipu dalam peperangan yang mengakibatkan
kematiannya.
Dalam perjalanannya mencari
Sucitra, ia tidak dapat menyeberang sungai dan ditolong oleh seekor kuda
terbang jelmaan Dewi Wilutama, yang dikutuk oleh dewa. Kutukan itu akan
berakhir bila ada seorang satria mencintainya dengan tulus. Karena
pertolongannya, maka sang Kumbayana menepati janjinya untuk mencintai kuda
betina itu. Namun karena terbawa nafsu, Kumbayana bersetubuh dengan kuda
Wilutama hingga mengandung, dan kelak melahirkan seorang putra berwajah tampan
tetapi mempunyai kaki seperti kuda (bersepatu kuda), yang kemudian diberi nama Bambang Aswatama.
Setelah bertemu Sucitra yang
telah menjadi Raja bergelar Prabu Drupada, ia tidak diakui sebagai saudara seperguruannya.
Kumbayana marah merasa dihina, kemudian balik menghina Raja Drupada. Namun sang
Mahapatih Gandamana] (dulu adalah Patih Hastinapura di bawah pemerintahan
Pandu) menjadi murka sehingga terjadi peperangan yang tidak seimbang. Meskipun
Kumbayana sangat sakti ternyata kesaktiannya masih jauh di bawah Gandamana yang
memiliki Aji Bandung Bondowoso (ajian ini diturunkan pada murid tercintanya,
Raden Bratasena) yang memiliki kekuatan setara dengan 1000 gajah.
Kumbayana menjadi bulan-bulanan
sehingga wajahnya rusak seperti yang ada sekarang ini. Namun dia tidak mati dan
ditolong oleh Sakuni yang bernasib sama (Baca sempalan Mahabharata yang
berjudul Gandamana Luweng). Hingga akhirnya ia diterima di Hastinapura dan
dipercaya mendidik anak-anak Hastina (Pandawa dan Korawa).
3. GARENG
Nama
lengkap dari Gareng sebenarnya adalah Nala Gareng , hanya saja masyrakat sekarang lebih akrab dengan sebutan “Gareng”.
Gareng adalah purnakawan yang berkaki pincang. Hal ini merupakan sebuah sanepa dari sifat
Gareng sebagai kawula yang selalu hati-hati dalam melangkahkan kaki. Selain
itu, cacat fisik Gareng yang lain adalah tangan yang ciker atau patah.
Ini adalah sanepa bahwa Gareng memiliki sifat tidak suka mengambil hak milik
orang lain. Diceritakan bahwa tumit kanannya terkena semacam penyakit bubul. Gareng adalah anak
sulung dari Semar.
Dalam suatu carangan Gareng pernah menjadi raja di Paranggumiwayang dengan gelar Pandu Pragola.
Saat itu dia berhasil mengalahkan prabu Welgeduwelbeh raja dari Borneo yang tidak
lain adalah penjelmaan dari saudaranya sendiri yaitu Petruk.
Dulunya , Gareng berujud ksatria tampan
bernama Bambang Sukodadi dari pedepokan Bluktiba. Suatu hari , saat baru
saja menyelesaikan tapanya , ia berjumpa dengan ksatria lain bernama Bambang
panyukilan. Karena suatu kesalah pahaman , mereka malah berkelahi. Dari
hasil perkelahian itu, tidak ada yang menang dan kalah, bahkan wajah mereka
berdua rusak. Kemudian datanglah Batara Ismaya (Semar) yang kemudian melerai mereka. Karena Batara
Ismaya ini adalah pamong para ksatria Pandawa yang berjalan di atas
kebenaran , maka dalam bentuk Jangganan Samara Anta , dia (Ismaya)
memberi nasihat kepada kedua ksatria yang baru saja berkelahi itu.
Karena kagum oleh nasihat Batara
Ismaya, kedua ksatria itu minta mengabdi dan minta diaku anak oleh Lurah Karang Dempel , titisan dewa (Batara Ismaya) itu.
Akhirnya Jangganan Samara Anta bersedia menerima mereka , asal kedua kesatria
itu mau menemani dia menjadi pamong para kesatria berbudi luhur (Pandawa), dan
akhirnya mereka berdua setuju.
4. GATOTKACA
Gatotkaca
|
Gatotkaca atau Gatutkaca
adalah seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata.
Ia adalah putra Bima (Werkodara) dan Hidimbi. Karena
menurun dari wujud ibunya, maka separuh badannya merupakan raksasa yang mana
hal ini banyak memberi kesaktian dan membuat dirinya menjadi seorang ksatria
penting di medan Kuru (medan perang) pada saat terjadinya Bharatayuddha.
Dalam bahasa
Sansekerta, kata Ghatotkacha secara harfiah berarti
"memiliki kepala seperti kendi". Nama Gatotkaca sebenarnya merupakan
julukan (nama panggilan sehari-hari). Kata ini diambil dari bahasa
Sansekerta ghaṭam
yang berarti "buli-buli" atau "kendi", karena sewaktu lahir
kepalanya dianggap mirip dengan benda ini.
Gatotkaca dalam budaya pewayangan Jawa
Dalam khazanah pewayangan Jawa Baru,
tokoh Gatotkaca juga sangat populer. Gatotkaca dikatakan bahwa ia memiliki kesaktian yang sanggup
terbang dan mempunyai "otot kawat baja dan tulang besi". Nama lain
Gatotkaca yang juga populer dalam khazanah sastra
Jawa Baru adalah Tutuka atau Tetuka.
Gatotkaca mempunyai pusaka
berupa Keris
Kalanadhah yang didapat dari pamannya, Arjuna. Selain itu,
pakaiannya merupakan pemberian dari para Dewa, antara lain
pakaian Caping Basunandho (tidak akan kehujanan ataupun kepanasan), pakaian
Kotang Ontokusumo (bisa terbang), dan Trumpah (sandal) Probokacermo (tidak akan
terganggu jika melalui jalan atau tempat yang angker).
Raden Gatotkaca lalu menjadi
raja menggantikan ibunya Dewi Arimbi di negara Pringgondani. Negara ini kemudian
menjadi bagian dari negara Amarta atau Indraprastha,
dan Raden Krincing Wesi ini mengambil gelar "Prabu Anom Gathutkaca".
Pada masa dewasanya Gatotkaca memperistri Dewi Pergiwa, dan terpilih menjadi
senopati negara amarta pada perang Bharatayuddha, dan setelah menerima wahyu
Jayaningrat serta Topeng Waja.
5. WIBISANA
Wibisana adalah
tokoh protagonis dalam wiracarita Ramayana. Ia adalah adik kandung Rahwana. Wibisana
merupakan putera bungsu dari Resi Wisrawa, putera Resi Pulatsya, dengan seorang puteri Detya bernama Kekasi. Wibisana memiliki tiga saudara kandung,
bernama Rahwana,
Kumbakarna,
dan Surpanaka.
Di antara saudaranya, Wibisana adalah anak yang paling baik. Sifatnya tidak
seperti rakshasa
pada umumnya meskipun ia merupakan keturunan rakshasa. Karakternya mirip dengan
Prahlada
yang dilahirkan sebagai keturunan asura, namun menjadi pemuja Wisnu yang setia.
Wibisana menghabiskan masa
mudanya dengan bertapa dan memuja Wisnu. Ketika Rahwana dan Kumbakarna bertapa memuja Brahma, Wibisana
juga berbuat demikian. Saat Dewa Brahma memberi kesempatan kepada Wibisana
untuk memohon anugerah, Wibisana meminta agar ia selalu berada di jalan
kebenaran atau dharma.
Sikapnya tidak seperti kakaknya yang meminta kekuatan untuk menaklukkan para dewa.
Dalam kisah Ramayana,
setelah gagal membujuk kakaknya untuk mengembalikan Sita kepada Rama, Wibisana
memutuskan untuk berpihak pada Rama yang diyakininya sebagai pihak yang benar. Hal ini berarti
dia harus melawan kakaknya sendiri (Rahwana) demi
membela kebenaran. Menarik untuk dilihat bahwa Kumbakarna
(yang juga masih saudara kandung dengan Wibisana dan Rawana) mengambil
sikap yang berlawanan, dimana Kumbakarna tetap membela tanah air, walaupun menyadari
bahwa dia berada di pihak yang salah. Wibisana merupakan tokoh yang menunjukkan
bahwa kebenaran itu menembus batas-batas nasionalisme, bahkan ikatan
persaudaraan.
6. HANOMAN
Hanoman
atau Hanumat, juga disebut sebagai Anoman, adalah salah satu dewa
dalam kepercayaan agama Hindu, sekaligus tokoh protagonis dalam wiracarita Ramayana yang
paling terkenal. Ia adalah seekor kera putih dan merupakan putera Batara Bayu dan Anjani, saudara dari Subali dan Sugriwa. Menurut
Kitab Serat Pedhalangan, tokoh Hanoman sebenarnya memang asli dari wiracarita Ramayana, namun
dalam pengembangannya tokoh ini juga sering muncul dalam serial Mahabharata,
sehingga menjadi tokoh antar zaman. Di India, hanoman dipuja
sebagai dewa pelindung dan beberapa kuil didedikasikan untuk memuja dirinya.
Dalam misi membantu Rama mencari Sita, Sugriwa mengutus
pasukan wanara-nya
agar pergi ke seluruh pelosok bumi untuk mencari tanda-tanda keberadaan Sita,
dan membawanya ke hadapan Rama kalau mampu. Pasukan wanara yang
dikerahkan Sugriwa dipimpin oleh Hanoman, Anggada, Nila,
Jembawan,
dan lain-lain. Mereka menempuh perjalanan berhari-hari dan menelusuri sebuah
gua, kemudian tersesat dan menemukan kota yang berdiri megah di dalamnya. Atas
keterangan Swayampraba yang tinggal di sana, kota tersebut dibangun oleh
arsitek Mayasura
dan sekarang sepi karena Maya pergi ke alam para Dewa. Lalu Hanoman
menceritakan maksud perjalanannya dengan panjang lebar kepada Swayampraba. Atas
bantuan Swayampraba yang sakti, Hanoman dan wanara lainnya lenyap dari gua dan
berada di sebuah pantai dalam sekejap.
Hanoman
|
Di pantai tersebut, Hanoman dan wanara lainnya
bertemu dengan Sempati,
burung raksasa yang tidak bersayap. Ia duduk sendirian di pantai tersebut
sambil menunggu bangkai hewan untuk dimakan. Karena ia mendengar percakapan
para wanara mengenai Sita
dan kematian Jatayu,
Sempati menjadi sedih dan meminta agar para wanara menceritakan kejadian yang
sebenarnya terjadi. Anggada menceritakan dengan panjang lebar kemudian meminta
bantuan Sempati. Atas keterangan Sempati, para wanara tahu bahwa Sita ditawan
di sebuah istana yang teretak di Kerajaan
Alengka. Kerajaan tersebut diperintah oleh raja raksasa bernama Rahwana. Para
wanara berterima kasih setelah menerima keterangan Sempati, kemudian mereka
memikirkan cara agar sampai di Alengka.
7. INDRAJIT
Dalam wiracarita Ramayana, Indrajit
alias Megananda adalah salah satu putera Rahwana dan
menjadi putera mahkota Kerajaan Alengka. Indrajit merupakan ksatria yang
sakti mandraguna, dalam perang antara pihak Rama dan Rahwana, Indrajit
sering merepotkan bala tentara Rama dengan kesaktiannya. Ia punya senjata sakti
yang bernama Nagapasa, apabila senjata tersebut dilepaskan, maka akan keluar
ribuan naga meyerang ke barisan musuh. Dalam perang besar tersebut akhirnya
Indrajit tewas di tangan Laksmana, adik Rama.
Ayah Indrajit adalah Rahwana, sedangkan
ibunya adalah Mandodari.
Indrajit diberi nama "Meghanada" saat lahir sebab ketika ia menangis
untuk yang pertama kalinya, bunyi petir dan guruh mengiringinya, menandakan
kelahiran ksatria besar. Nama julukan 'Indrajit' ("penakluk Indra")
dianugerahkan oleh Dewa Brahma ketika ia mengalahkan dan memenjarakan Indra, Raja para
Dewa. Senjata Brahmastra diberikan kepada Indrajit pada kesempatan
tersebut. Konon senjata tersebut memiliki kekuatan menakjubkan dan jika lepas
dari busurnya, senjata itu bisa mematahkan busur lawan dan membunuh seseorang
sesuai dengan keinginan.
8. KREPA
Krepa
atau Kripa (Kṛpa)
atau Kripacharya (Guru Kripa), adalah seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata.
Ia merupakan putera Resi
Bharadwaja,
dan menjadi guru para pangeran Kuru
di Hastinapura.
Pada mulanya, ia hidup dihutan
bersama dengan adiknya yang bernama Kripi. Suatu ketika Prabu Santanu dari Hastinapura
berburu ke tengah hutan. Karena merasa kasihan dengan keadaan mereka, ia
memungut Krepa dan Kripi, lalu diberi pendidikan. Karena kemahiran Krepa dalam
ilmu menggunakan senjata, akhirnya ia diangkat menjadi pejabat di Hastinapura
dan diberi kepercayaan untuk mendidik para pangeran Kuru (Pandawa dan Korawa). Ia
berperang pada pihak Korawa pada perang Bharatayuddha.
Ia salah seorang kawan Aswatama yang membalas dendam kekalahan Korawa.
9.
KUMBAKARNA
Kumbakarna
|
Dalam bahasa
Sansekerta, secara harafiah nama Kumbhakarna berarti "bertelinga kendi".Dalam wiracarita Ramayana, Kumbakarna
adalah saudara kandung Rahwana, raja rakshasa dari Alengka.
Kumbakarna merupakan seorang rakshasa yang sangat tinggi dan berwajah mengerikan, tetapi
bersifat perwira dan sering menyadarkan perbuatan kakaknya yang salah. Ayah Kumbakarna adalah seorang resi bernama Wisrawa, dan
ibunya adalah Kekasi, puteri seorang Raja Detya bernama Sumali. Rahwana, Wibisana dan Surpanaka
adalah saudara kandungnya, sementara Kubera, Kara, Dusana, Kumbini, adalah saudara tirinya. Marica adalah
pamannya, putera Tataka,
saudara Sumali. Kumbakarna memiliki putera bernama Kumba dan Nikumba. Kedua
puteranya itu gugur dalam pertempuran di Alengka. Kumba
menemui ajalnya di tangan Sugriwa, sedangkan Nikumba gugur di tangan Hanoman.
10. PANDU
Pandu
|
Pandu adalah nama salah
satu tokoh dalam wiracarita Mahabharata, ayah dari para Pandawa. Pandu
merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, yaitu Dretarasta
yang sebenarnya merupakan pewaris dari Kerajaan
Kuru dengan pusat pemerintahan di Hastinapura,
tetapi karena buta maka tahta diserahkan kepada Pandu dan Widura, yang tidak
memiliki ilmu kesaktian apapun tetapi memiliki ilmu kebijaksanaan yang luar
biasa terutama bidang ketatanegaraan.
Pandu merupakan seorang pemanah
yang mahir. Ia memimpin tentara Dretarastra
dan juga memerintah kerajaan untuknya. Pandu menaklukkan wilayah Dasarna,
Kashi,
Anga,
Wanga,
Kalinga,
Magadha,
dan lain-lain.
Pandu menikahi Kunti, puteri Raja
Kuntibhoja dari Wangsa Wresni, dan Madri, puteri Raja Madra.
Saat berburu di hutan, tanpa sengaja Pandu memanah seorang resi yang sedang bersenggama
dengan istrinya. Atas perbuatan tersebut, Sang Resi mengutuk Pandu agar kelak
ia meninggal saat bersenggama dengan istrinya. Maka dari itu, Pandu tidak bisa
memiliki anak dengan cara bersenggama dengan istrinya. Dengan kecewa, Pandu
meninggalkan hutan bersama istrinya dan hidup seperti pertapa. Di dalam hutan,
Kunti mengeluarkan mantra rahasianya dan memanggil tiga Dewa, Yaitu Yama, Bayu, dan Indra. Dari ketiga
Dewa tersebut, ia meminta masing-masing seorang putera. Ketiga putera tersebut
adalah Yudistira,
Bima, dan Arjuna. Kunti juga
memberi kesempatan kepada Madri untuk meminta seorang putera dari Dewa yang
dipanggilnya, dan Madri memanggil Dewa Aswin. Dari Dewa
tersebut, Madri menerima putera kembar, diberi nama Nakula dan Sadewa. Kelima
putra pandu dikenal sebagai Pandawa
Pandu memiliki dua orang istri,
yaitu Kunti dan Madri. Sebenarnya
Pandu Dewanata tidak bisa mempunyai anak karena dikutuk oleh seorang resi, karena pada saat
resi tersebut menyamar menjadi kijang untuk bercinta, Pandu memanah hingga resi itu tewas.
Kedua istri Pandu Dewanata mengandung dengan cara meminta kepada Dewa. Pandu Dewanata
akhirnya tewas karena kutukan yang ditimpa kepadanya, dan Madri menyusul
suaminya dengan membakar dirinya.
Lima belas tahun setelah ia hidup
membujang, ketika Kunti
dan putera-puteranya berada jauh, Pandu mencoba untuk bersenggama
dengan Madri. Atas
tindakan tersebut, Pandu wafat sesuai dengan kutukan yang diucapkan oleh resi
yang pernah dibunuhnya. Kemudian Madri menitipkan putera kembarnya, Nakula dan Sadewa, agar
dirawat oleh Kunti sementara ia membakar dirinya sendiri untuk menyusul
suaminya ke alam baka.
Parasara
|
11. PARASARA
Parasara adalah seorang tokoh terkenal dalam
agama
Hindu yang menulis buku Jyotisha (Astronomi Hindu) dan Purana, khususnya Wisnu Purana. Ia merupakan putera dari bagawan Çakri (Shakri) alias Shaktya, dan merupakan cucu dari Maharsi Wasistha. Ia seorang Resi yang sangat sakti dan berasal dari
keluarga Resi yang sakti dan terkenal pula. Riwayatnya muncul sekilas dalam
Mahabharata. Dalam kitab tersebut, ia dikisahkan menikah dengan Satyawati dan
menurunkan seorang putra bernama Byasa atau Resi Weda Wyasa (Rishi Veda Vyasa). Pada suatu hari, Bagawan
Parasara berdiri di tepi Sungai Yamuna, minta diseberangkan dengan perahu. Satyawati
(alias Durgandini atau Gandawati) menghampirinya lalu mengantarkannya ke
seberang dengan perahu. Di tengah sungai, Sang Parasara terpikat oleh
kecantikan Satyawati.
Satyawati kemudian
bercakap-cakap dengan Resi Parasara, sambil menceritakan bahwa ia terkena
penyakit yang menyebabkan badannya berbau busuk. Ayahnya Satyawati
berpesan, bahwa siapa saja lelaki yang dapat menyembuhkan penyakitnya dijadikan
suami. Mendengar hal itu, Resi Parasara mengatakan bahwa ia bersedia
menyembuhkan penyakitnya, lalu ia meraba kulit Satyawati.
Tak berapa lama kemudian, bau harum semerbak tersebar dan bahkan dapat tercium
pada jarak seratus "Yojana". Karena Resi Parasara berhasil
menyembuhkannya, maka ia berhak menjadikan Satyawati sebagai istri.
Setelah lamaran disetujui oleh
orangtua Satyawati,
Parasara dan Satyawati melangsungkan pernikahan. Kedua mempelai menikmati malam
pertamanya di atas sebuah perahu yang terapung di tengah sungai Yamuna. Di sana Resi Parasara menciptakan kabut gelap nan
tebal agar tidak perahunya tidak dapat dilihat orang. Perahu tersebut bagaikan
sebuah pulau yang diselimuti kabut tebal. Dari hasil hubungannya, lahirlah Rsi Byasa yang sangat
luar biasa. Beliau mampu mengucapkan ayat-ayat Veda bahkan ketika baru
lahir.
12. PARIKESIT
Parikesit atau Pariksita
adalah seorang tokoh dari wiracarita Mahabharata.
Ia adalah raja Hastina
dan cucu Arjuna.
Ayahnya adalah Abimanyu
sedangkan putranya adalah Janamejaya.
Parikesit dalam pewayangan Jawa
Parikesit adalah putera Abimanyu alias
Angkawijaya, kesatria Plangkawati dengan permaisuri Dewi Utari, puteri Prabu Matsyapati dengan
Dewi Ni
Parikesit
|
Yustinawati dari Kerajaan
Wirata. Ia seorang anak yatim, karena ketika ayahnya gugur di medan perang Bharatayuddha,
ia masih dalam kandungan ibunya. Parikesit lahir di istana Hastinapura
setelah keluarga Pandawa
boyong dari Amarta ke Hastinapura.Parikesit naik tahta negara Hastinapura
menggantikan kakeknya Prabu Karimataya, nama gelar Prabu Yudistira
setelah menjadi raja negara Hastinapura. Ia berwatak bijaksana, jujur dan adil.
13. EKALAWYA
Ekalawya adalah seorang pangeran dari kaum Nisada. Kaum ini adalah kaum yang paling rendah yaitu kaum
pemburu, namun memiliki kemampuan yang setara dengan Arjuna dalam ilmu memanah. Bertekad
ingin menjadi pemanah terbaik di dunia, lalu ia pergi ke Hastina ingin
berguru kepada Bagawan Drona. Tetapi ditolaknya.
Dalam bahasa
Sansekerta, kata Ekalavya secara harfiah berarti
"ia yang memusatkan pikirannya kepada suatu ilmu/mata pelajaran".
Sesuai dengan arti namanya, Ekalawya adalah seorang kesatria yang memusatkan
perhatiannya kepada ilmu memanah.
Ekalawya dalam versi pewayangan Jawa
Dalam pewayangan Jawa, Ekalawya atau
Ekalaya atau Ekalya (dalam cerita pedalangan dikenal pula dengan nama
"Palgunadi") adalah Raja negara Paranggelung. Ekalaya mempunyai
isteri yang sangat cantik dan sangat setia bernama Dewi Anggraini,
puteri hapsari (bidadari)
Warsiki.
Ekalaya seorang raja kesatria,
yang selalu mendalami olah keprajuritan dan menekuni ilmu perang. Ia sangat
sakti dan sangat mahir mampergunakan senjata panah. Ia juga mempunyai cincin
pusaka bernama Mustika Ampal yang menyatu dengan ibu jari tangan kanannya.
Ekalaya berwatak jujur, setia, tekun dan tabah, sangat mencintai istrinya.
Ekalaya adalah seseorang yang
gigih dalam menuntut ilmu. Suatu ketika Prabu Ekalaya mendapatkan bisikan ghaib
untuk mempelajari ilmu atau ajian Danurwenda yang kebetulan hanya dimiliki oleh
Resi Drona.
Sedangkan Sang Resi sudah berjanji tidak akan mengajarkan ilmu tersebut kepada
orang lain melainkan kepada para Pandawa dan Korawa saja. Dengan kegigihannya Prabu Ekalaya belajar sendiri
dengan cara membuat patung Sang Resi dan belajar dengan sungguh-sungguh
sehingga berhasil menguasai ajian tersebut.
Istri Prabu Ekalaya sangat
cantik jelita sehingga membuat Arjuna berhasrat padanya, Dewi Anggraini mengadukan hal
tersebut kepada suaminya sehingga terjadi perselisihan dengan Arjuna. Prabu
Ekalaya mempertahankan haknya sehingga bertarung dengan Arjuna yang menyebabkan
Arjuna sempat
mati yang kemudian dihidupkan kembali oleh Prabu Batara Sri Kresna
Dalam perselisihannya dengan Arjuna, Ekalaya
ditipu untuk merelakan ibu jari tangan kanannya dipotong oleh 'patung' Resi Drona, yang
mengakibatkan kematiaannya karena cincin Mustika Ampal lepas dari tubuhnya.
Menjelang kematiaanya, Ekalaya berjanji akan membalas kematiannya pada Resi Drona.
Dalam perang Bharatayuddha,
kutuk dendam Ekalaya menjadi kenyataan. Arwahnya menyatu dalam tubuh Arya Drestadyumena,
kesatria Panchala,
yang memenggal putus kepala Resi Drona hingga menemui ajalnya.
14. GARUDA
JATAYU
Jatayu
|
Jatayu adalah tokoh protagonis dari wiracarita Ramayana,
putera dari Sang Aruna
dan keponakan dari Sang Garuda. Ia merupakan saudara Sempati. Ia
adalah seekor burung yang melihat bagaimana Dewi Sita diculik oleh Rawana. Ia berusaha
melawan tetapi kalah bertarung dan akhirnya mati. Tetapi ketika belum mati dan
masih sekarat masih bisa melaporkan kepada Sri Rama bahwa Dewi Sita istrinya,
diculik.
Tempat dimana Sri Rama menemukan Jatayu
yang sedang sekarat dinamakan JatayuMangalam, sekarang dikenal sebagai ChadayaMangalam,
terletak di Distrik Kollam, Kerala. Batu besar
di tempat tersebut dinamai JatayuPara, diambil dari nama Jatayu. Tempat
itu dimanfaatkan sebagai obyek wisata.
Kisah Jatayu dalam Ramayana
Ketika Sita menjerit-jerit
karena dibawa kabur oleh Rawana, Jatayu yang sedang berada di dahan sebuah pohon
mendengarnya. Ia melihat ke atas, dan tampak Rahwana terbang membawa Sita,
puteri Prabu Janaka.
Jatayu yang bersahabat dengan Raja Dasarata,
merasa bertanggung jawab terhadap Sita yang merupakan istri putera sahabatnya,
Sri Rama. Dengan
jiwa ksatria meluap-luap dan berada di pihak yang benar, Jatayu tidak gentar
untuk melawan Rawana. Ia menyerang Rahwana dengan segenap tenaganya. Namun
Jatayu sudah renta. Ketika ia sedang berusaha menyelamatkan Sita dari Rahwana,
sayapnya ditebas dengan pedang. Jatayu bernasib naas. Tubuhnya terjatuh ke
tanah dan darahnya bercucuran.
15. KARNA
Karna
alias Radheya adalah salah satu tokoh dari wiracarita Mahabharata
yang terkenal. Ia sebenarnya adalah masih saudara satu ibu dengan tiga Pandawa, yaitu Yudistira, Werkodara dan Arjuna (Nakula dan Sadewa bukan
saudara langsung Karna, melainkan saudara sepupunya).
Dalam bahasa
Sansekerta, nama Karna secara harfiah berarti telinga. Dalam
makna yang tersirat, kata "Karna" dapat juga berarti "terampil"
atau "pandai". Karna juga menyandang nama "Radheya" saat
masih kecil. Nama itu diberikan oleh orangtua tirinya, yaitu Adirata dan Radha. Nama "Radheya" secara harfiah
berarti "putera Radha".
Anggapan terkenal mengatakan bahwa kata
"Karna" dipilih sebab ia dilahirkan melalui telinga, namun
anggapan tersebut tidak selamanya benar sebab beberapa versi mengatakan bahwa
Karna lahir normal, dan keperawanan ibunya (Kunti) kembali lagi
setelah melahirkan. Setelah bayi tersebut dilahirkan, Kunti tidak
memberinya nama dan menghanyutkannnya ke sungai Aswa, lalu dipungut oleh Adirata sebagai
hadiah bagi Radha. Semenjak saat itu, bayi yang dipungut
oleh Adirata diberi nama Radheya. Tidak ada yang mengetahui asal-usul Karna dan
bagaimana Karna dilahirkan, sampai Kunti membeberkan rahasia yang sebenarnya.
Karna dalam pewayangan Jawa
Karna dalam pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan dengan kisah aslinya dari kitab Mahabharata yang berasal dari Tanah Hindu, yaitu India, dan berbahasa Sansekerta. Beberapa perbedaan tersebut meliputi nama tokoh, lokasi, dan kejadian. Namun perbedaan tersebut tidak terlalu besar sebab inti ceritanya sama.
Ibu dari Karna dan Panca Pandawa yaitu Kunti, pernah mencoba sebuah aji pada masa kecilnya untuk memanggil seorang Dewa. Yang dipanggilnya adalah Dewa Matahari (Surya) dan beliau membuatnya hamil. Puteranya akan keluar dari telinga untuk menjaga keperawanan Kunti, maka dinamakannya Karna. Nama-nama Karna lainnya berhubungan dengan statusnya sebagai putera Dewa Matahari, yaitu Arkasuta, Suryatmaja dan lain sebagainya.
Oleh ibunya, Karna dihanyutkan
di sungai sampai ia ditemukan oleh Prabu Radeya dan diangkat anak, sayangnya
kerajaan Prabu Radeya tunduk kepada Hastinapura
dan ia dibesarkan oleh seorang sais prabu Dretarastra,
yang bernama Nandana atau Adirata. Oleh Adirata, Karna kemudian diberi nama Aradea.
Nama itu digunakan Karna sampai dewasa, hingga ia mengetahui identitas diri
yang sesungguhnya.
Meskipun Karna masih saudara
seibu dengan Yudistira,
Werkodara (Bima), dan Arjuna, tetapi para
Pandawa tidak
mengetahuinya sampai ia gugur di perang Bharatayuddha,
sehingga mereka suka menghinanya. Karna sangat mahir
menggunakan senjata panah.
Kesaktiannya setara dengan Arjuna. Ia mempunyai panah andalan bernama Kunta. Suatu
ketika, ketika terjadi uji tanding antara Korawa dengan
Pandawa sebagi murid-murid Drona, Karna berhasil menandingi kesaktian Arjuna. Namun karena
Karna bukan raja atau anak raja maka beliau diusir dari arena. Karena
mengetahui kesaktiannya, maka Duryodana, ketua para Korawa
mengangkatnya menjadi Raja Awangga. Sejak itu Karna bersumpah setia kepada
Duryodana.
Senjata andalannya, yaitu panah
Kunta adalah pemberian Batara Narada sebab beliau mengira bahwa Karna adalah Arjuna karena
kemiripannya. Panah tersebut adalah senjata yang paling ampuh, bahkan melebihi
Cakra milik Prabu Kresna
dan panah Pasupati
Arjuna, namun
untungnya hanya sekali pakai. Sarung dari panah tersebut yang masih disimpan
Batara Narada
kemudian dititpkan ke Bima untuk diberikan ke Arjuna adalah saat
para pandawa mengetahui bahwa Batara Narada salah alamat. Sarung dari Kunta
tersebut kemudian dipakai untuk memutus tali pusar bayi Tetuka alias Gatotkaca.
16. DROPADI
Dropadi
atau Draupadi adalah salah satu tokoh dari Wiracarita Mahabharata.
Ia adalah putri Prabu Drupada, Raja Kerajaan
Panchala. Pada kitab Mahabharata versi aslinya, Dropadi adalah istri daripada
para Pandawa
lima semuanya. Tetapi dalam tradisi pewayangan Jawa di kemudian hari,
ia hanyalah permaisuri
prabu Yudistira
saja.
Dropadi dalam pewayangan Jawa
Dalam budaya pewayangan Jawa, khususnya setelah
mendapat pengaruh Islam,
Dewi Dropadi diceritakan agak berbeda dengan kisah dalam kitab Mahabharata
versi aslinya. Dalam cerita pewayangan, Dewi Dropadi dinikahi oleh Yudistira
saja dan bukan milik kelima Pandawa. Cerita tersebut dapat disimak dalam lakon
"Sayembara Gandamana". Dalam lakon tersebut dikisahkan, Yudistira
mengikuti sayembara mengalahkan Gandamana yang diselenggarakan Raja Dropada. Siapa
yang berhasil memenangkan sayembara, berhak memiliki Dropadi. Yudistira ikut
serta namun ia tidak terjun ke arena sendirian melainkan diwakili oleh Bima. Bima berhasil mengalahkan Gandamana
dan akhirnya Dropadi berhasil didapatkan. Karena Bima mewakili Yudistira, maka
Yudistiralah yang menjadi istri Dropadi. Dalam tradisi pewayangan Jawa, putera
Dropadi dengan Yudistira bernama Raden Pancawala. Pancawala sendiri merupakan
sebutan untuk lima putera Pandawa.
17. DRUPADA
Drupada juga disebut Yajñasena
(Yadnyaséna), adalah nama salah satu tokoh Mahabharata.
Ia merupakan raja di Kerajaan Panchala. Pada masa mudanya merupakan
teman Drona, guru
para Pandawa
dan Korawa di Hastinapura.
Drupada memiliki seorang putera, seorang puteri, dan sorang anak waria.
Masing-masing bernama Drestadyumna, Dropadi, dan Srikandi.
Drupada dibunuh oleh Drona dalam pertempuran akbar di Kurukshetra.
Drupada merupakan ayah Amba, yang dalam
reinkarnasi berikutnya menjelma sebagai seorang pria bernama Srikandi.
Karena Srikandi mengingat kehidupan masa lalunya sebagai wanita, kadangkala ia
disebut Srikandini.
Drupada dalam Mahabharata
Saat masih muda, Drupada belajar
bersama Drona dan
menjadi temannya. Drona membuatnya berjanji untuk membagi segala kekayaannya.
Kemudian, saat Drupada menjadi raja di Panchaladesa,
Drona mengingatkan janjinya dan meminta kekayaannya. Drupada mengejek Drona
karena janji mereka yang tak dapat dipertanggungjawabkan saat di masa muda.
Dengan sangat marah, Drona menjadi guru para pangeran Kuru di Hastinapura.
Setelah mereka tamat, Drona menyuruh mereka untuk mengalahkan Drupada. Dalam
penyerangan yang tiba-tiba, Arjuna, salah satu Pandawa, melucuti
senjata Drupada dan memaksanya untuk menyerahkan separuh kerajaannya.
Drupada dalam pewayangan Jawa
Prabu Drupada yang waktu mudanya
bernama Arya Sucitra, adalah putra Arya Dupara dari Hargajambangan, dan
merupakan turunan ke tujuh dari Bathara Brahma. Arya Sucitra bersaudara sepupu dengan Bambang Kumbayana
atau Resi Drona
dan menjadi saudara seperguruan sama-sama berguru pada Resi Baratmadya.
Untuk mencari pengalaman hidup,
Arya Sucitra pergi meninggalkan Hargajembangan, mengabdikan diri ke negara Astina kehadapan
Prabu Pandudewanata
(Pandu). Ia menekuni seluk beluk tata kenegaraan dan tata pemerintahan. Karena
kepatuhan dan kebaktiannya kepada negara, oleh Prabu Pandu ia dijodohkan
atau dikawinkan dengan Dewi Gandawati, putri sulung Prabu Gandabayu dengan Dewi
Gandarini dari negara Pancala. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh tiga
orang putra masing-masing bernama Dewi Drupadi, Dewi Srikandi dan Arya
Drestadyumena.
Ketika Prabu Gandabayu mangkat,
dan berputra mahkota Arya Gandamana menolak menjadi raja, Arya Sucitra
dinobatkan menjadi raja Pancala dengan gelar Prabu Drupada. Dalam masa
kekuasaanya, Prabu Drupada berselisih dengan Resi Drona, dan
separuh dari wilayah negara Pancala direbut secara paksa melalui peperangan
oleh Resi Drona dengan bantuan anak-anak Pandawa dan Korawa. Di dalam perang besar Bharatayudha,
Prabu Drupada tampil sebagai senapati perang Pandawa. Ia gugur
melawan Resi Drona karena terkena Panah Cundamanik.
18.
DURYODANA
Duryodana atau Suyodana
adalah tokoh antagonis yang utama dalam wiracarita Mahabharata,
musuh utama para Pandawa.
Secara harfiah,
nama Duryodana dalam bahasa
Sansekerta memiliki arti "sulit ditaklukkan" atau dapat pula
berarti "tidak terkalahkan".Duryodana merupakan inkarnasi dari Iblis Kali. Ia lahir dari pasangan Dretarastra
dan Gandari.
Duryodana merupakan saudara yang tertua di antara seratus Korawa. Ia menjabat
sebagai raja di Kerajaan Kuru dengan pusat pemerintahannya di Hastinapura.
Duryodana
menikah dengan puteri Prabu Salya dan mempunyai putera bernama Laksmana (Laksmanakumara).
Duryodana digambarkan sangat licik dan kejam, meski berwatak jujur, ia mudah
terpengaruh hasutan karena tidak berpikir panjang dan terbiasa dimanja oleh
kedua orangtuanya. Karena hasutan Sangkuni, yaitu
pamannya yag licik dan berlidah tajam, ia dan saudara-saudaranya senang memulai
pertengkaran dengan pihak Pandawa. Dalam perang Bharatayuddha,
bendera keagungannya berlambang ular kobra. Ia dikalahkan oleh Bima pada pertempuran di hari kedelapan
belas karena pahanya dipukul dengan gada.
19.
JANAMEJAYA
Dalam wiracarita Mahabharata,
Janamejaya adalah nama seorang raja, memerintah Kerajaan
Kuru dengan pusat pemerintahannya yang bernama Hastinapura.
Ia adalah anak dari Maharaja Parikesit, sekaligus buyut Arjuna. Ia diangkat
menjadi raja pada usia yang masih muda karena ayahnya tewas digit Naga Taksaka. Cerita Mahabharata
konon dikisahkan oleh Bagawan Wesampayana kepada beliau.
Janamejaya menikahi Wapushtama,
dan memiliki dua putera bernama Satanika dan Sankukarna. Satanika diangkat
sebagai raja menggantikan ayahnya dan menikahi puteri dari Kerajaan Wideha, kemudian memiliki seorang putra
bernama Aswamedhadatta. Para keturunan Raja Janamejaya tersebut merupakan raja
legendaris yang memimpin Kerajaan Kuru, namun riwayatnya tidak muncul dalam Mahabharata.
20. BATARA
WISNU
Wisnu
|
Dalam ajaran agama Hindu,
Wisnu disebut juga Sri Wisnu atau Nārāyana) adalah Dewa
yang bergelar sebagai "shtiti" (pemelihara) yang bertugas
memelihara dan melindungi segala ciptaan Brahman. Dalam filsafat
Hindu Waisnawa,
Ia dipandang sebagai roh
suci dan Dewa yang tertinggi. Dalam filsafat Advaita
Vedanta dan tradisi Hindu umumnya, Dewa Wisnu dipandang sebagai salah satu
manifestasi Brahman
dan enggan untuk dipuja sebagai Tuhan tersendiri yang menyaingi atau sederajat dengan Brahman.
Dewa Wisnu dilukiskan sebagai Dewa yang berkulit
hitam-kebiruan atau biru gelap; berlengan enam, masing-masing memegang: gada, lotus, sangkala, dan chakra. Yang paling identik dengan Dewa Wisnu
adalah senjata chakra dan kulitnya yang berwarna biru gelap. Dalam filsafat Waisnawa, Wisnu
disebutkan memiliki wujud yang berbeda-beda atau memiliki aspek-aspek tertentu.
Wisnu sering dilukiskan memegang empat benda yang selalu melekat dengannya,
yakni:
- Terompet kulit kerang atau “Shankhya”, bernama “Panchajanya”, dipegang oleh tangan kiri atas, simbol kreativitas. Panchajanya melambangkan lima elemen penyusun alam semesta dalam agama Hindu, yakni: air, tanah, api, udara, dan aether.
- Chakram, senjata berputar dengan gerigi tajam, bernama “Sudarshana”, dipegang oleh tangan kanan atas, melambangkan pikiran. Sudarshana berarti pandangan yang baik.
- Gada yang bernama Kaumodaki, dipegang oleh tangan kiri bawah, melambangkan keberadaan individual.
- Bunga lotus atau Padma, simbol kebebasan. Padma melambangkan kekuatan yang memunculkan alam semesta.
21. BATARA GURU
Batara Guru merupakan Dewa yang
merajai kahyangan. Dia yang mengatur wahyu kepada para wayang, hadiah, dan
ilmu-ilmu. Batara Guru mempunyai sakti (istri) Dewi Uma, dan mempunyai beberapa anak. Berikut adalah
urutan anak-anak Batara Guru, dimulai dari yang paling sulung (menurut tradisi
wayang Jawa):
- Batara Sambu 5. Batara Wisnu
- Batara Brahma 6. Batara Ganesha
- Batara Indra 7. Batara Kala
- Batara Bayu 8. Hanoman
Betara Guru (Manikmaya) diciptakan
dari cahaya yang gemerlapan oleh Hyang Tunggal. Diciptakannya bersamaan dengan
cahaya yang berwarna kehitam-hitaman yang merupakan asal jadinya Ismaya
(Semar). Oleh Hyang Tunggal kemudian diputuskan kalau Manikmaya yang berkuasa
di Suryalaya, sedangkan Ismaya turun ke bumi untuk mengasuh para Pandawa.
Adapun saat Batara Guru diciptakan, ia merasa paling sempurna dan tiada
cacatnya. Oleh Hyang Tunggal diketahuinya perasaan Manikmaya itu, lalu Hyang
Tunggal bersabda kalau Manikmaya akan memiliki cacad berupa lemah di kaki,
belang di leher, bercaling, dan berlengan empat. Batara Guru amat menyesal
mendengar perkataan Hyang Tunggal itu, dan sabdanya itu betul-betul terjadi.
Suatu ketika Manikmaya merasa sangat dahaga, dan ia menemukan telaga. Saat
meminum air telaga itu, yang ternyata airnya beracun, lantas dimuntahkannya
kembali, maka ia mendapat cacad belang di leher. Saat lahirnya Nabi Isa,
Manikmaya juga datang untuk menyaksikan. Diperhatikannya kalau manusia ketika
lahir amatlah lemah kakinya. Seketika, kakinya terkena tulah, dan menjadi
lemahlah kaki kiri Manikmaya. Saat ia bertengkar dengan istrinya Dewi Uma,
dikutuknya Manikmaya oleh Dewi Uma, agar ia bercaling seperti raksasa, maka
bercalinglah Manikmaya. Sewaktu Manikmaya melihat manusia yang sedang
sembahyang yang bajunya menutupi tubuhnya, maka tertawalah Manikmaya karena
dikiranya orang itu berlengan empat. Maka seketika berlengan empatlah
Manikmaya. Betara Guru merupakan satu-satunya wayang kulit yang digambarkan
dalam posisi menghadap ke depan, ke arah manusia. Hal ini apat dilihat dari
posisi kakinya. Hanya saja karena berbentuk wayang, maka ia menghadap ke
samping. Wahana
(hewan kendaraan) Batara Guru adalah sang lembu Nandini.
Batara Guru adalah nama lain Siwa. Selain dikenal
dalam kisah wayang,
nama Batara Guru juga dikenal dalam mitologi
Batak sebagai dewa yang tinggal di Banua
Ginjang.
22. BATARA
KUBERA
Gelar sebagai Dewa
Kekayaan
|
Dalam agama Hindu, Kubera adalah dewa pemimpin golongan
bangsa Yaksa atau Raksasa. Meskipun demikian, ia lebih
istimewa dan yang utama di antara kaumnya. Ia bergelar "bendahara para
Dewa", sehingga ia disebut juga Dewa Kekayaan. Kubera merupakan putera
dari seorang resi
sakti bernama Wisrawa. Ia satu ayah dengan Rahwana, namun
lain ibu. Ia menjadi raja di Alengka, menggantikan Malyawan, namun di kemudian hari kekuasaannya direbut oleh Rahwana.
23. CITRAKSI
Citraksi
adalah seorang tokoh dari wiracarita Mahabharata.
Ia merupakan salah satu Korawa. Dalam versi pewayangan Jawa, ia sering terlihat
bersama-sama dengan dua saudaranya yang lain, yaitu Citraksa dan Durmagati.
24. DRESTADYUMNA
Drestadyumna
adalah seorang tokoh dari wiracarita Mahabharata.
Dalam bahasa Sansekerta, nama Dhristadyumna
secara harfiah
berarti "diagungkan karena keberaniannya". Dia merupakan kakak bagi Dropadi dan Srikandi,
keturunan Raja Drupada
yang berasal dari Kerajaan Panchala. Ia berada di pihak Pandawa saat perang di Kurukshetra. Dialah yang membunuh
Resi Drona. Saat
Sang Resi tertunduk
Drestadyumna
|
lemas dan kehilangan seluruh daya kekuataanya,
sebagai akibat dari kabar bohong tentang meninggalnya sang putera Aswatama,
Drestadyumena maju dan memenggal leher Sang Resi.
Drestadyumna dalam pewayangan Jawa
Dalam pewayangan Jawa, Arya
Drestadyumena atau Trustajumena adalah putra bungsu Prabu Drupada,
raja negara Panchala
dengan permaisuri Dewi Gandawati, putri Prabu Gandabayu dengan Dewi Gandini. Ia
mempunyai kakak kandung dua orang masing-masing bernama Dewi Drupadi,
istri Prabu Yudistira,
Raja Amarta (Indraprastha), dan Dewi Srikandi,
istri Arjuna.
Konon Arya Drestadyumna lahir
dari tungku pedupaan hasil pemujaan Prabu Drupada kepada Dewata yang
menginginkan seorang putera lelaki yang dapat membinasakan Resi Drona yang telah
mengalahkan dan menghinanya. Drestadyumna berwajah tampan, memiliki sifat
pemberani, cerdik, tangkas dan trenginas. Ia menikah dengan Dewi
Suwarni, putri Prabu Hiranyawarma, raja negara Dasarna. Dari perkawinan
tersebut ia memperoleh dua orang putra lelaki bernama Drestaka dan Drestara.
Drestadyumna ikut terjun dalam
kancah perang Bharatayuddha. Ia tampil sebagai senapati perang Pandawa,
menghadapi senapati perang Korawa, yaitu Resi Drona. Pada saat itu roh Ekalaya, raja
negara Parangggelung yang ingin menuntut balas pada Resi Drona menyusup
dalam diri Drestadyumna. Setelah melalui pertempuran sengit, akhirnya Resi
Drona dapat dibinasakan oleh Drestadyumna dengan dipenggal lehernya.
Drestadyumna mati setelah
berakhirnya perang Bharatayudha. Ia tewas dibunuh Aswatama,
putera Resi Drona,
yang berhasil menyusup masuk istana Hastina
dalam usahanya menuntut balas atas kematian ayahnya.
25. BYASA
Byasa
(dalam pewayangan disebut Resi Abyasa) adalah figur penting dalam agama Hindu. Beliau juga
bergelar Weda Wyasa (orang yang mengumpulkan berbagai karya para resi dari masa
sebelumnya, membukukannya, dan dikenal sebagai Weda. Beliau juga
dikenal dengan nama Krishna Dwaipayana. Beliau adalah filsuf, sastrawan India yang menulis epos
terbesar di dunia, yaitu Mahabharata. Sebagian riwayat hidupnya diceritakan
dalam Mahabharata.
Dalam Mahabharata, dapat diketahui bahwa
Selain dikenal sebagai tokoh yang membagi Weda menjadi empat
bagian, Byasa juga dikenal sebagai penulis (pencatat) sejarah dalam Mahabharata,
namun ia juga merupakan tokoh penting dalam riwayat yang disusunnya itu. Ibunya
(Satyawati)
menikah dengan Santanu,
Raja Hastinapura.
Dari perkawinannya lahirlah Citrānggada
dan Wicitrawirya.
Citrānggada gugur dalam suatu pertempuran, sedangkan Wicitrawirya wafat karena
sakit. Karena kedua pangeran itu wafat tanpa memiliki keturunan, Satyawati
menanggil Byasa agar melangsungkan suatu yajña (upacara
suci) untuk memperoleh keturunan. Kedua janda Wicitrawirya yaitu Ambika dan Ambalika
diminta menghadap Byasa sendirian untuk diupacarai.
Sesuai dengan aturan upacara,
pertama Ambika
menghadap Byasa. Karena ia takut melihat wajah Byasa yang sangat hebat, maka ia
menutup mata. Karena Ambika menutup mata selama upacara berlangsung, Byasa
berkata bahwa anak Ambika akan terlahir buta. Kemudian Ambalika
menghadap Byasa. Sebelumnya Satyawati mengingatkan agar Ambalika tidak menutup mata
supaya anaknya tidak terlahir buta seperti yang terjadi pada Ambika. Ketika
Ambalika memandang wajah Byasa, ia menjadi takut namun tidak mau menutup mata
sehingga wajahnya menjadi pucat. Byasa berkata bahwa anak Ambalika akan
terlahir pucat. Anak Ambika yang buta bernama Dretarastra,
sedangkan anak Ambalika yang pucat bernama Pandu. Karena kedua
anak tersebut tidak sehat jasmani, maka Satyawati memohon agar Byasa melakukan
upacara sekali lagi. Kali ini, Ambika dan Ambalika tidak mau menghadap Byasa,
namun mereka menyuruh seorang dayang-dayang untuk mewakilinya. Dayang-dayang
itu bersikap tenang selama upacara, maka anaknya terlahir sehat, dan diberi
nama Widura.
Byasa tinggal di sebuah hutan di
wilayah Kurukshetra,
dan sangat dekat dengan lokasi Bharatayuddha,
sehingga ia tahu dengan detail bagaimana keadaan di medan perang Bharatayuddha,
karena terjadi di depan matanya sendiri. Setelah pertempuran berakhir, Aswatama lari
dan berlindung di asrama Byasa. Tak lama kemudian Arjuna beserta para
Pandawa
menyusulnya. Di tempat tersebut mereka berkelahi. Baik Arjuna maupun Aswatama
mengeluarkan senjata sakti. Karena dicegah oleh Byasa, maka pertarungan mereka
terhenti.
26. SANGKUNI
Sangkuni atau Sakuni
adalah seorang tokoh antagonis dari wiracarita Mahabharata
dan merupakan paman para Korawa, sebab beliau adalah kakak lelaki daripada Dewi Gandari, ibu para
Korawa. Ketika
para Pandawa
berjudi melawan para Korawa, ialah yang menjadi pemain pada pihak Korawa.
Sangkuni
|
Sangkuni dalam pewayangan Jawa
Arya Sakuni yang waktu mudanya
bernama Trigantalpati adalah putra kedua Prabu Gandara, raja negara
Gandaradesa dengan permaisuri Dewi Gandini. Ia mempunyai tiga orang saudara
kandung masing-masing bernama Dewi Gandari, Arya Surabasata dan Arya Gajaksa.
Arya Sakuni menikah dengan Dewi
Sukesti, putri Prabu Keswara raja negara Plasajenar. Dari perkawinan tersebut
ia memperoleh tiga orang putra bernama Arya Antisura alias Arya Surakesti, Arya
Surabasa dan Dewi Antiwati yang kemudian diperistri Arya Udawa, patih negara
Dwarawati.
Sakuni mempunyai sifat atau
watak yang tangkas, pandai bicara, buruk hati, dengki dan licik. Ia bukan saja
ahli dalam siasat dan tata pemerintahan serta ketatanegaraan, tetapi juga mahir
dalam olah keprajuritan. Sakuni mempunyai pusaka berwujud "Cis"
(Tombak pendek untuk memerintah gajah) yang mempunyai khasiat dapat menimbulkan
air bila ditancapkan ke tanah.
Dalam perang Bharatayuddha,
Sakuni diangkat menjadi Senapati Agung Kurawa setelah gugurnya Prabu Salya, raja
negara Mandaraka. Ia mati dengan sangat menyedihkan di tangan Bima. Tubuhnya dikuliti dan kulitnya
diberikan kepada Dewi
Kunti untuk melunasi sumpahnya. Mayat Sakuni kemudian dihancurkan dengan
Gada Rujakpala.
27. YUYUTSU
Yuyutsu adalah seorang
tokoh protagonis dari wiracarita Mahabharata.
Nama Yuyutsu dalam bahasa Sansekerta artinya ialah "yang
memiliki kemauan untuk berperang/bertempur".Ia adalah saudara para Korawa, dari ibu
yang lain, seorang dayang-dayang. Berbeda dengan para Korawa, ia memihak Pandawa saat perang di Kurukshetra. Hal itu membuatnya
menjadi penerus garis keturunan Drestarastra,
sementara saudaranya yang lain (Korawa) gugur semua di medan Kuru atau Kurukshetra.
Setelah Yudistira
mengundurkan diri dari dunia,
Yuyutsu diangkat menjadi raja di Indraprasta.
28. SRIKANDI
Srikandi
|
Srikandi adalah salah
satu putera Raja Drupada
dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan
Panchala yang muncul dalam kisah wiracarita
dari India, yaitu Mahabharata.
Ia merupakan penitisan Dewi Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata
ia diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia
diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria).
Dalam versi pewayangan
Jawa terjadi hal
yang hampir sama, namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini
merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata
versi India.
Srikandi dalam Pewayangan Jawa
Srikandi dikisahkan lahir karena
keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan
Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua
kakaknya, Dewi Dropadi
dan Drestadyumna,
dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan,
sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.
Dewi Srikandi sangat gemar dalam
olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya
tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang
kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh
seorang putera.
Dewi Srikandi menjadi suri
tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan
keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha,
Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa
menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata
yang telah gugur untuk menghadapi Resi Bisma, senapati agung
balatentara Korawa.
Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Resi Bisma, sesuai kutukan
Dewi Amba, putri
Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang mati terbunuh oleh Resi Bisma. Dalam akhir
riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang
menyelundup masuk ke keraton Hastina setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.
29. SITA
Sita adalah tokoh
protagonis dari wiracarita Ramayana. Ia adalah puteri Raja Janaka dari Mithila, dan
merupakan istri Rama
yang didapat dari sebuah sayembara. Menurut pandangan Hindu, ia adalah
inkarnasi dari Laksmi,
Dewi keberuntungan, istri Dewa Wisnu. Dewi Sita diculik oleh Rahwana yang
ingin mengawininya.
30. SUBADRA
Subadra atau Sembadra
(dalam tradisi pewayangan Jawa) merupakan salah satu tokoh penting dalam
Wiracarita Mahabharata, kisah epik Hindu. Ia merupakan
puteri Prabu Basudewa
(Raja di Kerajaan Surasena), dan juga merupakan saudara
tiri Krishna
atau Kresna. Subadra (Dewi Sumbadra menurut ucapan Jawa) ini yang merupakan
penjelmaan dari Dewi
Sri adalah istri pertama dari Arjuna (putra Pandu ketiga), dan ibu dari Abimanyu.
Ia juga terkenal dalam budaya pewayangan Jawa sebagai seorang
putri anggun, lembut, tenang, setia dan patuh pada suaminya. Ia merupakan sosok
ideal priyayi putri Jawa. Subadra yang sewaktu kecil bernama Rara Ireng
mempunyai dua orang kakak yaitu Kakrasana yang kemudian menjadi raja Mandura
bergelar Prabu Baladewa
dan Narayana yang kemudian menjadi raja di Dwarawati dengan gelar Prabu Sri
Batara Kresna.
Subadra menikah dengan salah satu anggota Pandawa yakni Arjuna. Dari rahim
Sumbadra inilah lahir Abimanyu yang kelak kemudian akan menurunkan Prabu Parikesit.
31. TOGOG
Togog adalah putra dewa yang lahir sebelum
semar tapi karena
tidak mampu mengayomi bumi maka togog kembali keasal lagi alias tidak jadi
lahir dan waktu bersamaan lahirlah semar.
32. KUNTI
Kunti
dalam kisah Mahabharata adalah puteri dari Prabu Kuntiboja. Ia adalah saudara dari Basudewa yang
merupakan ayah dari Baladewa, Kresna dan Subadra. Ia juga adalah ibu daripada Yudistira, Werkodara,
dan Arjuna dan
juga adalah istri pertama Pandu Dewanata. Selain itu Kunti juga ibu dari Karna.
Ayah Kunti adalah Raja Surasena dari Wangsa Yadawa, dan saat
bayi ia diberi nama Pritha. Ia merupakan adik Basudewa, ayah Kresna. Kemudian ia
diadopsi oleh Raja Kuntiboja yang tidak memiliki anak, dan semenjak itu ia
diberi nama Kunti. Setelah Kunti menjadi puterinya, Raja Kuntibhoja dianugerahi
anak.
Sepeninggal Pandu Dewanata, ia
mengasuh Nakula
dan Sadewa, anak
Pandu Dewanata dari Dewi
Madri. Seusai Bharatayuddha, ia dan iparnya Dretarastra,
Gandari, dan Widura pergi
bertapa sampai akhir hayatnya.
33. SEMAR
Semar Badranaya adalah tokoh
punakawan yang dalam wayang Jawa/Sunda memiliki peran yang lebih utama
ketimbang wayang babon (wayang dengan tokoh asli India). Merupakan Jelmaan dari
Bambang Ismaya anak tertua dari Sang Hyang Tunggal.
Semar Badranaya adalah tokoh punakawan yang
dalam wayang Jawa/Sunda memiliki peran yang lebih utama ketimbang wayang babon
(wayang dengan tokoh asli India). Merupakan Jelmaan dari Bambang Ismaya anak
tertua dari Sang Hyang Tunggal.
Sang Hyang Wenang berputra satu yang bernama Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Tunggal kemudian beristri Dewi Rekatawati putri kepiting raksasa yang bernama
Rekata. Pada suatu hari Dewi Rekatawati bertelur dan dengan kekuatan yang
menetap dari Sang Hyang Tunggal. Telur tersebut terbang
menghadap Sang Hyang Wenang, akhirnya telur tersebut
menetas sendiri dengan berbagai keajaiban yang menyertainya, dimana kulit
telurnya menjadi Tejamantri atau Togog, putih telurnya
menjadi Bambang Ismaya atau Semar dan
kuning telurnya menjadi Manikmaya yang kemudian menjadi Batara Guru.
Dalam riwayat lain telur tersebut menetas menajadi langit, bumi dan cahaya atau
teja. Sehingga dikatakan bahwa Semar adalah tokoh dominan sebagai pelindung
bumi.
34. SUBALI
Subali atau Bali
adalah seorang tokoh dalam wiracarita Ramayana. Ia adalah seekor wanara dan saudara Sugriwa. Ia
merupakan putera Indra, dan lahir dari rambut (bala) ibunya, dan dari
sanalah namanya didapat. Ia memerintah di sebuah kerajaan yang dihuni para wanara yang bernama
Kerajaan Kiskenda. Ia memiliki seorang istri
bernama Tara, dan seorang putera bernama Anggada.
35. SUGRIWA
Sugriwa adalah seorang
tokoh protagonis dalam wiracarita Ramayana. Ia adalah seorang raja kera dan merupakan seekor
kera sendiri. Ia tinggal di Kerajaan Kiskenda bersama kakaknya yang bernama Subali. Ia adalah
teman Sri Rama dan
membantunya memerangi Rahwana untuk menyelamatkan dewi Sita.
Nama Sugriwa dalam bahasa Sansekerta (Sugrīva) artinya adalah
"leher yang tampan".
36.
JAYADRATA
Jayadrata
|
Dalam wiracarita Mahabharata,
Jayadrata adalah seorang raja di Kerajaan
Sindhu. Dia menikahi Dursala, adik perempuan Korawa bersaudara.
Jayadrata merupakan tokoh penting di balik pembunuhan Abimanyu. Ia menghadang
para ksatria Pandawa
saat mereka berusaha menyelamatkan Abimanyu. Atas
kematian Abimanyu, Arjuna
berusaha membunuh Jayadrata. Akhirnya pada Bharatayuddha
hari keempat belas, Jayadrata gugur di tangan Arjuna.
Jayadrata dalam pewayangan Jawa
Antara kisah Jayadrata dalam
kitab Mahabharata
dan pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan, namun tidak terlalu besar
karena inti ceritanya sama. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain disebabkan
oleh proses Jawanisasi, yaitu membuat kisah wiracarita dari India bagaikan
terjadi di pulau Jawa.
Jayadrata adalah seorang ksatria
yang sangat sakti dari pihak Korawa. Misteri menyelubungi asal usulnya. Kisahnya bermula
ketika Wrekudara lahir, ari-ari yang
membungkusnya dibuang. Pertapa tua, yaitu Bagawan Sapwani, secara kebetulan
memungutnya, mendoakannya, dan mengubahnya menjadi seorang bocah lelaki, yang
tumbuh dewasa dengan nama Jayadrata. Dari pandangan sekilas saja tampak jelas
kemiripan kekerabatan dengan Wrekudara dan putra Wrekudara, Raden Gatotkaca.
Ketika Jayadrata beranjak dewasa, ia dibujuk untuk datang ke Hastina oleh Sangkuni yang
cerdik, yang memandang perlu seorang sekutu yang seperti itu untuk melawan Pandawa. Di sana
Jayadrata diberi suatu kedudukan yang tinggi dan dikawinkan dengan saudara
perempuan Duryodana,
Dewi Dursilawati.
Hal ini mengikatnya dengan kuat pada pihak Kiri. Dalam Perang Bharatayuddha,
dialah yang membunuh ksatria muda Abimanyu, dan
setelah itu pada gilirannya ia dibunuh oleh Arjuna yang
kehilangan anaknya. Karakter Jayadrata adalah jujur, setia, dan terus terang
bagaikan Gatotkaca
di antara Korawa.
Ia mahir mempergunakan panah dan sangat ahli bermain gada. Oleh Resi Sapwani ia
diberi pusaka gada bernama Kyai Glinggang.
Jayadrata gugur di tangan Arjuna di medan
perang Bharatayuddha sebagai senapati perang Korawa. Kepalanya
terpangkas lepas dari badannya oleh panah sakti Pasupati
37. DASARATA
Dasarata adalah tokoh
dari wiracarita
Ramayana,
seorang raja putera Aja, keturunan Ikswaku dan
berada dalam golongan Raghuwangsa atau Dinasti
Surya. Ia adalah ayah Sri Rama dan memerintah di Kerajaan
Kosala dengan pusat pemerintahannya di Ayodhya. Ramayana
mendeskripsikannya sebagai seorang raja besar lagi pemurah. Angkatan perangnya
ditakuti berbagai negara dan tak pernah kalah dalam pertempuran.
Dasarata memiliki tiga
permaisuri, yaitu Kosalya,
Sumitra, dan Kekayi. Lama
setelah pernikahannya, Dasarata belum juga dikaruniai anak. Akhirnya ia
mengadakan yadnya
(ritual suci) yang dipimpin Resi Srengga. Dari upacara tersebut, Dasarata
memperoleh payasam berisi air suci untuk diminum oleh para
permaisurinya. Kosalya
dan Kekayi minum
seteguk, sedangkan Sumitra meminum dua kali sampai habis. Beberapa bulan
kemudian, suara tangis bayi menyemarakkan istana. Yang pertama melahirkan
putera adalah Kosalya, dan puteranya diberi nama Rama. Yang kedua adalah
Kekayi, melahirkan putera mungil yang diberi nama Bharata. Yang ketiga adalah Sumitra, melahirkan
putera kembar dan diberi nama Laksmana dan Satrugna.
38.
DRETARASTRA
Dretarastra
|
Dretarastra dalam
wiracarita Mahabharata, adalah putera Wicitrawirya
dan Ambika. Ia
buta semenjak lahir, karena ibunya menutup mata sewaktu mengikuti upacara Putrotpadana
yang diselenggarakan oleh Resi Byasa untuk memperoleh keturunan. Ia merupakan saudara tiri Pandu, dan lebih tua
darinya. Sebenarnya Dretarastra yang berhak menjadi Raja Hastinapura
karena ia merupakan putera Wicitrawirya yang tertua. Akan tetapi beliau buta
sehingga pemerintahan harus diserahkan adiknya. Setelah Pandu wafat, ia
menggantikan jabatan adiknya tersebut. Dretarastra adalah bapak dari para Korawa dan suami
Dewi Gandari.
Ayah Dretarastra adalah Wicitrawirya
dan ibunya adalah Ambika.
Setelah Wicitrawirya wafat tanpa memiliki keturunan, Satyawati
mengirim kedua istri Wicitrawirya, yaitu Ambika dan Ambalika, untuk
menemui Resi Byasa,
sebab Sang Resi akan mengadakan suatu upacara bagi mereka agar memperoleh
keturunan. Satyawati
menyuruh Ambika
agar menemui Resi Byasa
di ruang upacara. Setelah Ambika memasuki ruangan upacara, ia melihat wajah
Sang Resi sangat dahsyat dengan mata yang menyala-nyala. Hal itu membuatnya
menutup mata. Karena Ambika menutup mata selama upacara berlangsung, maka
anaknya terlahir buta. Anak tersebut adalah Dretarastra.
Karena Dretarastra terlahir
buta, maka tahta kerajaan diserahkan kepada adiknya, yaitu Pandu. Setelah Pandu
wafat, Dretarastra menggantikannya sebagai raja (kadangkala disebut sebagai
pejabat pemerintahan untuk sementara waktu). Dalam memerintah, Dretarastra
didampingi oleh keluarga dan kerabatnya, yaitu sesepuh Wangsa Kuru seperti
misalnya Bisma, Widura, Drona, dan Krepa.
Saat putera pertamanya yaitu Duryodana
lahir, Widura
dan Bisma
menasihati Dretarastra agar membuang putera tersebut karena tanda-tanda buruk
menyelimuti saat-saat kelahirannya. Namun karena rasa cintanya terhadap putera
pertamanya tersebut, ia tidak tega melakukannya dan tetap mengasuh Duryodana
sebagai puteranya.
16. BATARA
INDRA
Indra
|
Dalam ajaran agama Hindu,
Dewa Indra adalah manifestasi Brahman yang
bergelar sebagai Dewa cuaca dan raja kahyangan. Oleh orang-orang bijaksana,
Dewa Indra diberi gelar Dewa petir, Dewa hujan, Dewa perang, raja surga,
pemimpin para Dewa, dan banyak lagi sebutan untuk Dewa Indra sesuai dengan
karakter yang dimilikinya. Beliau adalah Dewa yang memimpin delapan Wasu.
Dewa Indra juga terkenal dalam
kitab-kitab Purana
dan Itihasa.
Dalam kitab-kitab tersebut posisinya lebih menonjol sebagai raja kahyangan dan
pemimpin para Dewa. Dewa
Indra juga disebut Dewa perang, karena Beliau dikenal sebagai Dewa yang
menaklukkan tiga benteng musuh (Tri Puramtaka). Beliau memiliki senjata yang
disebut Bajra. Kendaraan Beliau adalah seekor gajah yang bernama Airawata. Istri Beliau Dewi Sachi.
Dewa Indra muncul dalam kitab Mahabarata.
Beliau menjemput Yudistira bersama seekor anjing, yang mencapai puncak
gunung Mahameru untuk mencari Swargaloka. Kadangkala Dewa Indra disamakan
dengan Zeus dalam Mitologi
Yunani. Dalam agama
Buddha, beliau
disamakan dengan Sakra.
39. BATARA
NARADA
Narada atau Narada
Muni adalah seseorang yang bijaksana dalam tradisi Hindu, yang memegang
peranan penting dalam kisah-kisah Purana, khususnya Bhagawatapurana. Narada digambarkan sebagai pendeta
yang suka mengembara dan memiliki kemampuan untuk mengunjungi planet-planet dan
dunia yang jauh. Ia selalu membawa alat musik yang dikenal sebagai vina, yang pada mulanya dipakai oleh Narada untuk
mengantarkan lagu pujian, doa-doa, dan mantra-mantra sebagai rasa bakti
terhadap Dewa Wisnu
atau Kresna.
Dalam tradisi Waisnawa
ia memiliki rasa hormat yang istimewa dalam menyanyikan nama Hari dan Narayana
dan proses pelayanan didasari rasa bakti yang diperlihatkannya, dikenal sebagai
bhakti yoga seperti yang dijelaskan dalam
kitab yang merujuk kepadanya, yang dikenal sebagai Narad Bhakti Sutra.
Menurut legenda, Narada
dipandang sebagai Manasputra, merujuk kepada kelahirannya 'dari pikiran
Dewa Brahma',
atau makhluk hidup pertama seperti yang digambarkan dalam alam semesta menurut Purana. Ia
dihormati sebagai Triloka sanchaari, atau pengembara sejati yang
mengarungi tiga dunia yaitu Swargaloka (surga), Mrityuloka (bumi)
dan Patalloka (alam bawah). Ia melakukannya untuk menemukan sesuatu mengenai
kehidupan dan kemakmuran orang. Ia orang pertama yang melakukan Natya Yoga. Ia juga dikenal sebagai Kalahapriya.
Narada Muni memiliki posisi
penting yang istimewa di antara tradisi Waisnawa. Dalam
kitab-kitab Purana,
ia termasuk salah satu dari dua belas Mahajana, atau 'pemuja besar' Dewa
Wisnu. Karena ia
adalah gandharva dalam kehidupan dahulu sebelum ia menjadi Resi, ia berada dalam
kategori Dewaresi.
Narada dalam budaya Jawa
Batara Narada ialah batara pengadil dan
penyampai berita ke Pandawa. Batara Narada tadinya bernama Kanekaputra. Saat ia
itu ia masih berupa Dewa yang bagus rupanya. Untuk mengejar kesaktiannya, maka
Kanekaputra bersemadi di tengah samudera dengan tidak bergerak-gerak. Oleh
Batara Guru hal ini dianggapnya sebagai usaha Kanekaputra untuk menguasai
Suryalaya. Maka diperintahkannya semua dewa untuk menyerang Kanekaputra dengan
segala macam senjata agar gagallah semadinya. Namun Kanekaputra tetap pada
semadinya, dan tetap tidak bergerak. Akhirnya Batara Guru sendiri pergi ke
hadapan Kanekaputra, dan terjadilah bantah-membantah antara keduanya. Dalam hal
ini, Batara Guru keluar sebagai pihak yang kalah-bantah. Maka untuk seterusnya
Batara Guru memanggil Kanekaputra dengan kakang, kanda, karena merasa lebih
muda.
Suatu ketika amat murkalah Batara Guru, hingga
dikutuknya Kanekaputra sehingga berwuju seperti sekarang, kemudian ia dipanggil
dengan Narada.
40. BATARA
SURYA
Surya
|
Dewa Surya adalah nama dewa dari agama Hindu
yang diadaptasi ke dalam dunia pewayangan sebagai dewa yang menguasai atau mengatur surya atau matahari,
sumber kehidupan.
Batara Surya ini adalah Dewa
yang menjadi tumpuan mahluk hidup di alam dunia ini terutama tumbuhan dan hewan, Batara Surya
terkenal sangat sakti
mandraguna dan menjadi salah satu Dewa andalan di kahyangan.
Batara Surya terkenal senang memberikan pusaka-pusaka atau ajian-ajian yang
dimilikinya terhadap orang-orang yang dipilihnya. Dewa ini terkenal mempunyai
banyak anak dari
berbagai wanita
(diantaranya dari Dewi Kunti yang melahirkan Adipati Karna dalam
kisah Mahabharata).
Batara Surya kena batunya ketika Anoman menyalahkan Batara Surya atas kejadian yang menimpa
Ibunya Dewi Anjani dan neneknya yang dikutuk menjadi tugu oleh suaminya sendiri. Anoman merasa
Batara Surya harus bertanggung jawab sehingga Anoman dengan
ajiannya mengumpulkan awan dari seluruh dunia untuk menutupi alam dunia
sehingga sinar sang surya tidak bisa mencapai bumi. Untungnya kejadian ini
dapat diselesaikan secara baik-baik sehingga Anoman dengan
sukarela menyingkirkan kembali awan-awannya sehingga alam dunia terkena sinar
mentari kembali.
41. BATARA KALA
Dalam ajaran agama Hindu,
Kala adalah putera Dewa Siwa yang bergelar sebagai dewa
penguasa waktu
(kata kala berasal dari bahasa
Sansekerta yang artinya waktu). Dewa Kala sering disimbolkan sebagai rakshasa yang
berwajah menyeramkan, hampir tidak menyerupai seorang Dewa.
Dalam filsafat Hindu, Kala merupakan simbol bahwa siapa
pun tidak dapat melawan hukum karma. Apabila sudah waktunya seseorang meninggalkan
dunia fana, maka pada saat itu pula Kala akan datang menjemputnya. Jika ada
yang bersikeras ingin hidup lama dengan kemauan sendiri, maka ia akan
dibinasakan oleh Kala. Maka dari itu, wajah Kala sangat menakutkan, bersifat
memaksa semua orang agar tunduk pada batas usianya.
Menurut pewayangan Jawa
Ketika Batara Guru
dan istrinya, Dewi Uma terbang menjelajah dunia dengan mengendarai Lembu Andini, dalam perjalanannya karena terlena maka
Batara Guru bersenggama dengan istrinya di atas kendaraan suci Lembu Andini,
sehingga Dewi Uma hamil. Ketika pulang dan sampai di kahyangan Batara Guru
kaget dan tersadar atas tindakannya melanggar larangan itu. Seketika itu Batara
Guru marah pada dirinya dan Dewi Uma, dia menyumpah-nyumpah bahwa tindakan yang
dilakukannya seperti perbuatan "Buto" (bangsa rakshasa).
Karena semua perkataannya mandi (bahasa
indonesia: cepat menjadi kenyataan) maka seketika itu juga Dewi Uma yang
sedang mengandung menjadi raksasa. Batara Guru kemudian mengusirnya dari
kahyangan Jonggringsalaka dan menempati kawasan kahyangan baru
yang disebut Gondomayit. Hingga pada akhirnya Dewi Uma yang berubah
raksasa itu terkenal dengan sebutan Batari Durga. Setelah itu ia melahirkan anaknya, yang
ternyata juga berwujud raksasa dan diberi nama Kala. Namun pada perkembangan
selanjutnya Batara Kala justru menjadi suami Batari Durga, karena memang di
dunia raksasa tidak mengenal norma-norma perkawinan. Batara Kala dan Batari
Durga selalu membuat onar marcapada (bumi) karena ingin membalas dendam pada
para dewa pimpinan Batara Guru.
Karena Hyang Guru kwatir kalau kayangan rusak maka
Batara Guru mengakui kalau Kala adalah anaknya. Maka diberi nama Batara Kala
dan Batara Kala minta makanan, maka Batara Guru memberi makanan tetapi
ditentukan yaitu :
- Orang yang mempunyai anak satu yang disebut ontang-anting
- Pandawa lima anak lima laki-laki semua atau anak lima putri semua.
- Kedono kedini, anak dua laki-laki perempuan jadi makanan Betara Kala.
Untuk menghindari jadi mangsa
Batara Kala harus diadakan upacara ruwatan. Maka untuk lakon-lakon seperti itu
di dalam pedalangan disebut lakon Murwakala atau lakon ruwatan. Di dalam lakon
pedalangan Batara Kala selalu memakan para pandawa karena dianggapnya Pandawa
adalah orang ontang anting. Tetapi karena Pandawa selalu didekati titisan Wisnu yaitu Batara Kresna. Maka Batara
Kala selalu tidak berhasil memakan Pandawa.
42.
BURISRAWA
Burisrawa
adalah seorang antagonis dari wiracarita Mahabharata.
Ia merupakan pangeran dari Kerajaan
Bahlika yang berperang pada pihak Korawa saat perang Bharatayuddha.
Ia tewas karena dipenggal oleh Arjuna saat ia hendak menyerang Satyaki.
43. CAKIL
Cakil,
merupakan seorang raksasa dengan rahang bawah yang lebih panjang daripada
rahang atas. Tokoh ini merupakan inovasi Jawa dan tidak dapat ditemui di India.
Dalam sebuah pertunjukan wayang, Cakil selalu
berhadapan dengan Arjuna
ataupun tokoh satria yang baru turun gunung dalam adegan Perang Kembang. Tokoh ini hanya merupakan tokoh
humoristis saja yang tidak serius namun sebenarnya Cakil adalah melambangkan
tokoh yang pantang menyerah dan selalu berjuang hingga titik darah penghabisan
karena dalam perang kembang tersebut cakil selalu tewas karena kerisnya
sendiri.
44.
DURSASANA
Dursasana
|
Dursasana atau Duhsasana
(ejaan Sansekerta: Duśśāsana) merupakan adik dari
Duryodana,
salah seorang Korawa
yang cukup terkenal. Ia putra Prabu Dretarasta
dengan Dewi Gandari.
Badannya gagah, mulutnya lebar dan mempunyai sifat sombong, suka bertindak
sewenang-wenang, menggoda wanita dan senang menghina orang lain. Ia mempunyai
seorang istri bernama Dewi Saltani, dan berputra satu orang yakni Dursala.
Nama Dursasana terdiri dari dua
kata Sansekerta, yaitu dur atau duh, dan
śāsana. Secara harfiah, kata Dusśāsana memiliki arti "sulit
untuk dikuasai" atau "sulit untuk diatasi".
Dursasana dalam pewayangan Jawa
Dursasana dikenal pula dalam
khazanah pewayangan
Jawa. Misalkan
menurut cerita pedalangan Yogyakarta ia tewas dalam kisah Bratayuda babak 5
lakon Timpalan / Burisrawa Gugur atau lakon Jambakan / Dursasana Gugur. Menurut
tradisi Jawa ia berkediaman di wilayah Banjarjungut, peninggalan mertuanya.
Dalam kisah "Pandawa
Dadu" (Sabhaparwa), Yudistira
kalah bermain dadu sehingga kekayaan, keraton, saudara-saudara, dan istrinya
telah berada dalam kekuasaan Korawa sebagai pembayaran taruhan. Dursasanalah yang paling
bernafsu untuk menelanjangi Dropadi (istri Yudistira),
sehingga Drupadi bersumpah akan menggulung rambutnya yang panjang jika telah
keramas dengan darah dari Dursasana, begitu pula Bima bersumpah akan meminum darah
Dursasana sebelum mati. Dursasana tewas di tangan Bima dalam perang Bharatayuddha.
45. JEMBAWAN
Dalam mitologi
Hindu, Jembawan alias Jambawanta atau Jamwanta, adalah
seekor beruang
yang dipercaya hidup dari zaman Kerta Yuga
sampai Dwapara
Yuga. Konon pada saat pengadukan "lautan susu", Jembawan turut
serta dan pernah mengelilingi dunia selama tujuh kali.
Jembawan pernah membunuh seekor singa yang memiliki
sebuah permata bernama Syamantaka. Permata itu berasal dari Prasena dan direbut oleh sang singa setelah membunuhnya. Kresna yang curiga
dengan kematian Prasena, mengikuti jejak Prasena sampai ia tahu bahwa Prasena
dibunuh oleh seekor singa dan singa tersebut dibunuh oleh seekor beruang, yaitu
Jembawan. Kresna
mengikuti jejak Jembawan sampai ke sebuah gua dan pertempuran pun terjadi.
Setelah dua puluh satu hari, Jembawan tunduk dan menyerah sebab ia sadar siapa Kresna sebenarnya.
Ia memberikan permata Syamantaka kepada Kresna, dan juga mempersembahkan
puterinya yang beranam Jambawati, yang pada akhirnya menjadi salah satu istri
Kresna.
Dalam wiracarita Ramayana,
Jembawan bersama para wanara membantu Rama menemukan Sita. Ketika Jembawan dan para wanara berada di tepi pantai yang
memisahkan pulau Alengka
dengan daratan India,
Jembawan membujuk Hanoman
agar ia mau terbang ke Alengka dan bertemu dengan Sita. Sebelumnya
Hanoman terkena kutukan bahwa ia akan melupakan semua kehebatannya, sampai
seseorang mengingatkannya kembali. Jembawan adalah orang yang mengingatkan
Hanoman, bahwa ia memiliki kekuatan untuk terbang dan melintasi lautan.
Kosalya adalah seorang
tokoh dalam wiracarita
Ramayana. Ia
adalah salah seorang istri
prabu Dasarata
dan merupakan ibu dari Sri Rama.
47. KRESNA
Dalam pewayangan Jawa, Prabu Kresna
merupakan Raja Dwarawati, kerajaan para Yadu dan merupakan
titisan Dewa Wisnu.
Kresna adalah anak Basudewa, Raja Mandura. Ia (dengan nama kecil Narayana) dilahirkan sebagai 3
bersaudara dengan kakaknya dikenal sebagai Baladewa
(Kakrasana) dan adiknya dikenal sebagai Subadra, yang tak
lain adalah isteri dari Arjuna. Ia memiliki tiga orang isteri dan tiga orang anak.
Isteri isterinya adalah Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi
Satyabama. Anak anaknya adalah Raden Boma Narakasura, Raden
Samba, dan Siti Sundari.
Pada perang Bharatayuddha,
beliau adalah sais atau kusir Arjuna. Ia juga merupakan salah satu penasihat utama Pandawa. Sebelum
perang melawan Karna, atau dalam babak yang dinamakan Karna Tanding sebagai
sais Arjuna beliau memberikan wejangan panjang lebar kepada Arjuna. Wejangan
beliau dikenal sebagai Bhagawad Gita.
Kresna dikenal sebagai seorang
yang sangat sakti. Ia memiliki kemampuan untuk meramal, mengubah bentuk menjadi
raksasa, dan memiliki bunga Wijaya Kusuma yang dapat menghidupkan kembali orang
yang mati. Ia juga memiliki senjata yang dinamakan Cakrabaswara yang mampu
digunakan untuk menghancurkan dunia, pusaka-pusaka sakti, antara lain Senjata Cakra, Kembang Wijayakusuma, Terompet kerang (Sangkala) Pancajahnya, Kaca paesan, Aji Pameling dan Aji
Kawrastawan.
Setelah meninggalnya Prabu Baladewa
(Resi Balarama), kakaknya, dan musnahnya seluruh Wangsa Wresni, Prabu Kresna
menginginkan moksa.
Ia wafat dalam keadaan bertapa dengan perantara panah seorang pemburu
bernama Jara yang mengenai kakinya.
48. NAKULA
Nakula
adalah seorang tokoh protagonis dari wiracarita Mahabharata.
Ia merupakan putera Dewi Madri, kakak ipar Dewi Kunti. Ia adalah saudara
kembar Sadewa
dan dianggap putera Dewa Aswin, Dewa tabib kembar.
Menurut kitab Mahabharata,
Nakula sangat tampan dan sangat elok parasnya. Menurut Dropadi, Nakula
merupakan suami yang paling tampan di dunia. Namun, sifat buruk Nakula adalah
membanggakan ketampanan yang dimilikinya. Hal itu diungkapkan oleh Yudistira
dalam kitab Prasthanikaparwa.
Nakula dalam pewayangan Jawa
Nakula dalam pedalangan Jawa
disebut pula dengan nama Pinten (nama tumbuh-tumbuhan yang daunnya dapat
dipergunakan sebagai obat). Ia merupakan putera keempat Prabu Pandudewanata, raja
negara Hastinapura
dengan permaisuri Dewi Madri, puteri Prabu Mandrapati dengan Dewi Tejawati, dari
negara Mandaraka. Ia lahir kembar bersama adiknya, Sahadewa atau Sadewa. Nakula juga
menpunyai tiga saudara satu ayah, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti, dari negara
Mandura bernama Puntadewa (Yudistira), Bima alias Werkudara dan Arjuna
Nakula mempunyai watak jujur, setia, taat, belas
kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia. Ia tinggal di kesatrian
Sawojajar, wilayah negara Amarta. Nakula mempunyai dua orang isteri yaitu:
- Dewi Sayati puteri Prabu Kridakirata, raja negara Awuawulangit, dan memperoleh dua orang putera masing-masing bernama Bambang Pramusinta dan Dewi Pramuwati.
- Dewi Srengganawati, puteri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa yang tinggal di sungai Wailu (menurut Purwacarita, Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra alias Ekapratala) dan memperoleh seorang putri bernama Dewi Sritanjung. Dari perkawinan itu Nakula mendapat anugrah cupu pusaka berisi air kehidupan bernama Tirtamanik.
Setelah selesai perang Bharatayuddha,
Nakula diangkat menjadi raja negara Mandaraka sesuai amanat Prabu Salya kakak ibunya,
Dewi Madrim. Akhir riwayatnya diceritakan, Nakula mati moksa di gunung Himalaya
bersama keempat saudaranya.
49. PETRUK
Petruk
adalah punakawan yang tinggi dan berhidung panjang. Dalam suatu
kisah berjudul Petruk Menjadi Raja, dia memakai nama Prabu Kantong Bolong Bleh Geduweh. Menurut
versi Sunda, Petruk ini bernama Dawala.
50. PRAHASTA
Dalam wiracarita Ramayana, Prahastha
adalah seorang patih
(perdana
menteri) kerajaan Alengka, sekaligus paman dari raja
Alengka, Rahwana.
Meskipun wujud lahirnya seorang raksasa, namun Prahastha berbudi baik dan sering memberikan
nasehat kebaikan kepada Rahwana yang bersifat angkara murka. Sewaktu Alengka
diserang bala tentara kera, Prahastha ikut maju ke peperangan untuk membela
negaranya, akhirnya ia tewas di tangan Anila.
51. SADEWA
Sadewa
|
Sadewa atau Sahadewa
adalah seorang protagonis dari wiracarita Mahabharata.
Ia adalah seorang Pandawa
pula, tetapi berbeda dengan Yudistira, Bima, dan Arjuna ia adalah putra Dewi Madrim, adik Dewi Kunti. Ia adalah
saudara kembar Nakula
dan dianggap penitisan Aswino, Dewa Kembar.
Sadewa pandai dalam ilmu astronomi
yang ia pelajari di bawah bimbingan resi Drona. Sementara itu
juga mengerti banyak mengenai penggembalaan sapi. Oleh karena itu ia bisa menyamar
menjadi seorang gembala pada saat di negeri Wirata yang dikisahkan pada Wirataparwa.
Selama masa penyamarannya di Kerajaan
Matsya yang dipimpin Raja Wirata, Sadewa bertanggung jawab merawat sapi dan bersumpah
akan membunuh Raja Gandhara, Sangkuni, yang
telah memperdaya mereka sepanjang hidup. Ia berhasil memenuhi sumpahnya untuk
membunuh Sangkuni, pada saat hari kedua menjelang perang Bharatayuddha
berakhir.
Dari kelima Pandawa, Sadewa yang
termuda. Meski demikian ia dianggap sebagai yang terbijak di antara mereka. Yudistira
bahkan berkata bahwa ia lebih bijak daripada Brihaspati, guru para dewa. Sadewa adalah seorang ahli
perbintangan yang ulung dan dianggap mengetahui kejadian yang akan terjadi
dalam Mahabharata namun ia dikutuk bahwa apabila ia membeberkan apa yang
diketahuinya, kepalanya akan terbelah. Maka dari itu, selama dalam kisah ia
cenderung diam saja dibandingkan dengan saudaranya yang lain. Seperti Nakula
(kakaknya), Sadewa adalah ksatria berpedang yang ulung. Ia juga menikahi puteri
Jarasanda,
Raja di Magadha dan adik iparnya juga bernama Sadewa.
52. UTARA
Dalam wiracarita Mahabharata,
Utara adalah nama putera dan puteri dari Raja Wirata atau
Matsyapati dari Kerajaan Wirata, yang termasuk wlayah Kerajaan
Matsya. Utara adalah nama salah satu putera Raja Wirata. Ia turut
serta dalam pertempuran besar di Kurukshetra
dan memihak Pandawa.
Ia terbunuh pada hari pertama oleh Salya dari pihak Korawa. Saudaranya yang lain, yaitu Sweta dan Wretsangka,
terbunuh di tangan Bisma.
Utara memiliki adik perempuan bernama Utaraa.
Utaraa
atau Utari, adalah nama puteri Raja Wirata. Ia menikah
dengan Abimanyu,
putra Arjuna.
Dari perkawinannya ia memiliki seorang putera bernama Parikesit.
Utara mempunyai tiga saudara bernama Sweta, Utara, dan Wratsangka. Mereka
bertiga tewas di tangan Bisma Dewabrata dalam perang Bharatayuddha.
Pada saat Utara mengandung Parikesit, senjata sakti yang dilepaskan oleh Aswatama
mengarah ke janinnya. Namun atas perlindungan gaib dari Kresna, janin
tersebut terlindungi. Dengan selamat, bayi tersebut lahir sebagai penerus Dinasti
Kuru dan bernama Parikesit.
53. WIDURA
Widura adalah salah
seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata.
Ia adalah adik tiri bagi Pandu dan Dretarasta karena memiliki ayah yang sama, tetapi lain
ibu. Ayah Widura adalah Resi
Kresna Dwipayana Wyasa
atau Resi Byasa (Abyasa),
tetapi ibunya adalah seorang perempuan dari kasta sudra. Widura
mempunyai seorang putera bernama Sanjaya. Baik ia maupun puteranya tidak turut
terjun ke dalam medan pertempuran di Kurukshetra, yaitu perang
antara Pandawa
dan Korawa.
Widura merupakan orang yang
tanggap ketika timbul niat jahat di hati Dretarastra
dan Duryodana
untuk menyingkirkan para Pandawa. Maka sebelum Pandawa berangkat ke Waranawata untuk
berlibur, Widura memperingati Yudistira agar berhati-hati terhadap para Korawa dan ayah
mereka, yaitu Dretarastra. Saat keselamatan para Pandawa dan ibunya
terancam di Waranawata, berkali-kali Widura mengirimkan pesuruh untuk membantu
para Pandawa meloloskan diri dari setiap bencana yang menimpanya.
Dalam pertikaian antara Korawa dan Pandawa mengenai
masalah Hastinapura, Widura telah berusaha untuk mendamaikannya, mengingat
bahwa kedua belah pihak adalah satu keluarga dan saudara. Dalam usahanya
mencari perdamaian ia menghubungi sesepuh-sesepuh Pandawa dan Korawa, antara
lain Resi Bisma, Resi Drona, Prabu Dretarasta,
Sri Kresna,
Prabu Yudistira
dan Prabu Duryodana
serta menyatakan bahwa ialah yang menulis piagam penyerahan Hastinapura dari Resi Byasa (Abiyasa)
kepada Prabu Dretarasta sebagai pemangku kerajaan setelah Prabu Pandudewanata
mangkat. Ketika perang di Kurukshetra berkecamuk, Widura
tetap tinggal di Hastinapura meskipun ia tidak memihak para Korawa.
54. WILKATAKSINI
Wilkataksini adalah
raksasa yang sangat besar yang menjaga pantai Alengka. Pada
waktu Hanoman
terbang diatas pantai Alengka untuk mencari Sinta, Wilkataksini
menyedot Hanoman sampai kedalam perutnya, Hanoman berhasil menewaskannya dengan
cara merobek perutnya.
55. BASUPATI
Dalam wiracarita Mahabharata,
Prabu Basupati alias Prabu Basuparicara adalah putera Bathara
Srinada atau Prabu Basurata, raja negara Wirata yang pertama
dengan permaisuri Dewi Bramaniyuta, Putri Batara Brahma.
Prabu Basupati mempunyai adik kandung bernama Bramananeki yang menikah dengan
Bambang Parikenan, putra Bathara Bremani atau Brahmanaresi dengan Dewi Srihuna
alias Srihunon.
Karena ketekunannya bertapa,
Prabu Basupati menjadi sangat sakti, juga tahu segala bahasa binatang. Ia
mendapat anugerah Batara
Indra berwujud sebuah kereta sakti bernama "Amarajaya" lengkap dengan
bendera perangnya yang membuatnya kebal terhadap segala macam senjata. Dengan
kereta sakti Amarajaya, Prabu Basupati menaklukkan tujuh negara, masuk ke dalam
wilayah kekuasaan negara Wirata. Prabu Basupati menikah dengan Dewi Angati atau Dewi
Girika, putri Bagawan Kolagiri dengan Dewi Suktimati. Dari perkawinan tersebut,
ia memperoleh tiga orang putra masing-masing bernama Arya Basunada, Arya
Basukesti dan Arya Bamurti.
Prabu Basupati memerintah negara Wirata sampai
berusia lanjut. Ia menyerahkan tahta Kerajaan Wirata kepada Arya Basunada,
kemudian hidup sebagai brahmana sampai meninggal dalam keadaan bermudra.
56. BATARA
BAYU
Bayu
|
Gelar sebagai Dewa Angin
|
Bayu dalam agama Hindu
adalah Dewa utama,
bergelar sebagai Dewa angin. Udara (Vāyu) atau angin (Pāvana)
merupakan salah satu unsur dalam Panca Maha Bhuta, lima elemen dasar dalam
ajaran agama
Hindu.
Dewa
dalam agama
Hindu ini diadaptasi ke dalam dunia pewayangan sebagai
dewa penguasa angin yang bertempat tinggal di Khayangan Panglawung.
Batara bayu ditugaskan untuk mengatur dan menguasai angin. Pada zaman Treta Yuga,
Batara Bayu menjadi guru Hanoman agar kera tersebut menjadi sakti. Pada zaman Dwapara
Yuga, Batara Bayu menurunkan Werkudara (Bima). Ciri dari murid ataupun keturunan
dewa ini adalah mempunyai "Kuku Pancanaka".
Dalam dunia wayang Jawa, Dewa ini dikatakan memiliki Ajian. Hal tersebut
merupakan adaptasi budaya dan tak terdapat dalam mitologi
Hindu India. Ajian yang terkenal dari Batara Bayu adalah Sepiangin, Bayubraja
dan lain-lain
57. BATARA
BRAHMA
Dewa Brahma adalah salah satu di
antara Trimurti (Brahma, Wisnu, Çiwa). Dewa Brahma juga bergelar sebagai Dewa pengetahuan dan
kebijaksanaan. Beberapa orang bijaksana memberinya gelar sebagai Dewa api. Dewa
Brahma saktinya Dewi Saraswati, yang menurunkan segala ilmu pengetahuan ke
dunia.
Menurut mitologi Hindu, Dewa
Brahma lahir dengan sendirinya (tanpa Ibu) dari dalam bunga teratai yang
tumbuh di dalam Dewa Wisnu pada saat penciptaan alam semesta. Legenda lain
mengatakan bahwa Dewa Brahma lahir dari air. Di sana Brahman
menaburkan benih yang menjadi telur emas. Dari telur emas tersebut, lahirlah
Dewa Brahma Sang pencipta. Material telur emas yang lainnya menjadi Brahmanda,
atau telur alam semesta.
Brahma
|
Gelar sebagai Dewa pencipta
|
Menurut cerita kuno, pada saat
penciptaan alam semesta, Brahma menciptakan sepuluh Prajapati, yang konon
merupakan ayah-ayah (kakek moyang) manusia pertama. Menurut Manusmrti, sepuluh
Prajapati tersebut adalah: Marichi, Atri, Angirasa, Pulastya, Pulaha, Kratu,
Vasishtha, Prachetas atau Daksha, Bhrigu, dan Narada.
Beliau juga konon menciptakan tujuh pujangga besar yang disebut Sapta Rsi untuk menolongnya
menciptakan alam semesta. Menurut kisah di balik penulisan Ramayana, Dewa
Brahma memberkati Rsi Walmiki untuk menulis kisah Ramayana yang
menceritakan riwayat Ramachandra
yang pada masa itu sedang memerintah di Ayodhya.
58. CANGIK
Cangik adalah seorang
pelayan wanita pelawak
kesayangan para penonton biasanya mengiringi kehadiran Sumbadra atau
putri kelas atas lainnya. Meskipun perawakannya kurus, dadanya mengerut, dan
penampilannya aneh, dia sangat mudah tersipu-sipu dan genit, dengan sisir yang
selalu ia bawa sebagai buktinya. Suaranya tinggi, melengking dan seperti
bersiul, karena dia tidak mempunyai gigi
.
59. CITRAKSA
Citraksa
|
Citraksa adalah seorang
tokoh dari wiracarita
Mahabharata
yang berada di pihak Korawa. Citraksa adalah adik Duryodana dan
mempunyai saudara kembar, yaitu Citraksi. Sering dikisahkan dalam cerita pedalangan,
Citraksa dan Citraksi mempunyai sifat dan karakter yang sama, seperti gagap
dalam berbicara, tindakannya grusa-grusu. Dalam peperangan di luar Bharatayuddha,
Citraksa dan Citraksi sering menjadi bulan-bulanan anak-anak Pandawa seperti Antareja, Antasena, Gatotkaca, Abimanyu dan
lain-lain.
Kertawarma
|
Kertawarma atau Kritawarman
adalah seorang tokoh dari wiracarita Mahabharata.
Ia merupakan golongan Wangsa Wresni-Yadawa yang tinggal di Dwaraka. Dalam perang di Kurukshetra, ia memihak Duryodana (Korawa).
Kertawarma merupakan salah satu
kesatria Korawa
yang berhasil bertahan hidup bersama Aswatama dan Krepa. Bersama-sama
dengan mereka berdua, ia membunuh para kesatria pihak Pandawa yang
sedang tidur, yaitu kelima putera Dropadi, Drestadyumna, dan Srikandi.
Peristiwa tersebut dilakukan pada akhir Bharatayuddha
(perang di Kurukshetra).
Tiga puluh enam tahun setelah
perang besar terjadi, ia tewas dalam perang saudara yang terjadi antara Wangsa Wresni dan Yadawa. Kepalanya
dipenggal oleh Satyaki
dan dilakukan di hadapan Sri Kresna.
61.
LAKSAMANA
Laksmana adalah tokoh
protagonis dalam wiracarita Ramayana, putera Raja Dasarata dan
merupakan adik tiri dari Rama, pangeran Ayodhya. Namanya kadangkala dieja Laksmana, Lakshman, atau
Laxman.Menurut kitab Purana, Laksmana merupakan penitisan Shesha. Shesha adalah ular yang mengabdi kepada Dewa Wisnu dan menjadi
ranjang ketika Wisnu beristirahat di lautan susu. Shesha menitis pada setiap awatara Wisnu dan
menjadi pendamping setianya. Dalam Ramayana, ia
menitis kepada Laksmana sedangkan dalam Mahābhārata,
ia menitis kepada Baladewa. Laksmana merupakan putera ketiga Raja Dasarata yang
bertahta di negeri Ayodhya. Kakak sulungnya bernama Rama, kakak keduanya
bernama Bharata,
dan adiknya sekaligus kembarannya bernama Satrughna. Di
antara saudara-saudaranya, Laksmana memiliki hubungan yang sangat dekat
terhadap Rama. Mereka bagaikan duet yang tak terpisahkan. Ketika Rama menikah
dengan Dewi
Sita, Lakshmana juga menikahi adik Dewi Sita yang bernama Urmila.
62. RAMA
Rama
|
Dalam ajaran agama Hindu,
Rama atau Ramachandra adalah seorang raja legendaris yang
terkenal dari India
yang konon hidup pada zaman Treta Yuga, keturunan Dinasti
Surya atau Suryawangsa. Ia berasal dari Kerajaan
Kosala yang beribukota Ayodhya. Menurut pandangan Hindu, ia merupakan awatara Dewa Wisnu yang ketujuh
yang turun ke bumi pada zaman Treta Yuga. Sosok dan kisah kepahlawanannya yang
terkenal dituturkan dalam sebuah sastra
Hindu Kuno yang disebut Ramayana, tersebar dari Asia
Selatan sampai Asia Tenggara. Terlahir sebagai putera sulung dari
pasangan Raja Dasarata
dengan Kosalya,
ia dipandang sebagai Maryada Purushottama, yang artinya "Manusia
Sempurna". Setelah dewasa, Rama memenangkan sayembara dan
beristerikan Dewi Sita,
inkarnasi dari Dewi Laksmi.
Rama memiliki anak kembar, yaitu Kusa dan Lawa.
63. RAHWANA
Dalam mitologi
Hindu, Rahwana adalah tokoh utama yang bertentangan terhadap Rama dalam Sastra
Hindu, Ramayana.
Dalam kisah, ia merupakan Raja Alengka, sekaligus Rakshasa atau iblis, ribuan tahun yang lalu.
Rahwana dilukiskan dalam
kesenian dengan sepuluh kepala, menunjukkan bahwa ia memiliki pengetahuan dalam
Weda dan sastra.
Karena punya sepuluh kepala ia diberi nama "Dasamuka”,
"Dasagriva" dan "Dasakanta” . Ia juga memiliki dua puluh tangan,
menunjukkan kesombongan dan kemauan yang tak terbatas. Ia juga dikatakan
sebagai ksatria besar.
Rahwana memiliki banyak kerabat
dan saudara yang disebutkan dalam Ramayana.
Karena sulit menemukan data-data mengenai mereka selain Ramayana, tidak
banyak yang diketahui tentang mereka. Menurut Ramayana, ibu Rahwana adalah
puteri seorang Detya bernama Kekasi, menikahi seorang pertapa bernama Wisrawa.
Rahwana memiliki kakek bernama Pulastya, putera Brahma. Dari pihak
ibunya, Rahwana memiliki kakek bernama Sumali, dan ia
memiliki paman bernama Marica, putera Tataka, saudara Malyawan. Rahwana memiliki tiga istri, dan tujuh putera.
64.ABIMANYU
Abimanyu terdiri dari dua kata Sansekerta,
yaitu abhi (berani) dan man'yu (tabiat). Dalam bahasa
Sansekerta, kata Abhiman'yu secara harfiah berarti
"ia yang memiliki sifat tak kenal takut" atau "yang bersifat
kepahlawanan".
Abimanyu adalah seorang tokoh dari wiracarita Mahabharata.
Ia adalah putera Arjuna
dari salah satu istrinya yang bernama Subadra.
Ditetapkan bahwa
Abimanyu
|
Abimanyulah yang akan meneruskan
Yudistira.
Dalam wiracarita Mahabharata, ia dianggap seorang pahlawan yang tragis. Ia
gugur dalam pertempuran besar di Kurukshetra sebagai
ksatria termuda dari pihak Pandawa, karena baru berusia enam belas tahun. Abimanyu
menikah dengan Utara, puteri Raja Wirata dan memiliki
seorang putera bernama Parikesit, yang lahir setelah ia gugur.
Kresna yang sedang membahas hal tersebut dengan ibunya, Subadra. Kresna
berbicara Saat belum lahir karena berada dalam rahim ibunya, Abimanyu
mempelajari pengetahuan tentang memasuki formasi mematikan yang sulit ditembus
bernama Chakrawyuha dari Arjuna. Mahabharata
menjelaskan bahwa dari dalam rahim, ia menguping pembicaraan mengenai cara
memasuki Chakrawyuha dan kemudian Subadra (ibu Abimanyu) tertidur maka sang
bayi tidak memiliki kesempatan untuk tahu bagaimana cara meloloskan diri dari
formasi itu.
Abimanyu menghabiskan masa
kecilnya di Dwaraka,
kota tempat tinggal ibunya. Ia dilatih oleh ayahnya yang bernama Arjuna yang
merupakan seorang ksatria besar dan diasuh di bawah bimbingan Kresna. Ayahnya
menikahkan Abimanyu dengan Uttara, puteri Raja Wirata, untuk
mempererat hubungan antara Pandawa dengan keluarga Raja Wirata, saat pertempuran Bharatayuddha
yang akan datang. Pandawa menyamar untuk menuntaskan masa pembuangannnya tanpa
diketahui di kerajaan Raja Wirata, yaitu Matsya.
Sebagai cucu Dewa Indra, Dewa senjata
ajaib sekaligus Dewa peperangan, Abimanyu merupakan ksatria yang gagah berani
dan ganas. Karena dianggap setara dengan kemampuan ayahnya, Abimanyu mampu
melawan ksatria-ksatria besar seperti Drona, Karna, Duryodana dan
Dursasana.
Ia dipuji karena keberaniannya dan memiliki rasa setia yang tinggi terhadap
ayahnya, pamannya, dan segala keinginan mereka.
Kematian Abimanyu
Pada
hari ketiga belas Bharatayuddha, pihak Korawa menantang Pandawa untuk
mematahkan formasi perang melingkar yang dikenal sebagai Chakrawyuha. Para
Pandawa menerima tantangan tersebut karena Kresna dan Arjuna tahu
bagaimana cara mematahkan berbagai formasi.
Formasi Chakrawyuha.
Abimanyu terbunuh di dalamnya
Abimanyu terbunuh di dalamnya
Namun, pada hari itu, Kresna dan Arjuna sibuk
bertarung dengan laskar Samsaptaka. Oleh karena Pandawa sudah
menerima tantangan tersebut, mereka tidak memiliki pilihan namun mencoba untuk
menggunakan Abimanyu yang masih muda, yang memiliki pengetahuan tentang
bagaimana cara mematahkan formasi Chakrawyuha namun tidak tahu bagaimana cara
keluar dari dalamnya. Untuk meyakinkan bahwa Abimanyu tidak akan terperangkap
dalam formasi tersebut, Pandawa bersaudara memutuskan bahwa mereka dan sekutu
mereka akan mematahkan formasi itu bersama Abimanyu dan membantu sang pemuda
keluar dari formasi tersebut.
Pada hari penting itu, Abimanyu
menggunakan kecerdikannya untuk menembus formasi tersebut. pandawa bersaudara
dan sekutunya mencoba untuk mengikutinya di dalam formasi, namun mereka
dihadang oleh Jayadrata,
Raja Sindhu, yang memakai anugerah Siwa agar mampu menahan
para Pandawa
kecuali Arjuna,
hanya untuk satu hari. Abimanyu ditinggal sendirian untuk menangkis serangan
pasukan Korawa.
Abimanyu membunuh dengan bengis
beberapa ksatria yang mendekatinya, termasuk putera Duryodana,
yaitu Laksmana. Setelah menyaksikan putera kesayangannya terbunuh, Duryodana
marah besar dan menyuruh segenap pasukan Korawa untuk
menyerang Abimanyu. Karena gagal menghancurkan baju zirah
Abimanyu, atas nasihat Drona, Karna menghancurkan busur Abimanyu dari belakang. Kemudian
keretanya dihancurkan, kusir dan kudanya dibunuh, dan seluruh senjatanya
terbuang. Putera Dursasana mencoba untuk bertarung dengan tangan kosong
dengan Abimanyu. Namun tanpa menghiraukan aturan perang, pihak Korawa menyerang
Abimanyu secara serentak. Abimanyu mampu bertahan sampai pedangnya patah dan
roda kereta yang ia pakai sebagai perisai hancur berkeping-keping. Tak berapa lama kemudian,
Abimanyu dibunuh oleh putera Dursasana dengan cara menghancurkan kepalanya
dengan gada.
Abimanyu dalam pewayangan Jawa
Dalam
khazanah pewayangan Jawa, Abimanyu, sebagai putra Arjuna, merupakan
tokong penting. Di bawah ini dipaparkan ciri khas tokoh ini dalam budaya Jawa yang sudah
berkembang lain daripada tokoh yang sama di India.
Dikisahkan Abimanyu karena kuat tapanya mendapatkan Wahyu Makutha Raja, wahyu yang menyatakan bahwa keturunannyalah yang akan menjadi penerus tahta Para Raja Hastina.Abimanyu dikenal pula dengan nama Angkawijaya, Jaya Murcita, Jaka Pangalasan, Partasuta, Kirityatmaja, Sumbadraatmaja, Wanudara dan Wirabatana. Ia merupakan putra Arjuna, salah satu dari lima ksatria Pandawa dengan Dewi Subadra, putri Prabu Basudewa, Raja Mandura dengan Dewi Dewaki. Ia mempunyai 13 orang saudara lain ibu, yaitu: Sumitra, Bratalaras, Bambang Irawan, Kumaladewa, Kumalasakti, Wisanggeni, Wilungangga, Endang Pregiwa, Endang Pregiwati, Prabakusuma, Wijanarka, Anantadewa dan Bambang Sumbada.
Abimanyu merupakan makhluk
kekasih Dewata. Sejak dalam kandungan ia telah mendapat "Wahyu
Hidayat", yang mamp membuatnya mengerti dalam segala hal. Setelah dewasa
ia mendapat "Wahyu Cakraningrat", suatu wahyu yang dapat menurunkan
raja-raja besar.
Abimanyu mempunyai sifat dan
watak yang halus, baik tingkah lakunya, ucapannya terang, hatinya keras, besar
tanggung jawabnya dan pemberani. Dalam olah keprajuritan ia mendapat ajaran
dari ayahnya, Arjuna. Sedang dalam olah ilmu kebathinan mendapat ajaran dari
kakeknya, Bagawan
Abiyasa.
Abimanyu tinggal di kesatrian Palangkawati, setelah
dapat mengalahkan Prabu Jayamurcita. Ia mempunyai dua orang isteri, yaitu:
- Dewi Siti Sundari, putri Prabu Kresna, Raja Negara Dwarawati dengan Dewi Pratiwi,
- Dewi Uttari, putri Prabu Matswapati dengan Dewi Ni Yutisnawati, dari negara Wirata, dan berputra Parikesit.
Abimanyu
gugur dalam perang Bharatayuddha setelah sebelumnya seluruh saudaranya
mendahului gugur, pada saat itu ksatria dari Pihak Pandawa yang
berada dimedan laga dan menguasai gelar strategi perang hanya tiga orang yakni Werkodara, Arjuna dan
Abimanyu. Gatotkaca
menyingkir karena Karna
merentangkan senjata Kuntawijayandanu. Werkodara dan Arjuna dipancing oleh
ksatria dari pihak Korawa
untuk keluar dari medan pertempuran, maka tinggalah Abimanyu.
Ketika tahu semua saudaranya
gugur Abimanyu menjadi lupa untuk mengatur gelar perang, dia maju sendiri
ketengah barisan Kurawa dan terperangkap dalam formasi mematikan yang disiapkan
pasukan Korawa. Tak menyiakan kesempatan untuk bersiap-siap, Korawa menghujani
senjata ketubuh Abimanyu sampai Abimanyu terjerembab dan jatuh dari kudanya
(dalam pewayangan digambarkan lukanya "arang kranjang" (banyak
sekali) dan Abimanyu terlihat seperti landak karena berbagai senjata
ditubuhnya) sebagai risiko pengucapan sumpah ketika melamar Dewi Uttari bahwa
dia masih belum punya istri dan apabila telah beristri maka dia siap mati
tertusuk berbagai senjata ketika perang Bharatayuddha,
padahal ketika itu sudah beristrikan Dewi Siti Sundari.
Dengan senjata yang menancap
diseluruh tubuhnya sehingga dia tidak bisa jalan lagi tidak membuat Abimanyu
menyerah dia bahkan berhasil membunuh putra mahkota Hastina (Lesmana
Mandrakumara) dengan melemparkan keris Pulanggeni setelah menembus tubuh empat
prajurit lainnya, pada saat itu pihak Korawa tahu bahwa untuk membunuh Abimanyu
harus memutus langsang yang ada didadanya, kemudian Abimanyupun gugur
oleh gada Kyai Glinggang atau Galih Asem milik Jayadrata,
ksatria Banakeling.
65. ANGGADA
Anggada
atau Hanggada adalah seorang tokoh dalam wiracarita Ramayana. Ia adalah wanara muda yang sangat tangkas dan
gesit. Kekuatannya sangat dahsyat, sama seperti ayahnya, yakni Subali. Dalam kitab
Ramayana
disebutkan bahwa ia dapat melompat sejauh sembilan ratus mil. Anggada
dilindungi oleh Rama
dan akhirnya membantu Rama, berperang melawan Rahwana merebut
kembali Dewi Sita,
istri Rama. Ayah Anggada adalah Raja Wanara bernama Subali, ibunya
adalah Tara. Anggada memiliki paman bernama Sugriwa, yaitu
adik Subali. Subali dan Sugriwa memiliki adik perempuan bernama Anjani. Hanoman adalah putera Anjani, maka Anggada bersaudara sepupu
dengan Hanoman. Saat masih muda, Subali tewas karena panah Rama. Setelah itu,
Anggada dirawat oleh Sugriwa.
Perang di Alengka
Sebelum peperangan di Alengka meletus, Rama mengutus Anggada
agar memberi kepada Rahwana untuk segera menyerahkan Dewi Sita. Setelah mendengar
pesan Rama yang panjang lebar, Anggada mohon pamit lalu pergi ke tempat
Rahwana. Di hadapan Rahwana, Anggada memperingati agar Sita segera dikembalikan
jika tidak ingin peperangan meletus. Rahwana yang keras kepala, tidak
menghiraukan peringatan Anggada namun mencoba mengerahkan pasukannya untuk
menangkap wanara tersebut. dengan sigap, Anggada melompat ke udara sehingga ia
lolos. Setelah itu, ia merobohkan menara istana. Dengan sekali lompatan, ia
terbang kembali ke tempat Rama.Saat pertempuran pertama berlangsung, Anggada
bertemu dengan Indrajit,
putera Rahwana. Dua prajurit tersebut bertempur dengan jurus-jurus yang
mengagumkan. Para wanara
bersorak-sorak kegirangan karena kagum dengan ketangguhan Anggada, sebab
panah-panah yang dilepaskan Indrajit tidak membuat Anggada gentar. Namun kemudian Indrajit
mengalihkan serangannya kepada Rama. Pertempuran pada hari itu pun diakhiri sebab Rama tak
berkutik. Setelah Rama pulih kembali, para wanara melanjutkan penyerangannya.
Pada pertempuran kedua, Anggada bertemu dengan Bajradamstra. Setelah
pertarungan sengit terjadi dalam waktu yang lama, Bajradamstra gugur di tangan
Anggada. Ketika peperangan di Alengka usai, Anggada dan para wanara lainnya
diundang ke Ayodhya
untuk menerima penghargaan atas jasa-jasa mereka karena telah menolong Rama menyelamatkan Sita.
66. NILA ( RAMAYANA )
Nila
|
Nila alias Anila adalah seorang tokoh dalam wiracarita Ramayana.
Namanya secara harafiah berarti "nila" atau
"biru tua". Nila adalah seekor kera berwarna gelap yang berada di kubu
Sri Rama dalam
perang melawan Rahwana.
Selama masa petualangan mencari Sita, Nila berperan
penting, terutama dalam pembangunan jembatan Situbanda karena struktur jembatan
tersebut dirancang oleh Nila. Dalam pertempuran besar di Alengka, Nila
bersama para wanara
yang lain bertarung mengalahkan para rakshasa. Saat
Nila berhadapan dengan Prahasta yang menggunakan senjata gada besi, pertarungan
berlangsung dengan sengit karena keduanya sama-sama sakti. Akhirnya Nila
mengangkat sebuah batu yang besar sekali. Batu tersebut kemudian dijatuhkan di
atas kepala Prahasta sehingga rakshasa tersebut tewas seketika.
Nila dalam pewayangan Jawa
Saat
Hanoman
menghadap Batara
Guru untuk diakui sebagai putranya, Batara Narada
tertawa sambil menyindir Batara Guru. Batara Guru yang merasa disindir kemudian
mengambil daun nila (sawo kecik) dan dilempar ke punggung Batara Narada.
Daun nila tersebut menjadi seekor kera berbadan pendek dan berbulu biru tua
yang menempel di punggung Batara Narada. Saat itu Batara Narada yang sangat
benci terhadap kera meminta ampun kepada Batara Guru
agar kera tersebut lepas dari punggungnya. Kemudian Batara Guru memberi tahu
cara melepaskan kera itu dari punggung Batara Narada, yaitu dengan mengakui
kera tersebut menjadi anaknya. Akhirnya Batara Narada mau mengakui kera
tersebut sebagai putranya.
Semua dewa
yang hadir di dalam pertemuan tertawa melihat kejadian tersebut. Batara Narada
menuntut kepada Batara Guru untuk memerintahkan semua dewa yang lainnya
untuk memuja keranya masing-masing saperti yang telah dilakukan Batara Narada.
Setelah tujuh hari kemudian akhirnya lahirlah kera-kera pujaan para dewa itu.
Adapun kera-kera tersebut antara lain Kapi Sempati pujaan Batara Indra, Kapi
Anggeni pujaan Batara
Brahma, Kapi Menda, Kapi Baliwisata, dan Kapi Anala pujaan Batara Yamadipati dan sebagainya yang mencapai ratusan
ekor. Kera-kera tersebut lalu dikirim ke raja kera di Gua
Kiskenda di bawah pimpinan Anila. Di Kerajaan Gua Kiskenda, Anila diangkat
menjadi patih sekaligus ahli seni bersama Kapi Nala dan Kapi Anala.
Kapi Anila menjadi pahlawan
setelah berhasil membunuh Patih Prahasta (patihnya Dasamuka) dari Alengka dengan
cara mengadu kepalanya dengan tugu batu yang ada di perbatasan negeri Alengka
(tugu tersebut adalah pujaan Dewi Indrardi yang terkutuk pada peristiwa Cupu
Manik). Selain itu, Anila membebaskan Dewi Indrardi dari kutukannya.
67. ASWATAMA
Aswatama
|
Dalam wiracarita Mahabharata,
Aswatama atau Ashwatthaman adalah putera guru Dronacharya
dengan Kripi. Sebagai putera tunggal, Dronacharya sangat menyayanginya. Ia juga
merupakan salah satu dari tujuh Chiranjīwin,
karena dikutuk untuk hidup selamanya tanpa memiliki rasa cinta. Saat perang di Kurukshetra berakhir, hanya ia
bersama Kretawarma
dan Krepa yang
bertahan hidup. Oleh karena dipenuhi dendam atas kematian ayahnya, ia menyerbu
kemah Pandawa saat tengah malam dan melakukan pembantaian membabi buta. Ketika
ayahnya, Resi Drona menjadi guru Keluarga Pandawa dan Korawa di Hastinapura,
Aswatama ikut serta dalam mengikuti pendidikan ilmu olah keprajuritan. Ia
memiliki sifat pemberani, cerdik dan pandai mempergunakan segala macam senjata.
Dari ayahnya, Aswatama mendapat pusaka yang sangat sakti berupa panah bernama Panah Cundamanik.
Sebagian kisah hidup Aswatama
dimuat dalam kitab Mahabharata. Kisahnya yang terkenal adalah pembunuhan
terhadap lima putera Pandawa dan janin yang dikandung oleh Utara, istri Abimanyu. Janin
tersebut berhasil dihidupkan kembali oleh Kresna namun lima
putera tidak terselamatkan nyawanya. Aswatama merupakan putera dari Bagawan Drona dengan Kripi,
adik Krepa. Semasa
kecil ia mengenyam ilmu militer bersama dengan para pangeran Kuru,
yaitu Korawa dan
Pandawa.
Kekuatannya hampir setara dengan Arjuna, terutama dalam ilmu memanah. Saat perang di antara
Pandawa dan Korawa meletus, ia memihak kepada Korawa, sama dengan ayahnya, dan
berteman dengan Duryodana.
Riwayat hidup Aswatama dalam pewayangan Jawa
memiliki beberapa perbedaan dengan kisah aslinya dari kitab Mahabharata
yang berasal dari Tanah
Hindu, yaitu India,
dan berbahasa Sansekerta. Beberapa perbedaan tersebut meliputi nama
tokoh, lokasi, dan kejadian. Namun perbedaan tersebut tidak terlalu besar sebab
inti ceritanya sama.
68. BAGONG
Bagong adalah nama salah
satu tokoh punakawan dalam cerita wayang dari Jawa Tengah
dan Jawa
Timur. Dalam cerita wayang dari Jawa Barat
ia bernama Cepot atau nama yang lebih lengkapnya yaitu Astrajingga.
Bagong adalah anak ketiga dari Semar dengan ibunya
Sutiragen. Dengan bersenjatakan golok, Bagong, pekerjaannya adalah selalu membuat humor, tidak
peduli kepada siapa pun, baik kesatria, raja maupun Para Dewa. Meskipun demikian lewat humor humornya dia memberikan
nasehat, petuah dan kritik.
Lakonnya biasanya dikeluarkan
oleh dalang di
tengah kisah, selalu menemani para kesatria dan digunakan dalang untuk
menyampaikan pesan pesan bebas bagi pemirsa dan penonton, baik itu nasihat,
kritik maupun petuah dan sindiran yang tentu saja disampaikan secara humor.
Dalam perang, Bagong biasanya
ikut perang dengan membawa golok. Lawan utamanya adalah para raksasa-raksasa
yang selalu menjadi mangsa goloknya. Namun, Bagong sering merasa kewalahan
kalau melawan para kesatria lawan tersebut.
69. SATYAWATI
Satyawati
juga disebut Durghandini dan Gandhawati adalah seorang tokoh
dalam wiracarita
Mahabharata.
Ia adalah istri prabu Santanu dan ibu dari Citrānggada
dan Wicitrawirya.Sewaktu
kecil ia berbau amis, tetapi disembuhkan oleh Resi Parasara, dan
kemudian menikahinya lalu melahirkan seorang putra dan diberi nama Wyasa. Dalam versi
pewayangan, ia disembuhkan oleh Resi Wyasa.
Kelahiran
Ada seorang Raja bernama Basuparisara, bertahta di Kerajaan
Chedi. Raja tersebut masih seorang keturunan Puru dan memiliki
permaisuri bernama Girika. Pada suatu hari, Sang Raja pergi berburu. Di tengah
hutan, ia melihat bunga-bunga bermekaran, kemudian ia teringat akan kecantikan
wajah permaisurinya, Girika. Tanpa sadar air kama-nya menetes, kemudian ia
tampung pada sehelai daun. Ia memanggil seekor elang yang sedang terbang di
udara, bernama Çyena, untuk mengantarkan air tersebut kepada permaisurinya. Di
tengah jalan air yang ditampung dalam daun tersebut jatuh di sungai Yamuna. Di sana hidup seekor ikan besar yang
merupakan penjelmaan bidadari yang dikutuk. Air kama tersebut ditelan oleh Sang
Ikan kemudian ikan tersebut hamil.
Di tepi sungai Yamuna, hiduplah keluarga nelayan. Kepala
keluarga tersebut bernama Dasabala. Suatu hari Dasabala pergi menangkap ikan
lalu ditangkapnya seekor ikan besar yang telah menelan air kama seorang raja.
Karena sabda dewata, ikan tersebut tidak dimakan oleh Dasabala. Dari dalam
perut ikan keluarlah dua bayi, lelaki dan perempuan. Sang ikan kemudian berubah
wujudnya menjadi bidadari kembali lalu terbang ke surga. Kedua anak
yang dilahirkan tersebut diserahkan kepada Raja Basuparisara. Anak yang laki-laki diberi nama Matsyapati dan diangkat menjadi Raja di Kerajaan
Wirata, sedangkan anak yang perempuan dikembalikan oleh Sang Raja karena
baunya amis. Anak tersebut kemudian diberi nama Durghandini
karena baunya amis seperti ikan. Orangtuanya memberi Durghandini pekerjaan sebagai tukang
menyeberangkan orang di Sungai Yamuna.
Pertemuan dengan Prabu Santanu
Pada suatu ketika Prabu Santanu dari Hastinapura
mendengar desas-desus bahwa di sekitar sungai Yamuna tersebar bau yang sangat harum
semerbak. Dengan rasa penasaran Prabu Santanu jalan-jalan ke sungai Yamuna. Ia menemukan sumber bau harum tersebut
dari seorang gadis desa, bernama Durgandini. Prabu Santanu jatuh cinta dan
hendak melamar Durghandini. Ketika Sang Raja melamar gadis tersebut,
orangtuanya mengajukan syarat bahwa jika Durghandini (Gandhawati atau
Satyawati) menjadi permaisuri Prabu Santanu, ia harus diperlakukan sesuai
dengan Dharma
dan keturunan Durghandini-lah yang haurs menjadi penerus tahta. Mendengar
syarat tersebut, Sang Raja pulang dengan kecewa dan menahan sakit hati. Ia
menjadi jatuh sakit karena terus memikirkan gadis pujaannya yang tak kunjung ia
dapatkan.
Melihat ayahnya jatuh sakit, Dewabrata
menyelidikinya. Ia bertanya kepada kusir yang mengantarkan ayahnya jalan-jalan. Dari sana ia
memperoleh informasi bahwa ayahnya jatuh cinta kepada seorang gadis. Akhirnya,
ia berangkat ke sungai Yamuna. Ia mewakili ayahnya untuk melamar puteri Dasabala yang sangat diinginkan ayahnya. Ia menuruti segala
persyaratan yang diajukan Dasabala. Ia juga bersumpah tidak akan menikah seumur
hidup dan tidak akan meneruskan tahta keturunan Raja Kuru
agar kelak tidak terjadi perebutan kekuasan antara keturunannya dengan
keturunan Durghandini. Sumpahnya disaksikan oleh para Dewa dan semenjak saat
itu, namanya berubah menjadi Bisma. Akhirnya Prabu Santanu dan Dewi
Durghandini menikah lalu memiliki dua orang putera bernama Chitrāngada
dan Wicitrawirya.
70.
JAYADRATA
Dalam wiracarita Mahabharata,
Jayadrata adalah seorang raja di Kerajaan
Sindhu. Dia menikahi Dursala, adik perempuan Korawa bersaudara.
Jayadrata merupakan tokoh penting di balik pembunuhan Abimanyu. Ia menghadang
para ksatria Pandawa
saat mereka berusaha menyelamatkan Abimanyu. Atas
kematian Abimanyu, Arjuna
berusaha membunuh Jayadrata. Akhirnya pada Bharatayuddha
hari keempat belas, Jayadrata gugur di tangan Arjuna.
Jayadrata
|
Jayadrata dalam pewayangan Jawa
Antara kisah Jayadrata dalam
kitab Mahabharata
dan pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan, namun tidak terlalu besar
karena inti ceritanya sama. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain disebabkan
oleh proses Jawanisasi, yaitu membuat kisah wiracarita dari India bagaikan
terjadi di pulau Jawa.
Jayadrata adalah seorang ksatria
yang sangat sakti dari pihak Korawa. Misteri menyelubungi asal usulnya. Kisahnya bermula
ketika Wrekudara lahir, ari-ari yang
membungkusnya dibuang. Pertapa tua, yaitu Bagawan Sapwani, secara kebetulan
memungutnya, mendoakannya, dan mengubahnya menjadi seorang bocah lelaki, yang
tumbuh dewasa dengan nama Jayadrata. Dari pandangan sekilas saja tampak jelas
kemiripan kekerabatan dengan Wrekudara dan putra Wrekudara, Raden Gatotkaca.
Ketika Jayadrata beranjak dewasa, ia dibujuk untuk datang ke Hastina oleh Sangkuni yang
cerdik, yang memandang perlu seorang sekutu yang seperti itu untuk melawan Pandawa. Di sana
Jayadrata diberi suatu kedudukan yang tinggi dan dikawinkan dengan saudara
perempuan Duryodana,
Dewi Dursilawati.
Hal ini mengikatnya dengan kuat pada pihak Kiri. Dalam Perang Bharatayuddha,
dialah yang membunuh ksatria muda Abimanyu, dan
setelah itu pada gilirannya ia dibunuh oleh Arjuna yang
kehilangan anaknya. Karakter Jayadrata adalah jujur, setia, dan terus terang
bagaikan Gatotkaca
di antara Korawa.
Ia mahir mempergunakan panah dan sangat ahli bermain gada. Oleh Resi Sapwani ia
diberi pusaka gada bernama Kyai Glinggang.
Jayadrata
nama sesungguhnya adalah Arya Tirtanata atau Bambang Sagara. Arya
Tirtanata kemudian dinobatkan sebagai raja negara
Sindu, dan bergelar Prabu Sinduraja. Karena ingin memperdalam
pengetahuannya dalam bidang tata pemerintahan dan tata kenegaraan, Prabu
Sinduraja pergi ke negara Hastina untuk berguru pada Prabu Pandu Dewanata. Untuk
menjaga kehormatan dan harga diri, ia menukar namanya dengan nama patihnya,
Jayadrata. Di negara Hastina Jayadrata bertemu dengan Keluarga Korawa, dan
akhirnya diambil menantu Prabu Dretarastra,
dikawinkan dengan Dewi Dursilawati dan diangkat sebagai Adipati Buanakeling.
Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra bernama Arya Wirata dan
Arya Surata. Jayadrata gugur di tangan Arjuna di medan
perang Bharatayuddha sebagai senapati perang Korawa. Kepalanya
terpangkas lepas dari badannya oleh panah sakti Pasupati
71. LIMBUK
Limbuk adalah anak
perempuan Cangik,
juga seorang abdi perempuan yang konyol. Meskipun penampilannya sangat berbeda
dengan ibunya, dia mempunyai rasa keyakinan yang sama akan daya tariknya yang
tinggi. Dia juga membawa sebuah sisir dengannya ke mana-mana. Suaranya keras, rendah, dan menyentuh
secara janggal.
72. SANTANU
Santanu adalah tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata.
Beliau adalah putera Raja Pratipa, Raja dari trah Candrawangsa, keturunan Maharaja
Kuru, yang memiliki tegal bernama Kurukshetra,
letaknya di India Utara. Prabu Santanu merupakan ayah Bisma dan secara
legal, kakek daripada Pandu
dan Dretarastra.
Beliau memerintah di Hastinapura, ibukota sekaligus pusat pemerintahan para
keturunan Kuru, di Kerajaan
Kuru.
Santanu
|
Prabu Santanu merupakan putera
dari pasangan Raja Pratipa dengan Ratu Sunanda, keturunan Raja Kuru,
yang menurunkan keluarga para Pandawa dan Korawa. Santanu berasal dari kata çanta yang berarti
tenang, sebab Prabu Pratipa dalam keadaan tenang pada saat puteranya lahir.
Prabu Santanu sangat tampan, sangat cakap dalam memainkan senjata, dan senang
berburu ke hutan. Ia menggantikan ayahnya, Raja Pratipa, sebagai Raja di Hastinapura.
73. SATYAKI
Satyaki
|
Satyaki alias Yuyudhana
adalah seorang tokoh dari wiracarita Mahabharata.
Ia adalah saudara ipar Kresna. Ia berperang pada pihak Pandawa dalam
perang Bharatayuddha.
Kelahirannya di waktu ibu
Satyaki mau dibawa oleh pencuri, tidak ada yang mampu mengalahkan pencuri itu
bahkan para Pandawa.
Setelah lahir Satyaki ia dido'akan agar cepat tumbuh, seketika ia menjadi
ksatria yang gagah, suaranya mantap mirip Bima, tapi tubuhnya kecil, dialah yang
mampu mengalahkan maling tersebut yang bernama Singomulanjoyo, kemudian nama
itu dipakai oleh Satyaki. Nama lainnya adalah Yuyudana, Bimo Kunthing,
Singomulanjoyo. Mempunyai senjata Gada Wesi Kuning pemberian Prabu Kresna.
74.
WISANGGENI
Dalam wiracarita Mahabharata,
Wisanggeni adalah anak Arjuna dari Dewi Dresanala. Ia lahir karena Dresanala bersikukuh
tidak menggugurkan kandungannya seperti tujuh bidadari yang
juga hamil karena sebagai anugerah Dewa
kepada Arjuna yang telah membebaskan kahyangan dari raksasa Niwatakawaca karena menginginkan Dewi Supraba.
Pada saat lahirnya, Wisanggeni
membuat ontran-ontran di Kahyangan karena hendak dibunuh oleh kakeknya Batara Brama atas
perintah Sang Hyang Giri Nata atau Batara Guru
karena lahirnya Wisanggeni dianggap menyalahi kodrat. Tapi karena Wisanggeni
adalah titisan Sang Hyang Wenang, dia luput dari bala tersebut .
Wisanggeni tumbuh dibesarkan
oleh Batara Baruna
(Dewa Penguasa Lauatan) dan Hyang Antaboga (Rajanya Ular yang tinggal di dasar bumi), yang menjadikan
Wisanggeni punya kemampuan yang luar biasa. Di jagat pewayangan, dia
bisa terbang seperti Gatotkaca dan masuk ke bumi seperti Antareja dan
hidup di laut seperti Antasena. Wisanggeni tinggal di Kahyangan Daksinapati
bersama ibunya. Dan meninggal menjelang perang Bharatayuddha
bersama Antasena atas permintaan Batara Kresna sebagai
tumbal untuk kemenangan Pandawa atas perang tersebut.
Karakter Wisanggeni adalah mungkak
kromo (tidak menggunakan bahasa kromo ketika bicara dengan siapapun)
seperti halnya Bima. Dan dia punya kemampuan Weruh
sadurungin winarah (mampu melihat hal yang belum terjadi).
75. MADRI
Madri adalah salah satu
tokoh dalam wiracarita
Mahabharata.
Dia putri dari Kerajaan Madra, adik dari Prabu Salya yang di
berikan kepada Prabu
Pandu, setelah Salya
kalah tanding dengan Pandu.
Dalam kisah Mahabharata, Prabu
Pandu berhasil memenangkan sayembara untuk mendapatkan Kunti putri dari Prabu Kuntiboja. Prabu Salya yang terlambat datang
menantang Pandu untuk mendapatkan Dewi Kunti dengan taruhannya adalah Dewi
Madri adiknya. Salya dan Pandu kemudian mendapatkan Madri dan menikahinya. Dari
Madri, Pandu memiliki dua orang anak kembar, Nakula dan Sadewa.
Madri adalah istri kedua Pandu. Ia dinikahkan
dengan Pandu untuk mempererat hubungan antara Hastinapura
dengan Kerajaan Madra. Namun karena Pandu menanggung
kutukan bahwa ia akan meninggal apabila bersenggama,
maka ia tidak bisa memiliki keturunan. Akhirnya Pandu dan istrinya mengembara
di hutan sebagai pertapa dan meninggalkan Hastinapura.
Di sana, Kunti
mengeluarkan mantra rahasianya untuk memangil para Dewa. Ia menggunakan mantra
tersebut tiga kali untuk memanggil Dewa Yama, Bayu, dan Indra. Dari ketiga
Dewa tersebut ia memperoleh tiga putera, yaitu Yudistira, Bima, dan Arjuna. Kunti juga
memberikan kesempatan bagi Madri untuk memanggil Dewa. Madri memanggil Dewa Aswin, dan
mendapatkan putera kembar bernama Nakula dan Sadewa.
76.
YUDISTIRA
Yudistira
|
Yudistira adalah seorang
tokoh protagonis dari wiracarita Mahabharata.
Beliau adalah raja Indraprasta, kemudian memerintah Hastina setelah
memenangkan pertempuran akbar di Kurukshetra. Yudistira
merupakan putera sulung Pandu dengan Kunti. Beberapa sumber mengatakan bahwa ia memiliki kepandaian
memakai senjata tombak.
Nama Yudistira dalam bahasa
Sansekerta dieja Yudhiṣṭhira,
yang artinya adalah "teguh atau kokoh dalam peperangan". Ia juga
dikenal sebagai Dharmaraja yang artinya Raja Dharma, sebab konon
Yudistira selalu menegakkan Dharma sepanjang hidupnya.
Yudistira dalam versi pewayangan Jawa
Dalam kisah versi Jawa,
Yudistira beristrikan Dewi Dropadi, puteri Prabu Drupada dengan
Dewi Gandawati dari negara Panchala, dan berputera Pancawala
(Pancawala). (Menurut kisah India, Drupadi diperistri oleh kelima Pandawa bersama-sama).
Ia adalah putera sulung Prabu Pandu raja negara Hastina dengan
dengan permaisuri Dewi
Kunti, putri Prabu Basukunti dengan Dewi Dayita dari negara Mandura. Ia
mempunyai dua orang adik kandung masing-masing bernama: Bima (Werkudara) dan Arjuna, dan dua
orang adik kembar lain ibu, bernama Nakula (Pinten) dan
Sadewa (atau
Sahadewa alias Tansen), putra Prabu Pandu dengan Dewi Madri, puteri
Prabu Mandrapati dari negara Mandaraka. Kelima orang bersaudara ini disebut
sebagai Pandawa.
Yudistira dianggap sebagai
keturunan (titisan) Dewa Keadilan, Batara Dharma oleh karena
itu salah satu julukannya adalah Dharmasuta, Dharmaputra atau Dharmawangsa.
Selain itu ia juga disebut Puntadewa atau Samiaji. Nama Yudistira sendiri
diambil karena dalam tubuhnya menunggal arwah Prabu Yudistira, raja jin negara
Mertani (menurut kisah pewayangan Jawa). Yudistira mempunyai pusaka kerajaan
berwujud payung bernama "Kyai Tunggulnaga" dan sebuah tombak bernama
"Kyai Karawelang".
Ia adalah tipe murni raja yang
baik. Darah putih (Seta ludira. Seta berarti putih, ludira berarti
darah) mengalir di nadinya. Tak pernah murka, tak pernah bertarung, tak pernah
juga menolak permintaan siapa pun, betapapun rendahnya sang peminta. Waktunya dilewatkan
untuk meditasi
dan penghimpunan kebijakan. Tak seperti kesatria yang
lain, yang pusaka saktinya berupa senjata, pusaka andalan Yudistira adalah Kalimasada
yang misterius, naskah keramat yang memuat rahasia agama dan semesta.
Dia, pada dasarnya, adalah cendikiawan tanpa pamrih, yang memerintah dengan
keadilan sempurna dan kemurah hatinya yang luhur. Dengan kenampakan yang sama
sekali tanpa perhiasan
mencolok, dengan kepala merunduk yang mawas diri, dan raut muka keningratan
yang halus, dia tampil sebagai gambaran ideal tentang "Pandita Ratu"
(Raja Pendeta) yang telah menyingkirkan nafsu dunia.
Akan tetapi ada pula
kelemahannya, yakni gemar berjudi. Oleh karena kegemarannya ini, Yudistira
beberapa kali tertipu dan dikalahkan dalam adu judi dengan Duryodana,
Raja Hastina
dan pemuka Korawa.
Dalam salah satu kekalahannya, terpaksa Yudistira (dan Pandawa keseluruhannya)
menyerahkan negaranya dan membuang diri ke hutan selama 13 tahun.
77. ANTASENA
Antasena
|
Dalam wiracarita Mahabharata,
Antasena adalah putra Bima dan Dewi Urang Ayu. Tokoh ini paling
sakti di antara tiga putera Bima. Jika Gatotkaca
mampu terbang di udara dan Antareja mampu ambles bumi (hidup di bawah tanah),
Antasena mampu terbang di udara, ambles bumi, dan menyelam. Sama seperti
ayahnya, Antasena tidak bisa berbahasa santun (ngoko). Kendati demikian,
Antasena berhati baik dan paling bijak di antara putera-putera Pandawa. Ia
memiliki tubuh bersisik bagaikan udang dan tidak mempan ditusuk senjata.
Antasena beristrikan Dewi
Jenakawati, puteri Arjuna.
Ia tidak ikut berperang di Bharatayuddha. Bersama Wisanggeni,
mereka menjadi tumbal agar Pandawa menang melawan Korawa. Syahdan,
hal ini merupakan taktik yang diambil Kresna karena
Antasena tidak terkalahkan. Hal ini akan membuat pertempuran tidak berimbang.
Ada juga versi yang menyebutkan, Kresna takut karena dalam rencana dewa,
Antasena akan bertanding dengan kakaknya, Baladewa.
Antasena berwatak jujur, terus
terang, bersahaja, berani kerena membela kebenaran, tidak pernah berdusta.
Setelah dewasa, Anantasena menjadi raja di negara Dasarsamodra, bekas negaranya
Prabu Ganggatrimuka yang mati terbunuh dalam peperangan.
Antasena meninggal sebelum perang Bharatayuddha.
Ia mati moksa
(lenyap dengan seluruh raganya) atas kehendak dan kekuasaan Sang Hyang Wenang
78. ARJUNA
Arjuna adalah nama seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata.
Ia dikenal sebagai sang Pandawa yang menawan parasnya dan lemah lembut budinya. Ia
adalah putera Prabu Pandudewanata,
raja di Hastinapura
dengan Dewi Kunti
atau Dewi Prita, yaitu puteri Prabu Surasena, Raja Wangsa Yadawa di Mandura. Arjuna merupakan teman dekat Kresna, yaitu Awatara
(penjelmaan) Bhatara
Wisnu yang turun ke dunia demi menyelamatkan dunia dari kejahatan. Arjuna
juga merupakan salah orang yang sempat menyaksikan "wujud semesta"
Kresna menjelang Bharatayuddha berlangsung. Ia juga menerima "Bhagawad
Gita" atau "Nyanyian Orang Suci", yaitu wejangan suci yang
disampaikan oleh Kresna
kepadanya sesaat sebelum Bharatayuddha berlangsung karena Arjuna masih segan
untuk menunaikan kewajibannya.
Dalam bahasa
Sanskerta, secara harfiah kata Arjuna berarti "bersinar
terang", "putih" , "bersih". Dilihat dari maknanya,
kata Arjuna bisa berarti " jujur di dalam wajah dan pikiran".
Arjuna mendapat julukan "Kuruśreṣṭha"
yang berarti "keturunan dinasti Kuru yang terbaik". Ia merupakan
manusia pilihan yang mendapat kesempatan untuk mendapat wejangan suci yang
sangat mulia dari Kresna,
yang terkenal sebagai "Bhagawad Gita" (nyanyian Tuhan).
Arjuna memiliki karakter yang
mulia, berjiwa kesatria, imannya kuat, tahan terhadap godaan duniawi, gagah
berani, dan selalu berhasil merebut kejayaan sehingga diberi julukan
"Dananjaya". Musuh seperti apapun pasti akan ditaklukkannya, sehingga
ia juga diberi julukan "Parantapa", yang berarti penakluk musuh. Di
antara semua keturunan Kuru di dalam silsilah Dinasti Kuru, ia dijuluki
"Kurunandana", yang artinya putera kesayangan Kuru. Ia juga memiliki
nama lain "Kuruprāwira", yang berarti "kesatria Dinasti
Kuru yang terbaik", sedangkan arti harfiahnya adalah "Perwira
Kuru".
Di antara para Pandawa, Arjuna
merupakan kesatria pertapa yang paling teguh. Pertapaannya sangat kusuk. Ketika
ia mengheningkan cipta, menyatukan dan memusatkan pikirannya kepada Tuhan,
segala gangguan dan godaan duniawi tak akan bisa menggoyahkan hati dan
pikirannya. Maka dari itu, Sri Kresna sangat kagum padanya, karena ia merupakan kawan yang
sangat dicintai Kresna
sekaligus pemuja Tuhan
yang sangat tulus. Sri Kresna pernah berkata padanya, "Pusatkan pikiranmu
pada-Ku, berbaktilah kepada-Ku, dan serahkanlah dirimu pada-Ku, maka kau akan
datang kepada-Ku. Aku berkata demikian, karena kaulah kawan-Ku yang sangat
Kucintai".
Masa muda dan pendidikan
Arjuna didik bersama dengan
saudara-saudaranya yang lain (para Pandawa dan Korawa) oleh Bagawan Drona.
Kemahirannya dalam ilmu memanah sudah tampak semenjak kecil. Pada usia muda ia
sudah mendapat gelar "Maharathi" atau "kesatria
terkemuka". Ketika Guru Drona meletakkan burung kayu pada pohon, ia
menyuruh muridnya satu-persatu untuk membidik burung tersebut, kemudian ia
menanyakan kepada muridnya apa saja yang sudah mereka lihat. Banyak muridnya
yang menjawab bahwa mereka melihat pohon, cabang, ranting, dan segala sesuatu
yang dekat dengan burung tersebut, termasuk burung itu sendiri. Ketika tiba
giliran Arjuna untuk membidik, Guru Drona menanyakan apa yang ia lihat. Arjuna
menjawab bahwa ia hanya melihat burung saja, tidak melihat benda yang lainnya.
Hal itu membuat Guru Drona kagum bahwa Arjuna sudah pintar.
Pada suatu hari, ketika Drona sedang mandi di
sungai
Gangga, seekor buaya
datang mengigitnya. Drona dapat membebaskan dirinya dengan mudah, namun karena
ia ingin menguji keberanian murid-muridnya, maka ia berteriak meminta tolong.
Di antara murid-muridnya, hanya Arjuna yang datang memberi pertolongan. Dengan
panahnya, ia membunuh buaya yang menggigit gurunya. Atas pengabdian Arjuna,
Drona memberikan sebuah astra yang bernama "Brahmasirsa".
Drona juga mengajarkan kepada Arjuna tentang cara memanggil dan menarik astra
tersebut. Menurut Mahabharata, Brahmasirsa hanya dapat ditujukan kepada dewa,
raksasa, setan
jahat, dan makhluk sakti yang berbuat jahat, agar dampaknya tidak berbahaya.
Arjuna memiliki senjata sakti
yang merupakan anugerah para dewata, hasil pertapaannya. Ia memiliki panah Pasupati yang
digunakannya untuk mengalahkan Karna dalam Bharatayuddha. Busurnya bernama Gandiwa, pemberian Dewa
Baruna ketika ia
hendak membakar hutan Kandawa. Ia juga memiliki sebuah terompet kerang
(sangkala) bernama Dewadatta, yang berarti "anugerah Dewa".
Arjuna dalam dunia pewayangan Jawa
Arjuna juga merupakan seorang
tokoh ternama dalam dunia pewayangan dalam budaya Jawa Baru. Di bawah ini disajikan
beberapa ciri khas yang mungkin berbeda dengan ciri khas Arjuna dalam kitab Mahābhārata
versi India dengan
bahasa Sansekerta.
Sifat dan kepribadian
Arjuna seorang kesatria yang
gemar berkelana, bertapa dan berguru menuntut ilmu. Selain menjadi murid Resi Drona di
Padepokan Sukalima, ia juga menjadi murid Resi Padmanaba dari Pertapaan
Untarayana. Arjuna pernah menjadi brahmana di Goa
Mintaraga, bergelar Bagawan Ciptaning. Ia dijadikan kesatria unggulan para dewa
untuk membinasakan Prabu Niwatakawaca, raja raksasa dari negara
Manimantaka. Atas jasanya itu, Arjuna dinobatkan sebagai raja di Kahyangan Dewa
Indra, bergelar Prabu Karitin. dan mendapat anugrah pusaka-pusaka sakti dari
para dewa, antara lain: Gendewa (dari Batara Indra), Panah
Ardadadali (dari Batara
Kuwera), Panah Cundamanik (dari Batara Narada).
Arjuna memiliki sifat cerdik dan
pandai, pendiam, teliti, sopan-santun, berani dan suka melindungi yang lemah.
Ia memimpin Kadipaten Madukara, dalam wilayah negara Amarta. Setelah perang Bharatayuddha,
Arjuna menjadi raja di Negara Banakeling, bekas kerajaan Jayadrata.
Akhir riwayat Arjuna diceritakan, ia moksa (mati sempurna)
bersama keempat saudaranya yang lain di gunung Himalaya.
Ia adalah petarung tanpa tanding
di medan laga, meski bertubuh ramping berparas rupawan sebagaimana seorang
dara, berhati lembut meski berkemauan baja, kesatria dengan segudang istri dan kekasih
meski mampu melakukan tapa yang paling berat, seorang kesatria dengan
kesetiaan terhadap keluarga yang mendalam tapi kemudian mampu memaksa dirinya
sendiri untuk membunuh saudara tirinya. Bagi generasi tua Jawa, dia adalah
perwujudan lelaki seutuhnya. Sangat berbeda dengan Yudistira,
dia sangat menikmati hidup di dunia. Petualangan cintanya senantiasa memukau orang Jawa,
tetapi secara aneh dia sepenuhnya berbeda dengan Don Juan yang
selalu mengejar wanita. Konon Arjuna begitu halus dan tampan sosoknya sehingga
para puteri begitu, juga para dayang, akan segera menawarkan diri mereka.
Merekalah yang mendapat kehormatan, bukan Arjuna. Ia sangat berbeda dengan Wrekudara. Dia menampilkan keanggunan
tubuh dan kelembutan hati yang begitu dihargai oleh orang Jawa berbagai
generasi.
Pusaka
Arjuna juga memiliki pusaka-pusaka sakti lainnya,
atara lain: Keris Kiai Kalanadah diberikan pada Gatotkaca
saat mempersunting Dewi Pergiwa (putera Arjuna), Panah Sangkali (dari Resi Drona), Panah
Candranila, Panah Sirsha, Panah Kiai Sarotama, Panah Pasupati,
Panah Naracabala, Panah Ardhadhedhali, Keris Kiai Baruna, Keris Pulanggeni
(diberikan pada Abimanyu),
Terompet Dewanata, Cupu berisi minyak Jayengkaton (pemberian Bagawan
Wilawuk dari pertapaan Pringcendani) dan Kuda Ciptawilaha dengan Cambuk Kiai
Pamuk. Sedangkan ajian yang dimiliki Arjuna antara lain: Panglimunan, Tunggengmaya,
Sepiangin, Mayabumi, Pengasih dan Asmaragama. Arjuna juga
memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu Kampuh atau Kain Limarsawo,
Ikat Pinggang Limarkatanggi, Gelung Minangkara, Kalung Candrakanta dan Cincin
Mustika Ampal (dahulunya milik Prabu Ekalaya, raja
negara Paranggelung).
Istri dan keturunan
Dalam Mahabharata
versi pewayangan Jawa, Arjuna mempunyai 15 orang istri dan 14 orang anak.
Adapun istri dan anak-anaknya adalah:
79. BATARA
KAMAJAYA
Batara Kamajaya adalah
Dewa Cinta dan
istrinya bernama Dewi Kamaratih. Batara Kamajaya sendiri putra dari Semar dan Dewi Sanggani Putri. Batara Kamajaya dan istri
dalam masyarakat Jawa
di simbolkan sebagai lambang kerukunan suami istri.
Pada acara mitoni atau tujuh bulan (kandungan istri berusia 7 bulan), kelapa muda yg
hendak dipecahkan ayah calon bayi sering dilukiskan atau dituliskan nama
Kamajaya. Sebagai wujud dari buah cinta.
80.
DURMAGATI
Durmagati
|
Dalam wiracarita Mahabharata,
Durmagati adalah seorang tokoh Korawa yang barangkali
merupakan yang paling kocak apabila sedang dimainkan/dibawakan sifatnya oleh dalang.
Durmagati mempunyai badan yang
lebih pendek dan gemuk dari kebanyakan saudara-saudaranya. Dengan ciri khas
lehernya yang sangat pendek dan kepala seperti tertekan ke bawah sehingga
wajahnya menengadah ke atas.
Bicaranya bindeng (seperti orang pilek,
tidak jelas) dan kata-katanya justru selalu menyudutkan Sangkuni yang
selalu mempengaruhi korawa untuk memusnahkan Pandawa. Jadi
sebenarnya ia tahu bahwa pihak Korawa bersalah karena hasutan-hasutan licik Sangkuni. Namun
semua kata-katanya diucapkan dengan gayanya yang kocak sehingga tidak dianggap
serius oleh Sangkuni.
81. SANG
HYANG TUNGGAL
Sang Hyang Tunggal adalah
ayah dari Batara Ismaya (Semar), Batara Antaga (Togog) dan Batara
Manikmaya (Guru). Pada episode Dewa Ruci, dia muncul sebagai Dewa Ruci dan bertemu Bima di dasar Laut Selatan. Bentuk wayangnya (dalam wayang
kulit) termasuk kecil, seukuran wayang kulit tokoh-tokoh perempuan. Tokoh
ini jarang dimainkan dalam pertunjukkan wayang kulit, karena episode yang
memunculkannya memang sangat sedikit. Konon tidak sembarang dalang berani
memainkan tokoh ini. Sang Hyang Tunggal adalah anak dari Sang Hyang Wenang.
Kisah mistis perjalanan batin yang dialami oleh Bima sehingga bertemu
dengan Sang Hyang Tunggal dalam Dewa Ruci sangat baik untuk diambil pelajarannya.
82. ANTAREJA
Dalam Mahabharata,
Antareja adalah anak dari Werkodara atau
Bima dari istri keduanya Nagagini seorang
putri Dewa Antaboga. Dikisahkan dia adalah seorang ksatria yang
tangguh, sakti mandraguna. Ia mempunyai dua orang saudara lelaki lain ibu,
bernama Raden Gatotkaca,
putra Bima dengan Dewi Arimbi, dan Arya
Anantasena, putra Bima dengan Dewi Urangayu. Sejak kecil Anatareja tinggal
bersama ibu dan kakeknya di Saptapatala (dasar bumi). Ia memiliki Ajian Upasanta
pemberian Hyang Anantaboga. Lidahnya sangat sakti, mahluk apapun yang dijilat
telapak kakinya akan menemui kematian. Anatareja berkulit napakawaca,
sehingga kebal terhadap senjata. Ia juga memiliki cincin Mustikabumi, pemberian
ibunya, yang mempunyai kesaktian, menjauhkan dari kematian selama masih
menyentuh bumi maupun tanah, dan dapat digunakan untuk menghidupkan kembali
kematian di luar takdir. Kesaktian lain Anantareja dapat hidup dan berjalan
didalam bumi.
Anantareja memiliki sifat jujur,
pendiam, sangat berbakti pada yang lebih tua dan sayang kepada yang muda, rela
berkorban dan besar kepercayaanya kepada Sang Maha Pencipta.
Ia menikah dengan Dewi Ganggi, putri Prabu Ganggapranawa, raja ular di
Tawingnarmada, dan berputra Arya Danurwenda.Setelah dewasa Anantareja menjadi
raja di negara Jangkarbumi bergelar Prabu Nagabaginda. Ia meninggal menjelang
perang Bharatayuddha atas perintah Prabu Kresna dengan
cara menjilat telapak kakinya sebagai tawur (korban untuk kemenangan) keluarga Pandawa dalam
perang Bharatayuddha.
83. BILUNG
Bilung adalah seorang raksasa kecil
yang berteman dengan para punakawan, dia adalah sahabat dari Togog dan kemana mana
selalu berdua. Bilung digambarkan sebagai tokoh dari luar jawa yaitu melayu. Bilung
sering kali menggunakan bahasa campuran jawa & melayu. Setiap bertemu
dengan Petruk
selalu menantang berkelahi & mengeluarkan suara kukuruyuk seperti ayam
jago. Tapi sekali dipukul oleh petruk dia langsung kalah & menangis.dalam
beberapa cerita wayang, bilung yang punya nama lain Tokun ini terkadang
Bilung berperan menjadi Punakawan yang memihak musuh. biasanya Bilung akan
memberi masukan yang baik kepada majikannya . tetapi bila masukannya tidak
didengarkan oleh majikannya , dia akan berbalik memberi berbagai masukan yang
buruk.
84. DURSALA
Dursala (alias Dushala,
atau Dussala, dll) adalah nama adik perempuan Duryodana
dalam kisah wiracarita India, Mahabharata. Ia satu-satunya Korawa yang
berjenis kelamin wanita. Ia menikahi Jayadrata,
Raja Kerajaan Sindhu dan Kerajaan Sauwira. Jayadrata
dibunuh oleh Arjuna
saat perang di Kurukshetra. Dursala memiliki
seorang putera bernama Suratha. Cucunya bertarung dengan Arjuna, ketika ia
mengunjungi Kerajaan Sindhu setelah perang di Kurukshetra, untuk mengumpulkan
upeti demi mendukung upacara Aswameddha yang diselenggarakan Yudistira.
Dursala dalam pewayangan Jawa
Dalam budaya pewayangan Jawa, Dursala juga
disebut Dursilawati. Ia satu-satunya Korawa yang
berjenis kelamin wanita.
Dalam pewayang Jawa, ia memiliki sifat buruk, yaitu sangat menyukai lelaki
suami orang dan suka menggoda. Bahkan ia pernah menggoda Arjuna, Pandawa yang
paling tampan.
85. RUKMI
Dalam dunia pewayangan di Jawa, Rukmi disebut Arya
Prabu Rukma. Ia dianggap sebagai putera Prabu Basukunti, raja negara Mandura dengan
permaisuri Dewi Dayita, puteri Prabu Kunti, raja negara Boja. Ia mempunyai tiga
orang saudara kandung bernama Arya Basudewa, Dewi Kunti alias Dewi Prita, dan Arya Ugrasena.
Arya Prabu Rukma menikah dengan
Dewi Rumbini, putera Prabu Rumbaka, raja negara Kumbina. Dari perkawinan
tersebut ia memperoleh dua orang putera bernama Dewi Rukmini dan Arya
Rukmana. Secara tidak resmi Arya Prabu Rukma juga mengawini Ken Sagupi, swaraswati
di keraton Mandura, dan mempunyai seorang puteri bernama Ken Rarasati alias
Dewi Larasati.
Arya Prabu Rukma mempunyai sifat
berani, cerdik pandai, trengginas, mahir mempergunakan senjata panah dan ahli
strategi perang.
Ia menjadi raja negara Kumbina menggantikan mertuanya, Prabu Rumbaka, dan
bergelar Prabu Bismaka, Prabu Wasukunti atau Prabu Hirayana. Dalam akhir
riwayatnya diceritakan bahwa Prabu Bismaka (gelar Arya Prabu Rukma) gugur di
medan perang melawan Prabu Bomanarakasura, raja negara Surateleng atau
Trajutisna.
86. BALADEWA
Baladewa adalah saudara
Prabu Kresna.
Prabu Baladewa yang waktu mudanya bernama Kakrasana, adalah putra Prabu Basudewa, raja
negara Mandura dengan permaisuri Dewi Mahendra atau Maekah. Ia lahir kembar
bersama adiknya, Narayana dan mempunyai adik lain ibu bernama Dewi Sumbadra
atau Dewi Lara Ireng, putri Prabu Basudewa dengan permaisuri Dewi Badrahini.
Baladewa juga mempunyai saudara lain ibu bernama Arya Udawa, putra Prabu
Basudewa dengan Ken Sagupi, seorang swarawati keraton Mandura. Prabu
Baladewa yang mudanya pernah menjadi pendeta di pertapaan Argasonya bergelar
Wasi Jaladara, menikah dengan Dewi Erawati, putri Prabu Salya dengan Dewi
Setyawati atau Pujawati dari negara Mandaraka. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang
putra bernama Wisata dan Wimuka.
Baladewa berwatak keras hati,
mudah naik darah tapi pemaaf dan arif bijaksana. Ia sangat mahir dalam olah
keterampilan mempergunakan gada, hingga Bima dan Duryodana
berguru kepadanya. Baladewa mempunyai dua pusaka sakti, yaitu Nangggala dan
Alugara, keduanya pemberian Bathara Brahma. Ia juga mempunyai kendaraan gajah bernama Kyai
Puspadenta. Dalam banyak hal prabu Baladewa adalah lawan daripada prabu Kresna. Kresna
berwarna hitam sedangkan Baladewa berkulit putih.
Pada perang Bharatayuddha
sebenarnya prabu Baladewa memihak para Korawa, tetapi berkat siasat Kresna, beliau
tidak ikut dan malahan bertapa di Grojogan Sewu (Grojogan = Air Terjun,
Sewu = Seribu) dengan tujuan agar apabila terjadi perang Bharatayuda Baladewa
tidak dapat mendengarnya karena tertutup suara gemuruh air terjun selain itu
dijanjikan oleh Kresna akan dibangunkan ketika nanti Bharatayuda terjadi,
padahal keesokan harinya setelah bertapa di Grojogan Sewu terjadilah
perang Bharatayuda. Jika tidak pasti para Pandawa kalah,
karena prabu Baladewa sangatlah sakti.
Baladewa ada yang mengatakan
sebgai titisan daripada naga
sementara yang lainya meyakini sebagai titisan Sanghyang Basuki , Dewa
keselamatan. Ia berumur sangat panjang. Setelah selesai perang Bharatayudha,
Prabu Baladewa menjadi pamong dan penasehat Prabu Parikesit,
raja negara Astina setelah Prabu Kalimataya atau Prabu Puntadewa, dengan gelar
Resi Balarama. Ia mati moksa setelah punahnya seluruh Wangsa Wresni.
87. BATARA
DURGA
Durga atau Durgā (Dewanagari)
adalah sakti (=istri) Siwa.
Dalam agama Hindu, Dewi Durga
(Betari Durga) adalah ibu dari Dewa Ganesa
dan Dewa Kumara (Kartikeya).
Saat Hanoman
menghadap Batara
Guru untuk diakui sebagai putranya, Batara Narada
tertawa sambil menyindir Batara Guru. Batara Guru yang merasa disindir kemudian
mengambil daun nila (sawo kecik) dan dilempar ke punggung Batara Narada.
Daun nila tersebut menjadi seekor kera berbadan pendek dan berbulu biru tua
yang menempel di punggung Batara Narada. Saat itu Batara Narada yang sangat
benci terhadap kera meminta ampun kepada Batara Guru
agar kera tersebut lepas dari punggungnya. Kemudian Batara Guru memberi tahu
cara melepaskan kera itu dari punggung Batara Narada, yaitu dengan mengakui kera
tersebut menjadi anaknya. Akhirnya Batara Narada mau mengakui kera tersebut
sebagai putranya.
Beliau kadangkala disebut Uma
atau Parwati. Dewi Durga biasanya digambarkan sebagai seorang wanita cantik
berkulit kuning yang mengendarai seekor harimau. Beliau memiliki banyak tangan
dan memegang banyak tangan dengan posisi mudra, gerak tangan yang sakral yang biasanya dilakukan oleh
para pendeta Hindu.
Di Nusantara,
Dewi ini cukup dikenal pula. Candi
Prambanan di Jawa Tengah, misalkan juga dipersembahkan kepada Dewi
ini.Dalam bahasa Sansekerta, durga berarti
"yang tidak bisa dimasuki" atau "terpencil".
88. BISMA
Bisma terlahir sebagai Dewabrata
adalah salah satu tokoh utama dalam Mahabharata.
Ia merupakan putera dari pasangan Prabu Santanu dan Satyawati. Ia
juga merupakan kakek dari Pandawa maupun Korawa. Semasa muda ia bernama Dewabrata, namun berganti
menjadi Bisma semenjak ia bersumpah bahwa tidak akan menikah seumur hidup.
Bisma ahli dalam segala modus peperangan dan sangat disegani oleh Pandawa dan Korawa. Ia gugur
dalam sebuah pertempuran besar di Kurukshetra
oleh panah dahsyat yang dilepaskan oleh Srikandi dengan
bantuan Arjuna.
namun ia tidak meninggal pada saat itu juga. Ia sempat hidup selama beberapa
hari dan menyaksikan kehancuran para Korawa. Ia
menghembuskan nafas terkahirnya saat garis balik matahari berada di utara (Uttarayana).
Bisma dalam pewayangan Jawa
Antara
Bisma dalam kitab Mahabharata dan pewayangan Jawa memiliki beberapa
perbedaan, namun tidak terlalu besar karena inti ceritanya sama.
Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain disebabkan oleh proses Jawanisasi,
yaitu membuat kisah wiracarita dari India bagaikan terjadi di pulau Jawa.
Bisma adalah anak Prabu Santanu, Raja
Astina dengan Dewi Gangga alias Dewi
Jahnawi (dalam versi Jawa). Waktu kecil bernama Raden Dewabrata
yang berarti keturunan Bharata yang luhur. Ia juga mempunyai nama lain
Ganggadata. Dia adalah salah satu tokoh wayang yang tidak
menikah yang disebut dengan istilah Brahmacarin. Berkediaman di
pertapaan Talkanda. Bisma dalam tokoh perwayangan digambarkan seorang yang
sakti, dimana sebenarnya ia berhak atas tahta Astina akan tetapi
karena keinginan yang luhur dari dirinya demi menghindari perpecahan dalam
negara Astina ia
rela tidak menjadi raja.
Resi Bisma sangat sakti
mandraguna dan banyak yang bertekuk lutut kepadanya. Ia mengikuti sayembara
untuk mendapatkan putri bagi Raja Hastina dan memboyong 3 Dewi. Salah satu putri yang
dimenangkannya adalah Dewi
Amba dan Dewi Amba ternyata mencintai Bisma. Bisma tidak bisa menerima
cinta Dewi Amba karena dia hanya wakil untuk mendapatkan Dewi Amba. Namun Dewi
Amba tetap berkeras hanya mau menikah dengan Bisma. Bisma pun menakut-nakuti
Dewi Amba dengan senjata saktinya yang justru tidak sengaja membunuh Dewi Amba.
Dewi Amba yang sedang sekarat dipeluk oleh Bisma sambil menyatakan bahwa
sesungguhnya dirinya juga mencintai Dewi Amba. Setelah roh Dewi Amba keluar
dari jasadnya kemudian mengatakan bahwa dia akan menjemput Bisma suatu saat
agar bisa bersama di alam lain dan Bisma pun menyangupinya. Diceritakan roh
Dewi Amba menitis
kepada Srikandi
yang akan membunuh Bisma dalam perang Bharatayuddha.
Dikisahkan, saat ia lahir,
ibunya moksa ke
alam baka meninggalkan Dewabrata yang masih bayi. Ayahnya prabu Santanu
kemudian mencari wanita yang bersedia menyusui Dewabrata hingga ke negara
Wirata bertemu dengan Dewi Durgandini atau Dewi Satyawati,
istri Parasara
yang telah berputra Resi Wyasa. Setelah Durgandini bercerai, ia dijadikan permaisuri
Prabu Santanu dan melahirkan Citrānggada
dan Wicitrawirya,
yang menjadi saudara Bisma seayah lain ibu.
Setelah menikahkan Citrānggada
dan Wicitrawirya,
Prabu Santanu turun tahta menjadi pertapa, dan digantikan anaknya. Sayang kedua
anaknya kemudian meninggal secara berurutan, sehingga tahta kerajaan Astina dan
janda Citrānggada dan Wicitrawirya diserahkan pada Wyasa, putra Durgandini dari
suami pertama. Wyasa-lah
yang kemudian menurunkan Pandu dan Dretarata, orangtua Pandawa dan Kurawa.
Demi janjinya membela Astina, Bisma
berpihak pada Korawa
dan mati terbunuh oleh Srikandi di perang Bharatayuddha.
Bisma memiliki kesaktian tertentu, yaitu ia bisa menentukan waktu kematiannya
sendiri. Maka ketika sudah sekarat terkena panah, ia minta sebuah tempat untuk
berbaring. Korawa
memberinya tempat pembaringan mewah namun ditolaknya, akhirnya Pandawa
memberikan ujung panah sebagai alas tidurnya (kasur panah) (sarpatala).
Tetapi ia belum ingin meninggal, ingin melihat akhir daripada perang
Bharatayuddha.
89. BASUDEWA
Prabu Basudewa muncul
dalam dunia pewayangan
sebagai putra sulung Prabu Basukunti (dalam pewayangan Jawa) Raja negara Mandura dengan
permaisuri Dewi Dayita, putri Prabu Kunti, raja Boja. Ia mempunyai tiga orang
saudara kandung masing-masing bernama Dewi Prita alias Dewi Kunti, Arya
Prabu Rukma dan Arya Ugrasena.. Prabu Basudewa mempunyai tiga orang isteri atau
permaisuri dan empat orang putra. Dengan permaisuri Dewi Mahira alias Maerah
(dalam pewayangan Jawa) ia berputra Kangsa. Kangsa sebenaranya putra Prabu
Gorawangsa, raja raksasa negara Gowabarong yang dengan beralih rupa menjadi
Prabu Basudewa palsu dan berhasil mengadakan hubungan asmara dengan Dewi
Mahira.
Dengan permaisuri Dewi Mahindra
alias Maerah (dalam pewayangan Jawa), Prabu Basudewa memperoleh dua orang putra
bernama Kakrasana
alias Baladewa
dan Narayana
alias Kresna.
Sedangkan dengan permaisuri Dewi Badrahini ia berputra Dewi Wara Sumbadra
alias Dewi Lara Ireng. Secara tidak resmi, Prabu Basudewa juga mengawini Ken
Sagupi, swaraswati Keraton Mandura, dan memperoleh seorang putra bernama
Arya Udawa.
Prabu Basudewa sangat sayang kepada keluarganya. Ia
pandai olah keprajuritan dan mahir memainkan senjata panah dan lembing. Setelah
usia lanjut, ia menyerahkan Kerajaan Mandura kepada putranya, Kakrasana, dan
hidup sebagai pendeta di Pertapaan Randugumbala. Prabu Basudewa meninggal saat
negara Mandura digempur Prabu Sitija alias Bomanarakasura, Raja Negara
Surateleng
90. SALYA
Salya
|
Salya merupakan kakak Madri, yaitu ibu Nakula dan Sadewa, dalam
wiracarita Mahabharata. Salya pemimpin Madra-desa
atau Kerajaan Madra. Ia merupakan paman Nakula dan Sadewa
dari keluarga ibunya dan dicintai serta disayangi oleh para Pandawa. Salya
merupakan pemanah mahir serta ksatria yang sangat tangguh. Dalam pertempuran akbar di Kurukshetra, ia memihak Korawa. Ia terbunuh
pada hari kedelapan belas oleh Yudistira, salah satu keponakannya.
Salya dalam pewayangan Jawa
Prabu Salya ketika mudanya
bernama Narasoma, adalah putera Prabu Mandrapati, raja Negara Mandaraka dari
permaisuri Dewi Tejawati. Prabu Salya adalah saudara kandung bernama Dewi Madrim yang
kemudian menjadi isteri kedua Prabu Pandu, raja negara Astina.
Prabu Salya menikah dengan Dewi
Pujawati alias Dewi Setyawati. Putri tunggal Bagawan Bagaspati,
brahmana-raksasa di pertapan
Argabelah, dengan Dewi Darmastuti, seorang hapsari atau bidadari. Dari
perkawinan tersebut, ia dikaruniai lima orang putra, yaitu: Dewi Erawati, Dewi
Surtikanti, Dewi Banowati, Arya Burisrawa dan Bambang Rukmarata.
Prabu Salya mempunyai sifat
tinggi hati, sombong, congkak, banyak bicara, cerdik dan pandai. Ia sangat
sakti, lebih-lebih setelah mendapat warisan Aji Candrabirawa dari
mendiang mertuanya, Bagawan Bagaspati yang mati dibunuh olehnya.
Prabu Salya naik tahta kerajaan Mandaraka
menggantikan ayahnya, Prabu Mandrapati yang meninggal bunuh diri. Pada perang Bharatayuddha,
Salya memihak Korawa
dan menjadi pemimpin pasukan setelah Karna. Akhir
riwayatnya diceritakan, Prabu Salya gugur di medan pertempuran Bharatayudha
oleh Prabu Yudhistira
alias Prabu Puntadewa
dengan pusaka Jamus Kalimasada.
91. TREMBOKO
Prabu Tremboko
utawa Arimbaka iku ratu buta gedhe ing Pringgadani. Klebu ratu sing sugih.
Saliyane sugih bala, sugih bandha, putrane uga akeh. Garwane aran Dewi Hadimbi.
Putrane pitu, yaiku Arimba, Arimbi, Brajadenta, Brajamusthi, Brajawikalpa,
Brajalamatan utawa Prabakesa, lan Kala Bendana. Arimbi iku ibune Gatotkaca,
dadi Prabu Tremboko iku isih keprenah embahe satriya Pringgadani kuwi.
Prabu
Tremboko klebu buta sing becik. Mula, ingaku kadang lan dadi siswane Prabu
Pandhu Dewanata ing Astina. Ing crita- crita padhalangan, disebutake yen
siswane Prabu Pandhu iku telu, yaiku Prabu Tremboko, siswa sing tuwa; Raden
Sucitra sing tembene dadi Prabu Drupada, ratu ing Pancala; lan Raden Gandamana,
patihe Sang Prabu Pandhu piyambak. Kadidene siswa sing tuwa dhewe, Prabu
Tremboko wis dilintiri aji- aji aran brajadenta- brajamusthi. Jenenge aji- aji
iku uga didadekake jenenge anak- anake.
92. TRIGANTALPATI
Raden Trigantalpati iya Harya Suman
iku nom- nomane Patih Sengkuni. Satriya mbranyak, putrane Prabu Keswara utawa
Prabu suwala kang uga jejuluk Prabu Supala, ratu ing negara Gendara. Mula, uga
sinebut Raden Suwalaputra. Putrane Prabu Suwala iku kacarita ana lima, yakuwi
Dewi Gendari, Harya Gandarya, Trigantalpati, Sarabasanta, lan Harya Gajaksa.
Bareng
ana ing Astina Trigantalpati bisa cinaket ing ratu, amarga mbakyune, Dewi
Gendari kagarwa Adipati Dhestharastra, kadang sepuhe Prabu Pandhudewanata.
Nadyan ckrak- bagus, watake culika. Tembene kondhang dadi paraga sing
mahajuling, drengki, srei, jail methakil. Murang kautaman lan dhemen laku
cidra. Wicarane landhep, dhemen mitnah wong liya kanggo kamulyan pribadine
dhewe.
93. BATARA DHARMA
Paraga wayang
siji iki pancen arang kecrita ing pakeliran. Batara Dharma sejatine duwe
jejibahan kang penting banget amarga dadi dewaning keadilan. Miturut
Mahabarata, dewa iki putrane Batara Atri, isih wayahe Batara Brama. Garwane
cacahe ana sepuluh, kabeh putrane Sang Hyang Daksa, ananging putrane saka garwa
sepuluh mau ora tau kocap. Kejaba putra saka garwa sepuluh kuwi, Yudhistira,
pambarepe Pandhawa sejatine uga “putrane” Bathara Dharma.
Amarga
Dewi Kunthi, nalika mateg aji Adityahredaya, Batara Darma tedhak ing ngarcapada
lan sapatemon karo Dewi Kunthi kang banjuri nggarbini bayi Yudhistira. Mula
praupane Yudhistira iku iya memper Bathara Darma. Malah ora mung praupane
thok., sipat- sipat lan watege Batara Darma kang tansah njunjung keadilan uga
tumurun marang Yudhistira.
95. DIRGABAHU
Ditya
Kala Dirgabahu kang uga sinebut Kala Yojanabahu iku sawijining raseksa kang
mbaureksa alas reksamuka. Wujude buta gedhe, awake biru semu klawu. Mripate
kaya srengenge kembar, irunge bunder, untune gedhe- gedhe, siyunge mingis- mingis.
Rambute krembyah- krembyah tekan gigir, saperangan tumumpang pundhak kiwa lan
tengen. Tangan (bahu)- ne kiwa tengen dawa- dawa, ujaring caritane yen di ulur
kepara bisa nganti pirang- pirang atus dhepa dawane.
Yen
golek pangan, kacarita iya mung cukup kanthi ngulur tangane. Tangane kang bisa
modot iku, bisa molor dhewe mburu mangsane, kaya- kaya tangan iku ana mripate.
Mula, para buron alas kang adoh- adoh pisan, uga bisa disut tanpa ndadak
nganggo marani.
96. BATARA PANYARIKAN
Batara Panyarikan
iku putrane Bathara Guru, nanging arang- arang kasebut ana ing sil- siliah.
Sebutan liyane yaiku Bathara Srita. Kahyangane ana ing Pringsurat. Pakaryane
dewa siji iki dadi jurutulis kadewatan, selaras karo kabisane sing kondhang
becik tulisane, pinter ngrakit basa, lan cukat trengginas.
Wayang
Batara Panyarikan yen manut tradhisi wayang gaya Jogja awujud wayang bambangan,
sikil jangkahan, kanthi rai mbranyak pasemone. Netrane liyepan (gabahan),
granane mbangir. Kaya akeh-akehe wayang dewa, tutuping sirahe mawa kethu oncit,
utawa kethu keyongan. Saliyane iku ngagem sampir.
97. BAMBANG SRIGATI
Bambang
Srigati putra nata Medhangkamulan, Prabu Setmata, wiwit cilik malah mung melu
biyunge, Dewi Srijati ing padhepokan Krendhayana, ing sangisore wit ringin jalar
pitu, urup prasaja nganti ngancik diwasa. Lagi bisa kepethuk karo ramane nalika
Prabu Setmata sing satemene pangejawantahe Bathara Wisnu iku lengser keprabon
gara- gara kena sikudhendhane jawata, banjur madeg pandhita. Lelakone Bambang
Srigati iki ana sambung- rakete karo paraga Prabu Watugunung nata ing
Gilingwesi sing kondhang, sing critane werna- werna kae.
98. BUTA
TERONG
Buta iku tegese raseksa, dene
terong tegese ya who terong kae. Mula sinebut Buta Terong jalaran irunge bunder
kaya terong. Sanajan ana Buta Terong, nanging ing pakeliran ora ana raseksa
sing jenenge Buta Tomat, Buta Timun utawa buta who liyane. Embuh yen kapan-
kapan kono ana kadang seniman sing gawe wayang buta saliyane Buta Terong kayata
Buta Kluwih, Buta Nangka, Buta Waluh, lan sapiturute.
Buta Terong iku ana ing
pagelaran wayang purwa metune lumrahe bebarengan karo buta- buta bala negara
sabrangan liyane kayadene Buta Cakil, Rambutgeni, Pedhutsegara, Padhasgempal,
Galiyuk. Buta- buta mau biasane barisane ketemu karo lakune satriya, sing
banjur dadi perang kembang.
99. DEWABRATA
Dewabrata iku
nom- nomane Resi Bisma, Putrane Prabu Sentanu, raja Astina karo Dewi Gangga.
Sawise linairake, bayi Dewabrata nganti mangsa remaja diemong dening keng ibu
Dewi Gangga. Ginulang ing sawernaning ulah kasantikan lan kanuragan nganti dadi
sawijining satriya sing banget sekti mandraguna. Dewabrata tembene dadi Resi
Bisma, paraga sing banget kondhang kaloka.
100. JAMBUMANGLI
Nalika iku Alengka
diperintah Ratu Yaksa Prabu sumali. Nadyan buta, Sang Prabu kuwi Ratu
wicaksana, ditresnani kawulane. Semono uga putra- putrine Sang Prabu kang
mbarep, Dewi sukesi, ora wujud buta, nanging Putri Silistya. Akeh satriya lan
Ratu Mudha kang kapencut marang kasulistyane Sang Dewi.
Alengka
nduwe senopati sekti mandraguna aran Arya Jambumangli. Isih kapernah ponakane
prabu Sumali. Jambumangli kuwi putrane Prabu Anom Maliawan, kadang timure Prabu
Sumali. Kasektene wis kawentar ig endi- endi, ndadekake girise para Ratu lan
Senopati.
101. RESI SUKRA
Wis suwe para
sura karo golongan asura padha memungsuhan. Para Sura kuwi kalebu para Dewa,
Widadari, lan Hapsara, dene Asura kayata Buta, Raseksa, lan Danawa.
Nanging nadyan Dewa iku linuwih
dibandingake manungsa lumrah, yen perang lumawan para Asura sering kasuran.
Sebabe para asura nduwe agul- agul, ya kuwi Resi Sukra.
Resi
Sukra putrane maha Resi Bhregu kang dadi paran- parane Prabu Wresaparwan,
Ratune para asura. Sang Resi nduwe aji- aji sanjiwani, kang dayane bisa
nguripake wong kang wis mati. Dadi nadyan pira wae Asura kang mati ing
paprangan, bisa di uripake maneh, saengga prasasat wadya Asura ora tau ora
kalong.
.
102. PRABU SENGKANTURUNAN
Prabu
Sengkanturunan kagungan garwa Pramiswari, uga sawijining widadari aran Dewi
Reknawati, lan peputra Kenya kang sulistya peparab dewi Jathawati. Nanging
nyatane Sang Nata panggah rumangsa during marem yen during bisa nggarwa Dewi
Ngruna lan Ngruni. Nalika kekarepan iku diandharake marang para pini sepuh
nagara, kabeh pada ora nyarujuki. Sebabe, Dewi Ngruna lan Ngruni wis
diparengake dening Sang Hyang Girinata kagarwa Bathara Surya, Dewane rahina ing
kahyangan Ekacakra
103. BUMILOKA
Sasedane Prabu
Niwatakawaca, negara Manimantaka nganti Sawatara lawase ora duwe ratu. Swargi
Sang Prabu iku ninggal putra telu, yakuwi bumiloka, Bumisengara, lan kang ragil
putrid, dewi Mustakaweni.
Bumiloka
lan Bumisengara awujud buta, nanging Mustakaweni pinaringan rupa elok, nurun
ibune, dewi Prabasini, widadari garwane Prabu Niwatakawaca. Tetelune nurun
Niwatakawaca, sekti mandraguna, linuwih ing babagan kaprajuritan.
Saka
tetimbangan tetuwa animataka, nuli disajuruki kang nglenggahi dhampar kedhaton
Raden Bumiloka. Dene Bumisengsara jumeneng nata ing Paranggumiwang. Sawise
Bumiloka jumeneng nata, nagara Manimataka bali tentrem ayem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar